Monday, April 10, 2006

Osing, Suku Yang Terasing di Tengah Modernisasi

Lamat-lamat, alunan musik tradisional membelah malam di Kampung Suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kota Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (07/03) malam. Suara alat musik tradisional gambang, kenong, gong, angklung bertalu-talu berpadu dengan syair lagu khas berbahasa Suku Osing. "Baronge wis mangkat, singayo padha nonton (Pertunjukan Barongnya sudah dimulai, ayo kita lihat)," kata Bik Karti,50, wanita penjaga warung pada The Jakarta Post dalam bahasa Osing.

Malam itu, sebuah keluarga yang tinggal di kaki Pegunungan Ijen menggelar pertunjukan Barong sebagai salah satu rangkaian upacara perkawinan. Ratusan penduduk warga Kemiren dan desa-desa sekitarnya, seperti Desa Kinjo dan Desa Boyolali mendatangi rumah di tengah persawahan itu. Anak-anak dan orang dewasa berbaur di pinggir jalan dan pematang sawah, menikmati olah tari dan lagu yang dimainkan oleh kelompok Trisno Budoyo.

Suku Osing adalah salah satu suku minoritas yang hingga saat ini masih eksis di Jawa Timur. Suku itu menyebar di beberapa tempat di Kota Banyuwangi, 300 KM dari Surabaya. Di Banyuwangi terdapat tiga kelompok etnis, Osing, Jawa dan Madura. Terutama di desa Kemiren, Banyuwangi Barat. Di desa yang berjarak tujuh kilometer dari pusat kota berpenduduk 1,4 juta jiwa itu berdiam 2,4 ribu jiwa warga Suku Osing. Keturunan Suku Osing juga berdiam di Desa Aliyan, 14 KM dari pusat Kota Banyuwangi. Di desa itu berpenduduk 4,8 juwa itu, hampir separuhnya merupakan keturunan Suku Osing.

SEJARAH KELAM

Suku yang terkenal dengan dialek dan bahasa Osing itu konon adalah keturunan langsung dari Kerajaan Blambangan, salah satu kerajaan kecil di Jawa Timur yang hadir di sekitar abad ke 18. Kerajaan yang didirikan oleh Raja Wiraraja itu adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, wilayah Kerajaan Blambangan menjadi rebutan kerajaan kecil di Bali, Pasuruan dan Mataram Islam.

Belum lagi usai konflik perebutan kekuasaan itu, daerah Blambangan yang terkenal subur itu (Blambangan dari kata Balumbung atau daerah Lumbung Padi-red) menjadi sasaran penjajah Belanda melalui VOC-nya. Jepitan sejarah ini yang akhirnya membuat masyarakat Blambangan menjadi resisten terhadap kekuasaan di luar Blambangan. Muncullah istilah Osing atau Using yang artinya "tidak berpihak".

Kegigihan VOC untuk menguasai Blambangan mendapatkan perlawanan dari tokoh Blambangan, Mas Rempeg yang dipercaya sebagai titisan raja Blambangan Pangeran Agung Willis. Meski akhirnya pemberontakan Mas Rempeg itu bisa dikalahkan oleh VOC, namun perang itu mampu menewaskan tokoh VOC Letnan Van Shaar, Mayor Gobie's dan Letnan Kornet Tienne. Di pihak Blambangan, perang besar di tahun 1771-1772 itu membuat penduduk Blambangan mengungsi ke kaki-kaki gunung dan menyeberang ke Pulau Bali, dan bertahan sampai sekarang.

Entah mengapa, sejarah suram yang dirasakan oleh keturunan Blambangan seakan terus berulang menimpa masyarakat Suku Osing dan wilayah Banyuwangi pada umumnya. Ketika tahun 1965 misalnya, pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), penduduk di daerah yang berbatasan dengan Pulau Bali ini banyak menjadi korban. Sebagai catatan, lagu Genjer-Genjer yang sering dinyanyikan anggota PKI, adalah ciptaan warga Banyuwangi.

Begitu juga ketika di tahun 1998, ketika tiba-tiba tersiar isu ilmu hitam/santet. Warga Osing dan warga Banyuwangi yang dikenal piawai ilmu kanuragan/kesaktian menjadi sasaran pembunuhan. Diperkirakan ada 150 orang yang dituduh sebagai dukun santet dibunuh oleh segerombolan orang berpakaian ala ninja. "Banyaknya peristiwa itu yang membuat orang Osing makin terpinggirkan," kata Hasnan Singodimayan,75, salah satu tokoh Osing pada The Jakarta Post.

KEBANGKITAN YANG TERSEOK

Semua sejarah kelam itu coba dikubur pada tahun 2002. Bertepatan dengan Ulang Tahun Banyuwangi ke 232, Bupati Banyuwangi ketika itu, Syamsul Hadi membuat langkah membangkitkan tradisi Suku Osing di kota itu. Seperti menjadikan bahasa Osing sebagai bahasa resmi daerah dan diajarkan di sekolah. Juga mengganti lambang kota yang awalnya Ular Berkepala Gatotkaca diganti Penari Gandrung Khas Osing.

Awalnya, upaya untuk membangkitkan keosingan di Banyuwangi disambut gembira oleh masyarakat setempat. Bahasa Osing yang awalnya hanya digunakan oleh komunitas Osing, mulai banyak digunakan oleh masyarakat Banyuwangi lain. Hasan Ali, salah satu tokoh Suku Osing sudah membuat kamus khusus bahasa yang karakter bahasanya dekat dengan bahasa Jawa kuno dan bahasa Bali dengan pengucapan kata "sing". Meskipun ada perbedaan mencolok dengan tidakadanya perbedaan kata dalam kasta tertentu, seperti yang ada di bahasa Jawa dan Bali.

"Semakin banyak orang Banyuwangi yang menggunakan bahasa Osing, karakter Osing pun semakin kentara," kata Hasnan Singodimayan. Pagelaran-pagelaran seni rakyat Osing pun digelar sebagai pertunjukan resmi setiap acara nasional yang diadakan di Banyuwangi. Seperti diketahui, suku ini memiliki produk budaya yang sangat beragam.

Mulai kesenian yang berhubungan dengan siklus kehidupan (Pitonan/hamil hari ke tujuh, Colongan, Ngleboni, Angkat-angkat/Perkawinan), kemasyarakatan (Rebo Wekasan/pemberian sesaji kepada roh halus, Ndok-Ndogan/Mauludan, Kebo-keboan/Penyambuh Panen) hingga tari-tarian. Budayawan Jawa Timur Ayu Sutarto mencatat ada 32 acara budaya yang dimiliki Suku Osing. Delapan belas diantaranya asalah kesenian.

Namun di balik muncul penolakan-penolakan yang bersifat sporadis. Khususnya dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi. "Ada beberapa sekolah yang menolak memasukkan Bahasa Osing sebagai kurikulumnya," kata seorang guru yang mengajar di Banyuwangi Selatan dan enggan disebutkan namanya pada The Jakarta Post.

Hal senada dikatakan Ahmad Fauzi,24, pemuda keturunan Osing yang saat ini bekerja sebagai penyiar radio berbahasa Osing di Banyuwangi. Menurutnya, para pemuda Osing saat ini banyak yang mulai meninggalkan kebiasaan berbahasa Osing. "Mereka memilih untuk berbahasa Indonesia atau bahasa dialek Jakarta dari pada Osing," kata Fauzi pada The Jakarta Post.

Bahkan, Fauzi yang tinggal di desa Osing kawasan Desa Kalipuro itu merasakan banyaknya kesenian rakyat yang hilang. Padahal kesenian rakyat yang hilang itu banyak melibatkan pemuda Osing. "Seperti Angklung Carok ("pertempuran" pertunjukan Angklung) yang biasa dimainkan oleh pemuda, kini tidak ada lagi, juga Jaranan yang biasa digelar saat peringatan 17 Agustus, kini tidak ada lagi," kenangnya.

Di wilayah yang dikenal sebagai pusat Suku Osing pun, seperti Desa Kemiren, atmosfir keosingan pun tidak lagi kental. Dalam pengamatan The Jakarta Post, saat ini semakin sedikit rumah-rumah adat Osing di wilayah itu. Osing memiliki rumah khas berbentuk Tikel Badung, Baresan dan Cerogan. Rumah-rumah adat itu seluruhnya terbuat dari kayu, tanpa menggunaan paku dan semen.

Desain rumah-rumah itu menunjukkan betapa Suku Osing menjunjung tinggi hubungan sosial. Seperti adanya "ampiran" di depan rumah yang berfungsi sebagai tempat mengundang siapa saja yang lewat di depan rumah itu. Bahkan, di bagian dapur rumah adat Osing ada "plonco"/meja lebar dari anyaman bambu yang digunakan untuk makan bersama keluarga dan tamu.

Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata Banyuwangi mengakui selama ini ada kebijakan yang tidak tepat dalam penanganan Suku Osing. Terutama bagaimana pemerintah memperlakukan Suku Osing. Seperti menetapkan Desa Kemiren sebagai desa wisata. Secara tidak langsung hal itu sama dengan mengkotak budaya Osing.

"Seharusnya, justru membiarkan desa itu sebagai desa seperti sedia kala, tapi mendorong kesenian yang sering dilakukan warga setempat untuk terus dilakukan," kata Aekanu Hariyono pada The Jakarta Post. Karenanya, selama ini Aekanu membypass penanganan Suku Osing dengan mengajak para tahu langsung ke komunitas Suku Osing yang sedang melakukan upacara adat. "Intinya memanusiakan Suku Osing dengan membiarkan mereka tumbuh alami," terangnya.

Langkah untuk terus melestarikan nilai-nilai luhur budaya Suku Osing, tanpa meninggalkan jejak luka seperti yang sebelumnya terjadi, sampai saat ini terus dilakukan. Seperti puisi bernapas optimisme berbahasa Osing terkenal berjudul Padha Nonton (Saksikanlah):

"..Kembang Abang (Bunga Merah)
Selebrang Tiba Ring Kasur (Kutabur Jatuh di Kasur)
Mbah Teji Balenana (Mbah Teji/Tokoh Osing Kembalilah)
Sunenteni Ring Paseban (Aku tunggu di Perjamuan)
Ring Paseban (Di perjamuan)
Dhung Ki Demang Mangan Nginung (Saat Pembesar Desa Berpesta)
Selereng Wong Ngunus Keris (Seiring terhunusnya keris pusaka)
Gendham Gendis Kurang Abyur (Kegetiranpun takkan terasa)".

***

No comments: