Monday, April 10, 2006

Media Menggaet Untung Dari Pilkada

Dengan serius, Yuwana, anggota tim sukses salah satu kandidat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Surabaya, mengamati sebuah harian lokal Surabaya. Dengan cekatan, tangan mantan wartawan media cetak terbitan Jakarta itu membolak-balik halaman per halaman koran setebal 24 halaman itu. Sesekali, matanya memicing ketika membaca berita tentang pilkada, kemudian kembali membolak-balik halaman.

Tiba-tiba telepon seluler yang terselip di kantong celananya berdering. "Halo,..saya sendiri, begini,..saya mau memasang iklan calon pilkada di koran kamu, tapi saya minta penempatannya di bagian atas, selain itu saya tidak mau," kata Yuwana tegas, sembari mendengarkan lawan bicaranya berbicara. "Oke, sekarang kamu ketemu saya saja," katanya mengakhiri pembicaraan.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) di Surabaya pada 27 Juni mendatang, membawa berkah tersendiri bagi media massa. Empat pasang kandidat yang Minggu (15/05) kemarin dirilis KPUD Surabaya, Alisjahbana-Wahyudin Husein (PKB), Bambang Dwi Haryono-Arif Afandi (PDIP), Erlangga Satriagung-AH Thony (PAN-PD) dan Gatot Sudjito-Benyamin Hilly (Golkar-PDS), bagaikan pundi-pundi uang bagi media massa. Terutama media massa cetak.

Mereka seakan berlomba menawarkan "paket hemat" sosialisasi atau iklan kampanye kepada empat pasangan kandidat, melalui tim sukses masing-masing. Data yang diperoleh The Jakarta Post dari sebuah sumber menyebutkan, hampir semua media massa cetak di Surabaya mengirimkan penawaran iklan. Tidak main-main, nilainya berkisar mulai Rp. 15 juta hingga Rp.300 juta untuk setiap paket yang ditawarkan.

Salah satu salinan surat tawaran kerjasama iklan kampanye yang didapatkan The Jakarta Post menyebutkan, dengan harga RP.300 juta, pasangan kandidat bisa mendapatkan berbagai fasilitas iklan. Mulai pemuatan semua berita aktivitas yang dilakukan kandidat, wawancara khusus hingga iklan satu halaman penuh. "Kami memberikan jaminan tidak akan memuat berita yang berisi black campaign pada kandidat yang bersangkutan," tulis salah pimpinan redaksi pada surat penawaran itu.

Bagi pasangan kandidat, sosialisasi melalui media massa adalah salah strategi yang harus dilaksanakan. Di samping efektif, berkampanye melalui media massa juga bisa menyentuh konstituen secara langsung. "Kami berpikir soal efektivitas media, karena itu kami mengambil tawaran itu, meskipun tidak semua," kata Djaka M tim sukses kandidat Erlangga Satriagung-AH Thony kepada The Jakarta Post.

Hal yang sama diungkapkan tim sukses Bambang Dwi Haryono-Arif Afandi yang secara khusus punya arsitek media massa. "Iklan di media massa itu perlu strategi, hal itulah yang kami lakukan selama ini," ujar Saleh Mukadar, ketua tim sukses. Salah satunya, dengan menghindari terlalu sering memasang iklan di media massa. Kalau toh beriklan, pilihan hari, halaman dan materi iklan-nya harus pas.

Strategi yang agak berbeda ditempuh oleh tim sukses dari Alisjahbana-Wahyudin Husein. Budiharto Tasmo, ketua tim sukses mengungkapkan pihaknya menolak semua tawaran iklan di media massa. Persoalan utamanya, keterbatasan dana yang dimiliki tim ini. "Kita tidak ada dana untuk beriklan di media massa," jelasnya.

Lebih jauh, Budiharto mengungkapkan, iklan di media massa tidak begitu efektif atau tidak lebih sebagai "alat pengingat" bagi masyarakat atas calon yang beriklan. "Kami lebih percaya dengan mekanisme loyalitas partai yang dibangun melalui personal sale, kalau sudah loyal, mereka akan tetap akan memilih pasangan itu," tegas Budi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Sunudyantoro menilai, meski diatur dalam UU Pilkada, persoalan iklan di media massa memiliki banyak kelemahan. AJI Surabaya mengati banyaknya berita yang sebenarnya berupa iklan terselubung. "Sering kali kita temukan iklan yang tersaji dalam bentuk berita, ini jelas pelanggaran," katanya.

Apalagi, hampir setiap media massa memiliki halaman khusus tentang Pilkada. Bila dicermati betul, berita-berita yang disajikan lebih banyak berkisar tentang kegiatan para kandidat. "Tidak ada kritik, hanya wacana wacana tentang hal yang positif, apa bedanya dengan iklan? Hal ini malah membodohkan masyarakat pemilih," tegas wartawan media massa terbitan Jakarta ini.

Dhimam Abror Jurait, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur mengingatkan tentang perlunya menghidupkan firewall (dinding api) antara redaksi dan bagian iklan di media massa. Jangan sampai antara keduanya terjadi tindakan saling mempengaruhi. "Meskipun kandidat beriklan di sebuah media, bukan berarti fungsi kontrol redaksi berkurang," kata Abror.

Meski begitu, Abror memahami munculnya rasa ewuh pekewuh/ketidakenakan antara redaksi dan bagian iklan. Rasa ewuh pekewuh/ketidakenakan inilah yang pelan-pelan harus dikikis dengan mengingatkan kembali fungsi dan peranan pers.

Pengamat media dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kacung Marijan mengatakan, di Indonesia tingkat efektivitas beriklan di media massa masih sangat kecil. Apalagi, kebanyakan iklan pada kandidat tidak secara gamblang menyebutkan tindakan riil yang akan dilakukan bila mereka terpilih.

"Di AS, yang tingkat iklan politik di medianya berisi materi yang lebih lengkap, efektivitasnya hanya 10-20 persen saja, bagaimana dengan di Indonesia," katanya. Karena itu, tidak mengherankan bila nantinya pemenang pilkada bukan kandidat yang sering beriklan di media massa.

Ketua Panwaslu Surabaya, Mahmud Suhermono mengatakan, pihaknya terus mengamati gerakan sosialisasi kandidat di media massa. Karena disinyalir, beberapa kandidat melakukan pelanggaran serius pencurian start kampanye. "Kami masih mempelajari, apakah iklan di media massa termasuk melanggar, kalau terbukti, maka ancaman pidana bisa dikenakan," tegasnya.***

No comments: