Monday, April 10, 2006

Bondowoso Bertarung Melawan Buta Aksara

Suasana Mushola (masjid kecil) di Desa Tangsil, Kecamatan Wonosalam, Bondowoso, Selasa (01/02) malam itu tampak meriah. Tempat yang sehari-harinya digunakan untuk beribadah umat muslim setempat itu kali ini digunakan sejumlah 20 ibu-ibu warga sekitar untuk belajar membaca. Sambil duduk bersimpuh, ibu-ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani dan pedagang kaki lima itu menulis satu demi satu huruf abjad. "Jangan sampai salah, huruf "p" itu bulatnya di atas, kalau buruf "b" bulatnya di bawah," kata Edi Sutrisno, petugas Polsek Wonosari yang malam itu menjadi tutor relawan. "Iyaaa,.." jawab ibu-ibu itu serentak, sambil terus menulis.

"Kalau sudah selesai, mari kita belajar membaca,..sudah apa belum?" tanya Edi. "Sudah pak," jawab ibu-ibu itu sambil menghentikan aktivitasnya dan mulai memperhatikan papan tulis kapur berukuran 1x1 m yang ada di depan mereka. Edi pun mulai mengeja kata demi kata, diikuti oleh seluruh ibu-ibu. Sesekali mereka tertawa ketika ada kata-kata yang dianggap lucu. "KU,..DA,..LA,..RI dibaca apa?" tanya Edi. "KUDA LARI,.." jawab mereka. "Lho,..kalau kudanya lari ya dikejar," celoteh salah satu ibu, disambut tawa renyah ibu-ibu yang lain.

Dirasa cukup, Edi meminta salah satu ibu untuk maju dan menuliskan namanya di papan tulis. Dengan malu-malu, seorang ibu bernama Sariye pun maju dan pelan-pelan menuliskan namanya. Meskipun huruf-huruf tampak tidak jelas, namun Sariye yang tidak pernah mengenyam pendidikan itu pun berhasil menulis namanya. "Wah,..kalau sudah pinter seperti ibu Sariye, bisa nulis SMS lho," celoteh salah satu ibu disambut tawa panjang.

Gambaran di Kecamatan Wonosari, Bondowoso, Selasa (01/02) malam ini adalah satu dari 2000-an kelompok belajar pemberantasan buta aksara di Kota Bondowoso, Jawa Timur. Apa yang dilakukan kota berpenduduk 720 juta jiwa itu bukan tanpa alasan. Jawa Timur adalah provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah warga buta huruf paling banyak. Urutan kedua disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal itu dikatakan Menteri Pendidikan RI, Bambang Sudibyo di Surabaya, Jumat (13/01) lalu.

Menurut Bambang Sudibyo, dari 34 juta penduduk Jawa Timur, 29,2 persen atau sekitar 1,6 juta jiwa di antara tidak mengerti baca, tulis dan berhitung (calistung). "Jawa Timur terbanyak dalam buta aksara, sekitar 29,2 persen dari seluruh penduduk Jatim, disusul Jateng dan Jabar," kata Bambang Sudibyo. Karena itu, Bambang meminta pemerintah provinsi Jawa Timur untuk berkonstrasi dalam pemberantasan buta aksara, sebagai bagian dari program pemberantasan buta aksara nasional. Untuk program itu, pemerintah menyediakan anggaran Rp175 M -Rp.1 trilyun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) mendatang.

Yang menarik, meskipun Jatim menempati urutan teratas dalam jumlah penderita buta aksara, tapi di salah satu kota di provinsi itu, Bondowoso juga merupakan kota dengan metode pemberantasan buta aksara terbaik di Indonesia. "Bondowoso melakukan proses pemberantasan buta aksara yang bagus dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat," kata Bambang memuji pelaksanaan pemberantasan buta huruf di kota berjarak 200-an KM dari Surabaya itu.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Bondowoso, Syarif Oesman hanya tersenyum ketika dikonfirmasi mengenai hal itu. Meski berterima kasih dengan penghargaan Menteri Pendidikan, tapi menurutnya, terobosan yang dilakukan di Bondowoso itu hanya sebagai upaya mengatasi problem di masyarakat. "Apa yang kami lakukan hanya mencari solusi dari banyaknya kemiskinan di Bondowoso, dan menurut kami hal itu bisa diselesaikan lewat pemberantasan buta aksara," katanya, pada The Jakarta Post.

Bondowoso adalah salah satu kota termiskin di Jatim. Dari 720,1 ribu jiwa penduduk kota itu, 246,3 ribu jiwa diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Faktor kemiskinan itu juga yang akhirnya membuat tingkat pendidikan di kota ini jauh tertinggal. Dari penduduk usia 15-44 tahun yang berjumlah 350 ribu jiwa misalnya, 53 ribu diantaranya menderita buta aksara. Begitu juga dengan penduduk usia 45 tahun keatas yang berjumlah 189,8 ribu jiwa, 111 ribu diantaranya tidak mengenal calistung. Jumlah total penderita buta huruf di kota itu adalah 164,8 ribu jiwa yang tersebar di 20 kecamatan.

Kondisi geografis yang berbukit dan bergunung-gunung menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat pendidikan di Bondowoso. Belum lagi tingkat kemiskinan yang tinggi, membuat masyarakat kota yang terapit pegunungan itu lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan fisik ketimbang pendidikan. "Tidak heran banyak sekali penduduk Bondowoso yang lebih memutuskan berhenti sekolah dan menikah pada usia dini, setelah itu bekerja sebagai petani," kata Syarif Oesman pada The Post. Belum lagi persoalan kurangnya jumlah guru yang mengajar di Bondowoso. "Saat ini ada terdapat 7318 guru yang mengajar di Bondowoso, kekurangannya sekitar 3 ribuan guru," jelasnya.

Efek yang bisa dirasakan dari kondisi itu adalah sulitnya pemerintah mensosialisasikan program pembangunan. Termasuk program peningkatan hasil pertanian di Bondowoso. Misalnya saja, ketika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan petani dengan pemberian pupuk dan obat-obatan untuk tanaman persawahan. Tapi karena kebanyakan petani tidak bisa membaca, maka pemberian pupuk dan obat itupun tidak sesuai dosis. Hasilnya, peningkatan hasil petanian pun gagal.

Atas kondisi itulah, Bupati Bodowoso Mashoed mengumpulkan seluruh aparatur pemerintahan termasuk Kepala Kecamatan dari seluruh Bondowoso. Dalam pertemuan itu Mashoed memerintahkan seluruh Kepala Camat untuk mendata seluruh jumlah penduduk yang buta aksara. Tercatat terdapat Kecamatan Cerme dan Kecamatan Binakal tercatat sebagai kecamatan berpenduduk terbanyak buta aksara dengan 4886 dan 4156 jiwa. "Atas dasar survei itulah, diputuskan adanya gerakan pemberantasan buta huruf di empat kecamatan, Binakal, Wonosari, Grujukan dan Pajekan sebagai pilot project pemberantasan buta aksara," jelas Syarif Oesman.

Seluruh elemen masyarakat, mulai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, Perangkat Desa, Muslimat/Fatayat NU, Aiyiah, tokoh masyarakat hingga aktifis LSM dikerahkan untuk menjadi tutor relawan gerakan pemberantasan buta aksara. Tempatnya pun menggunakan balai desa, mushola hingga rumah penduduk. Pemerintah Kota Bondowoso mengajukan anggaran APBD 2006 sebanyak Rp. 2 M untuk pemberantasan buta aksara. "Sejak program ini dicanangkan pada Agustus 2005 hingga sekarang, Alhamdulillah banyak penduduk yang bisa membaca, kami yakin, tahun 2007 Bondowoso akan bebas buta aksara," kata Syarif Oesman.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Dhaniel Rosyied mengatakan untuk menghapus buta aksara di Jatim harus terlebih dahulu mengurangi pendidikan formalistik dan menggantikan dengan bentuk pendidikan berbasis ketrampilan. Karena pendidikan berbasis ketrampilan mampu membuat masyarakat merasa perlu bersekolah karena membutuhkan ketrampilan untuk bekerja. "Selama ini, masyarakat merasa sekolah tidak perlu karena hanya mendapatkan ilmu, dan bagi orang miskin, ketrampilan lebih penting daripada ilmu," kata Dhaniel pada The Post.

Namun, harus diingat, pendidikan ketrampilan itu harus disesuaikan dengan karakter masyarakat setempat. Misalnya di lingkungan petani, ketrampilan yang diajarkan berbeda dengan ketrampilan di lingkungan nelayan. Untuk itu, Dhaniel menyarankan disiapkan tenaga guru yang juga memahami persoalan ketrampilan yang dimaksud. "Tenaga guru yang bisa mendidik secara formal dan ketrampilan tidak hanya menghapus buta aksara, tapi sekaligus meningkatkan keterampilan masyarakat dan pada akhirnya bisa berkarya," katanya.***

"INGIN BISA NULIS SMS," KATANYA

Hujan deras yang mengguyur Kota Bondowoso, Jawa Timur, Selasa (01/02) malam, tidak menyurutkan niat Suharna,45, untuk datang ke Sekolah Dasar (SD) Tangsil Wetan, Kecamatan Wonosari, Bondowoso. Di salah satu ruangan SD itulah, setiap Selasa, Rabu dan Kamis digunakan warga sekitar untuk kelompok belajar pemberantasan buta aksara. "Assalamualaikum,.." sapa perempuan itu begitu memasuki ruangan kelas berukuran 7x7 m itu, dibalas salam tujuh ibu-ibu yang sudah terlebih dahulu datang di kelas itu.

Setelah melipat payung lusuh yang dibawanya, perempuan berdarah Madura itu masuk kelas. Malam itu, Suharna duduk di bangku terdepan, di samping pintu. Sambil membetulkan letak jilbabnya, nenek satu cucu itu mengeluarkan buku tulis, pensil dan penghapus yang dibawanya, dan ditaruh di atas meja. "Malam ini kita akan belajar merangkai kata kan?" tanyanya dalam logat Madura kepada salah satu ibu yang duduk di sampingnya. "Iya,.. kemarinkan sudah membuat BA,..BI,..BU,.."jawab sang ibu. Suharna mengangguk dan membuka-buka buku tulisnya.

Suharna adalah satu dari 47,6 ribu warga Bondowoso yang saat ini terlibat dalam gerakan pemberantasan buta aksara. Setiap minggunya, Suharna dan kelompok belajarnya yang terdiri dari 17 ibu-ibu yang kebanyakan domisili di sekitar lokasi pertemuan, bertemu di SD Tangsil Wetan untuk belajar baca, tulis dan berhitung (calistung). "Biasanya, kami datang dan tujuh malam dan pulang jam sembilan malam," kata Suharna pada The Jakarta Post.

Apa yang dilakukan itu, menurut perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kaki lima (PK5) itu berangkat dari keinginannya sendiri. "Saya sama sekali tidak pernah sekolah, makanya tidak bisa membaca sama sekali, kadang saya bingung kalau harus pergi ke kota sendirian,..nggak tahu jalan," katanya. Karena itulah, saat diumumkan akan ada kelas belajar membaca, Suharna berinisiatif untuk ikut. "Enak, belajar malam hari sama ibu-ibu yang lain," katanya sambil tersenyum.

Berkenalan dengan huruf dan angka, bagi Suharna dan kelompoknya, ibarat mengenal hal yang sama sekali baru. Dia mengaku sulit mengingat-ingat sati demi satu huruf 26 huruf abjad yang diperkanalkan. "Yang paling sulit mengingat-ngat huruf "w", "a" dan "e", huruf-huruf itu sepertinya sama bentuknya," katanya sambil tersenyum. Namun, Suharna mengaku bersyukur tutor yang mengajarinya tergolong sabar. "Gurunya baik dan sabar," katanya sambil berbisik.

Meski senang belajar membaca dan berhitung, Suharna mengaku agak bersedih karena suami yang sehari-harinya beternak bebek, serta anak perempuannya, tidak bersedia ikut dalam kelompok belajar membaca. "Makanya yang ikut hampir semuanya adalah ibu-ibu, bapak-bapaknya malu, dan memilih untuk tinggal di rumah," kata ibu satu anak dan satu cucu ini. Padahal, menurutnya, belajar membaca itu sangat penting, disamping bisa mengurus surat-surat, dan bisa tahu banyak hal. "Dulu, waktu saya tidak bisa membaca, tidak bisa tanda tangan di KTP, pakai cap jempol," kenangnya.

Anak Suharna, Julirati,19, lebih memilih untuk tinggal di rumah dan mengurus anaknya. Meski tidak sempat melanjutkan sekolah ke bangku SMP, Julirati pernah bersekolah hingga kelas 6 SD. "Karena tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah, Julirati memilih untuk kawin, dan sekarang sudah punya anak, Sutiawati (6)," kata perempuan bertubuh langsing ini.

Karena sadar dengan pentingnya bisa baca dan tulis, Suharna menginginkan cucunya, Sutiawati, untuk bisa membaca dan menulis. "Bisa membaca dan menulis itu ternyata penting, saya ingin cucu saya bisa sekolah,..nanti kalau cucu saya sudah besar kan bisa kirin SMS-an dengan saya," kata Suharna sambil tertawa. ***

No comments: