Wednesday, May 31, 2006

Kebenaran Dari Arsip Lusuh



Presiden RI Pertama, Soekarno ketika menyunjungi Ksatrian Pasiran (kini Armatim) di Surabaya. (repro: Djawatan Penerangan)

Suatu hari di tahun 1907, kota Bojonegoro, Jawa Timur geger. Tokoh masyarakat asal kota tembakau, Samin Soerontiko, ditangkap Pemerintah Hindia Belanda yang ketika itu berkuasa di tanah Jawa. Dia dianggap mempengaruhi masyarakat sekitar dengan ajaran kepercayaan (yang kemudian disebut Saminisme-red). Ajaran itu membuat Pemerintah Hindia Belanda kesulitan untuk menancapkan pengaruhnya di Bojonegoro.

Ajaran Saminisme secara sederhana bisa diartikan sebagai ajaran kejujuran untuk mencapai kemuliaan. Karena kejujuran itulah, penganut Saminisme tidak bisa dimasuki skenario politik pecah belah Pemerintah Hindia Belanda atau dikenal sebagai devide et ampera. Samin dan penganutnya dianggap mengganggu jalannya pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat. Karenanya, Samin Soerontiko ditangkap dan dibuang ke Sumatera Barat dan Jawa Barat.

Itulah penggalan "cerita" yang termuat dalam buku catatan Pemerintah Hindia Belanda, Besluit no.5 yang diterbitkan 5 Juli 1907. "Coba kalau arsip surat menyurat ini tidak ada, masyarakat tidak akan punya bukti perihal kegigihan seorang tokoh bernama Samin Soerontiko," kata Drs. Syawal, Kepala Bidang Penelitian Naskah dan Arsip, Badan Arsip Provinsi Jawa Timur pada The Jakarta Post, Rabu (17/05).

Arsip yang memuat kisah Samin Soerontiko hanyalah satu dari jutaan meter linier arsip sejarah yang disimpan di Badan Arsip Nasional, termasuk Badan Arsip Provinsi Jawa Timur. Arsip-arsip itu disimpan tekstual (kertas), media baru (file komputer) maupun micro film. Untuk mengaksesnya, bisa dilakukan secara online melalui situs www.arsipjatim.go.id.

Peran arsip sejarah kembali dibicarakan seiring Hari Kearsipan Nasional, Kamis, 18 Mei 2006. Apalagi, peran arsip sejarah tidak bisa diabaikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Arsip sekaligus menjadi bukti otentik atas semua hal yang pernah terjadi. Melalui lembaran-lembaran lusuh itu juga beberapa peristiwa yang sempat menjadi misteri bisa terungkap dengan lugas. Salah satunya adalah lembaran Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menjadi awal penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.

Hingga saat ini, lembaran surat yang konon hilang itu menyisakan tanda tanya besar sejarah Indonesia. Apakah benar ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto? Bagaimana proses pembuatan surat itu? Apakah dengan todongan senjata? "Hal-hal seperti ini bisa tuntas bila arsip Supersemar ditemukan," ungkap Syawal.

Kemisterian Supersemar dan cerita yang melingkupinya juga muncul dalam peristiwa penyobekan bendera Belanda, di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit Oriental) Surabaya pada 10 November 1945. Bendera Belanda berwarna merah putih biru dirobek oleh salah satu Arek Suroboyo, pejuang 10 November 1945 pada warna birunya, menyisakan warna bendera Indonesia Merah Putih.

Hingga kini, siapa pelaku peristiwa yang menjadi simbol kemenangan pejuang Surabaya atas Pasukan Sekutu Belanda itu tidak ditemukan. Uniknya, sumber The Jakarta Post dari Universitas Airlangga menyebutkan, peristiwa yang diabadikan dalam bentuk foto hitam putih dan dipercaya sebagai foto bukti sejarah itu ternyata dibuat setahun setelah peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Sayangnya, arti penting dan berharganya arsip sejarah tidak dipahami oleh masyarakat. Seringkali, masyarakat yang memiliki arsip sejarah tidak mengerti cara merawat dan menyimpan barang bernilai tinggi itu. Bahkan ada yang membuangnya begitu saja, tanpa mau memperhitungkan nilai sejarah yang dikandungnya.

Ketidakpahaman masyarakat itu juga tampak dari tidak diminatinya jurusan sejarah dalam universitas-universitas di Indonesia. Di Jawa Timur saja, jumlah mahasiswa jurusan sejarah di enam universitas negeri di Surabaya, Malang dan Jember, menempati posisi rendah. "Padahal, bila kita sudah tenggelam di dalamnya, asyik sekali," kata Riskon Pulungan, mahasiswa semester 4 Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Surabaya.

Di mata Riskon, melalui sejarah dirinya bisa memprediksi apa yang kemungkinan akan terjadi, karena sejarah akan berulang. Seperti peristiwa turunnya Presiden Soekarno yang terulang kembali saat peristiwa turunnya Presiden Soeharto. "Dalam arsip yang menceritakan peristiwa turunnya Presiden Soekarno yang diawali dengan krisis ekonomi yang memunculkan protes mahasiswa dan masyarakat, hal itu pula yang terjadi pada jaman Soeharto," katanya. Dua kebenaran dari tumpukan arsip lusuh.***

Istri Herlyanto Masih Belum Percaya



TAK PERCAYA. Istri Herlyanto, wartawan Probolinggo yang tewas dibunuh tiga minggu lalu, Samaudiana (kiri) masih tidak bisa menerima kematian suaminya. Hal itu terungkap dalam Diskusi dan Testimoni bertajuk "Siapa Pembunuh Herlyanto?" yang digelar AJI Indonesia di Surabaya, Rabu (24/05) ini.

------------------------

Sebulan sudah usia kematian wartawan freelance dan Delta Post, Probolinggo, Herlyanto. Namun masih belum ada titik terang. Belasan saksi yang sudah diperiksa polisi juga belum bisa membuka tabir kematian wartawan yang dikenal sering menulis berita-berita kasus kriminal itu.

Aksi pembunuhan Herlyanto terjadi Sabtu (29/4) malam lalu di tengah hutan jati jalan tembus Desa Tulopari Kecamatan Tiris menuju ke Desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar. Saat ditemukan, kondisi ayah dua anak itu sangat mengenaskan. Tubuhnya bersimbah darah, dengan sembilan luka bacokan benda tajam. Mulai punggung, perut hingga kepalanya. Saksi mata mengatakan, sebelum dibunuh korban sengaja dibuntuti oleh beberapa orang.

Hasil investigasi Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Indonesia menyebutkan, kematian Herlyanto berlatar belakang berita yang ditulisnya. Hal itu terlihat dari hilangnya bloknote dan handphone korban, di awal peristiwa itu terjadi.

Hasil investigasi itu pula yang kemudian menjadi dasar organisasi wartawan internasional International Federation of Journalist (IFJ), Reporter Without Border dan United Nation of Education Sosial and Cultural Organisation (UNESCO) PBB ikut pengutuk peristiwa itu.

Kelambatan polisi untuk mengusut kasus pembunuhan Herlyanto itulah yang mendorong istri Herlyanto, Samudiana mengadu ke dengan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jatim Wijaya Purbaya. Dalam pertemuan Kamis (24/05) di Mapolda Jatim itu, Samudiana yang ditemani Ulin Nusron dari AJI Indonesia dan Hendrayana dari LBH Pers Jakarta meminta Polda untuk lebih cepat membongkar kasus ini.

"Keluarga kami hanya ingin peristiwa ini diungkap tuntas, kami tidak tahu harus mengadu pada siapa," kata Samudiana terbata-bata. Herlyanto, menurut Samudiana adalah tulang punggung ekonomi keluarga.

Terutama untuk membiayai Noer Rizka Septian Tina (17) dan Dwi Rizki Wali Hakiki (10) dua anaknya yang kini bersekolah di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Samudiana minta seluruh masyarakat ikut membantu pengungkapan kasus pembunuhan suaminya. "Saya terkenang bagaimana suami saya sangat ingin anaknya menjadi perawat,..." katanya terhenti.

Hendrayana dari LBH Pers Jakarta menilai ada peningkatan kasus kekerasan pada wartawan. Dan hal ini tidak bisa dibiarkan. "Harus ada percepatan dalam upaya mendorong terbukanya tabir pembunuhan-pembunuhan itu," katanya. Kapolri dan wartawan, kata Hendrayana harus konsisten memberitakan peristiwa kekerasan pada wartawan sampai tuntas.

Sementara Ulin Nusron dari AJI Indonesia mencatat pergantian pemerintah tidak berarti ada pergantian nasib wartawan. Karena siapapun pemerintahannya, semua tidak becus mengusut kekerasan pada wartawan. "Ingat kasus Udin wartawan Bernas dan pembunuhan wartawan di Pulau Nias, kasus-kasus itu sama-sama tidak terungkap," katanya.

Masyarakat tidak butuh lagi janji-janji polisi tanpa ada ujung kasus yang jelas. AJI Indonesia telah menggalang opini internasional hingga akhirnya menjadi record kasus kekerasan secara internasional. "Kalau polisi tidak berani mengungkap berarti ikut memperburuk track record Indonesia di mata internasional," tegas Ulin.

Ketua PWI Probolinggo, Sahudi mengatakan, latar belakang pembunuhan Herlyanto tidak bisa dilepaskan dalam dua berita yang ditulisnya. Dua minggu sebelum meninggal, kata Saudi, Herly menulis kasus tentang penjualan air proyek PDAM dan perkembangan kasus jembatan ambruk. "Ada juga kasus tentang pemalsuan tanda tangan, tapi menurut sumber polisi, kematian itu berhubungan dengan tulisan tentang penyelewengan dana biaya operasional sekolah (BOS)," kata Sahudi.

Tidak hanya itu, polisi sempat menuding ada empat orang yang dicurigai sebagai pelaku. Masing-masing pelaku mendapat Rp 1 juta. "Namun polisi masih enggan menyebut nama pelaku yang saat ini sedang dikejar hingga ke luar kota," katanya.***

Friday, May 26, 2006

Bila Komunikasi Politik Diabaikan,..

Tidak seperti biasanya, kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang sehari-hari hanya dipenuhi oleh pegawai negeri, belakangan dijaga ketat puluhan petugas Polres Banyuwangi. Selasa (09/05) ini misalnya, mulai teras depan pintu gerbang hingga ruang kerja humas pemkab, penuh dengan polisi berpakaian dinas. Sementara puluhan petugas berpakaian preman lainnya berbaur dengan pegawai kantor atau duduk-duduk di tempat parkir mobil. "Kalau begini, berkantor di Pemkab rasanya aman sekali," gurauan seorang staff Pemkab Banyuwangi pada The Jakarta Post.

Penjagaan ketat itu bukan tanpa alasan. Kamis (04/05) lalu, kota paling timur di pulau Jawa ini sempat "mendidih" dengan aksi demonstrasi sekitar 7 ribu orang yang menuntut Bupati Ratna Ani Lestari turun dari jabatannya. Ratna dianggap tidak mampu memimpin kota berpenduduk 1,5 juta jiwa ini. Hal itu tampak dari kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak aspiratif dan kontroversial. Ujung-ujungnya, DPRD Kota Banyuwangi pun mengajukan mosi tidak percaya dan menyarankan Menteri Dalam Negeri RI untuk mencopot bupati dari jabatannya.

Protes masyarakat pada bupati, seperti yang terjadi di Banyuwangi, adalah peristiwa kedua di Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya masyarakat Kabupaten Tuban memprotes hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memenangkan calon incumbent Haeny Relawati. Protes yang terjadi Sabtu (29/04) lalu itu berakhir dengan tindakan anarkis dengan membakar pendopo kabupaten, hotel dan bangunan lain milik Bupati Haeny Relawati.

Pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga Surabaya, Henry Subiyakto menilai, meski ada perbedaan pemicu antara peristiwa Tuban dan Banyuwangi, namun keduanya memiliki impas yang sama. Yaitu kemarahan masyarakat pada pemimpin daerahnya. Dan dua-duanya disebabkan karena ketidakmampuan pemimpin daerah untuk menyerap aspirasi masyarakatnya. "Ada alur komunikasi politik yang terputus di Tuban dan Banyuwangi, akibatnya muncul resistensi," kata Henry pada The Jakarta Post, Minggu (07/05) ini.

Dalam kasus Banyuwangi, terputusnya komunikasi politik antara pimpinan daerah dengan masyarakatnya tampak dari kebijakan-kebijakan yang diambil Bupati Ratna Ani Lestari. Setidaknya ada 10 kebijakan yang dikeluarkan Bupati Ratna yang dinilai menjadi pemicu kemarahan masyarakat. Kebijakan pertama adalah dihapusnya pungutan dana penyelenggaraan pendidikan pada sekolah negeri, seperti yang termuat dalam Instruksi Bupati no.1/2005. Juga instruksi bupati untuk menghentikan retribusi pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam Instruksi Bupati no.2/2005.

Meskipun instruksi itu meringankan masyarakat, namun di sisi lain ada nuansa ketidakadilan. Dalam penghapusan pungutan pendidikan misalnya, ada kesan bupati mengabaikan kondisi sekolah swasta yang di dalamnya berisi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Sementara itu, usai penetapan penghapusan retribusi kesehatan, banyak puskesmas yang mengalami kesulitan anggaran.

Keputusan lain yang dianggap menjadi penyebab terbesar adalah dimasukkannya daftar harga daging babi dalam Standard Barang dan Harga Satuan Barang Kebutuhan Pemerintah Kabupaten Banywangi tahun 2006, seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Bupati No.188/33/KEP/429.012/2006. SK itu membuat "marah" ulama Islam dan masyarakat Banyuwangi yang 94,76 persen dalam pemeluk Islam taat yang mengharamkan daging babi.

Henry Subiyakto menilai, secara hukum, tidak ada yang salah dalam instruksi maupun surat keputusan bupati itu. Karena membuat instruksi dan SK adalah hak kepala daerah. "Tapi, karena hal itu tidak pernah dikomunikasikan sebelumnya, baik kepada DPRD Banyuwangi maupun pada masyarakat, akhirnya muncul intepretasi yang bermacam-macam," jelasnya.

Hal ketidakmampuan Bupati Ratna dalam mengkomunikasikan kebijakannya memang bukan isapan jempol belaka. Sejak dilantik 20 Oktober 2005 lalu, Istri Bupati Jembrana, Bali Winase ini terkesan enggan berkomunikasi dengan DPRD Banyuwangi. "Padahal penyelenggara pemerintahan itu adalah Pemerintah Kabupaten dan DPRD seperti yang diatur dalam UU no.32 tentang Pemerintahan Daerah," kata Ketua DPRD Banyuwangi Ahmad Wahyudi pada The Post.

Hal itu semakin tampak ketika DPRD Banyuwangi mencoba berkomunikasi dengan mengajak Bupati Ratna berbicara dalam satu rapat paripurna, seperti yang tampak dalam kasus Pemberhentian Retribusi Kesehatan. Rekomendasi pencabutan Instruksi Bupati soal Pemberhentian Retribusi Kesehatan yang dikeluarkan DPRD pun diabaikan. Instruksi Bupati tentang hal itu terus diterapkan.

Karena itulah DPRD Banyuwangi mengirim SK DPRD no.09 tahun 2006 yang isinya usulan pemberhentian Bupati Ratna. SK itu dikirimkan secara langsung ke Menteri Dalam Negeri RI M. Ma'ruf melalui Gubernur Jawa Timur Imam Utomo. "Mendagri harus melihat fakta obyektif di Banyuwangi dan bukan perseteruan, tapi Ratna memang tidak memadai menjadi Bupati Banyuwangi," jelasnya.

Bila Mendagri mengabaikan, bisa jadi pemerintahan yang dikomandani Bupati Ratna akan kehilangan kredebilitas dan popularitas. Wahyudi mengingatkan kasus Bupati Lampung yang ditolak masyarakat, tapi diabaikan oleh Mendagri. Justru sampai saat ini pemerintahan di Lampung berjalan tidak efektif dan tidak memiliki kredibilitas pada masyarakatnya.

Yang paling menggelikan adalah sikap Bupati Ratna yang selalu menghindari wartawan yang akan mewawancarainya. Budi Wiryanto dari Bali Post di Banyuwangi menceritakan bagaimana Ratna menjawab wartawan dengan nyanyian Halo Balo Bandung. "Waktu kita tanya serius, dia malah menjawab dengan lagu Halo-Halo Bandung, dan masih banyak lagi yang mengesankan dia menolak diwanwancarai," jelasnya.

Ika Ningtyas Radio lokal Vis FM Banyuwangi menjelaskan, dalam sebuah konfirmasi tentang harga daging babi misalnya, Bupati Ratna hanya menjawab sangat normatif. Begitu juga ketika The Jakarta Post mengajukan wawancara khusus dengan Bupati Ratna akhir tahun lalu. Pihak Sekretaris Kabupaten mengharuskan The Post mengirim surat permohonan wawancara, sialnya, hingga saat ini tidak direspon mengenai hal itu.

Atas berbagai persoalan komunikasi itu, pengamat politik yang juga Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Banyuwangi Sugihartoyo menilai perlunya pihak ketiga yang mampu diterima oleh pihak DPRD Banyuwangi, Ulama Islam dan Bupati Ratna untuk ikut turun. "Saya menyarankan Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan tokoh nasionalis untuk turun gunung dan mendamaikan persoalan ini," jelasnya.

Bagaimana komentar Bupati Ratna? Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Senin (08/05) lalu Bupati Ratna mengatakan bahwa dirinya akan mengikuti mekanisme yang ada. "Sudah Saya katakan di media televisi, semua harus mengikuti mekanisme yang ada, saya juga akan tetap berkomunikasi dengan Gubernur Jawa Timur dan Mendagri, kalau akan mengirimkan tim investigasi ya,..silahkan," katanya. Beginilah bila Komunikasi Politik Diabaikan,..***

Monday, May 08, 2006

Ketika Wartawan Tewas di Hutan Jati

Deretan hutan jati di daerah Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo tampak lengang ketika The Jakarta Post sampai di tempat itu, Jumat (05/05) ini. Hanya satu-dua kendaraan roda dua melintas di jalan tanah yang membelah hutan jati di kaki gunung Argopuro itu. Di tempat itulah, seorang wartawan tabloid lokal dibantai. "Lokasinya ada di tengah hutan, 30 meter dari jalan makadam," kata seorang mengendara sepeda motor menunjukkan lokasi jenazah ditemukan.

Tragedi kekerasan pada wartawan kembali terjadi di Indonesia. Kali ini menimpa Herlyanto, wartawan tabloid Delta Post di Probolinggo. Peristiwa itu seakan menambah panjang daftar kekerasan pada wartawan yang terjadi di Jawa Timur, setelah sebelumnya dua wartawan televisi, Sandi Irwanto dari ANTV dan Adreas dari TPI dipukuli petugas satpam Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya.

Pembunuhan Herlyanto itu terjadi Sabtu (29/4) malam lalu sekitar pukul 19.05 WIB. Ketika itu, wartawan berusia 38 tahun itu sedang melintas seorang diri itu jalan tembus Desa Tulopari Kecamatan Tiris menuju ke Desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar, membelah hutan jati. "Dia mengatakan ada acara," kata Kepala Desa Tarokan, Sugiyadi pada The Jakarta Post, Jumat siang ini. Sugiyadi adalah orang terakhir yang bertemu dengan Herlyanto, Sabtu sore sebelum kejadian. Beberapa jam kemudian terdengar kabar Herlyanto tewas di tengah hutan jati.

Saat ditemukan, kondisi ayah dua anak itu sangat mengenaskan. Tubuhnya dipenuhi luka bacokan oleh benda tajam. Mulai punggung, perut hingga kepalanya. "Korban dipastikan sengaja dibunuh," kata Kapolres Probolinggo, AKBP.Drs.H.Wizarlan. Polisi yang melakukan olah TKP menemukan fakta kemungkinan adanya jumlah pelaku yang lebih dari satu.

Kesimpulan sementara menyebutkan, korban sengaja dibuntuti oleh beberapa orang sebelum dieksekusi. Herliyanto yang mengetahui kejadian itu berniat melarikan diri ke tengah hutan dengan meninggalkan sepeda motornya di jalan makadam. Tapi pelaku bisa mengejar dan membacoknya di punggung. Saat korban terjatuh, pelaku lainnya menghujaninya dengan sabetan senjata tajam.

Mengapa Herlyanto dibunuh? Hingga seminggu setelah peristiwa itu terjadi, belum diketahui secara pasti motif pembunuhan tersebut. Polisi sudah meminta keterangan sembilan orang saksi yang dianggap mengetahui peristiwa itu. Ricard De Mas Nre, salah satu rekan korban yang juga wartawan di Probolinggo meyakini, Herlyanto sengaja dibunuh karena berita yang ditulisnya. "Dia adalah wartawan yang kerap kali menulis berita kasus kriminal, saya yakin, karena berita yang ditulisnya itulah Herlyanto dibunuh," katanya pada The Jakarta Post.

Data yang diperoleh The Post menyebutkan, beberapa minggu belakangan ini, Herlyanto berkonsentrasi pada kasus penyelewengan keuangan di desa setempat. Mulai kasus penjualan air bersih, hingga kasus kerja pembuatan jembatan yang tidak sesuai standart yang ditentukan. "Bahkan sebelum meninggal, dia meng-sms saya untuk menilis berita tentang penyelewengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah-RED)," terang Ricard.

Istri Herlyanto, Samiudiana sangat terpukul dengan peristiwa itu. Apalagi, Herlyanto adalah satu-satunya tonggak perekonomian keluarga. "Dibayar Rp.100 juta pun saya tidak akan terima, saya minta pelakunya dihukum mati, seperti yang diperbuat kepada suami saya," katanya. Pihak keluarga akan terus mendesak polisi untuk menuntaskan persitiwa itu. "Kalau perlu, saya akan menghadap ke Kapolda Jatim, dan meminta agar peristiwa ini diusut tuntas," katanya pada The Post dengan berlinang air mata.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menganggap kasus kekerasan ini adalah persoalan serius. Untuk itu AJI Indonesia mengutus tim investigasi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di kabupaten 120 dari Surabaya itu. "Dari hasil sementara investigasi dan bukti-bukti yang kami kumpulkan di lapangan menyebutkan Herlyanto tewas karena berita yang ditulisnya," jelas Bibin Bintariadi, anggota tim investigasi AJI Indonesia. Benarkah? Entahlah. Yang pasti, ada wartawan yang tewas dibunuh di hutan jati.***