Wednesday, July 26, 2006

Cerita Kecil Di Tengah Lumpur

Kalau Boleh Memilih, Kami Memilih Kembali Ke Rumah

Raut muka Muhammad Ubaid Chikditiro,8, lusuh. Matanya seakan enggan dibuka. Pelajar Madarasah Ibtidaiyah (MI) Al Fadullah itu tiduran di atas karpet hijau yang terbentang di salah satu kios pengungsian di Pasar Baru Porong Sidoarjo, Jumat (23/05) pagi ini. Bantal lusuh berwarna hijau digunakan untuk menopang kepalanya yang terasa pusing.

Di sekitar bocah yang akrab ditanggil Tio itu tergantung puluhan baju-baju kotor yang berdampingan dengan kelambu lusuh dari kain sisa baju seragam. "Tio lagi sakit pusing-pusing, sejak dua hari lalu tidak masuk sekolah,' kata ibunda Tio Sujantini,44, pada The Jakarta Post. Sejak itu, Tio selalu tiduran di, sementara teman-temannya bersekolah dan bermain.

Nasib pengungsi memang selalu jauh dari kehidupan normal. Begitu juga yang terjadi di masyarakat tiga desa di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang mengungsi karena kediaman mereka terendam lumpur panas PT. Lapindo Brantas Inc. Saat ini tercatat ada 4443 jiwa dari Desa Siring, Desa Reno Kenongo, Desa Kedung Bendo dan Desa Jatirejo.

Ribuan orang itu berdiam di 282 kios-kios bangunan Pasar Baru, Porong Sidoarjo seluas lima hektar. Satu kios berukuran 4x6 meter didiami oleh lima kepala keluarga, beserta barang-barang yang dibawanya. Untuk memisahkan satu keluarga dan keluarga yang lain dibatasi dengan kelambu kain yang dipasang sendiri oleh pengungsi.

Keluarga Ny. Sujantini mendiami kios no.L-10 yang terletak di sebelah utara kompleks Pasar Baru. Di sana Sujantini tinggal bersama keluarga bibinya, Suningsih dan keluarga Nuraini yang juga anak Sujantini. "Untuk menghemat ruangan, tidak semua baran-batang kami bawa, hanya surat-surat penting dan barang berharga," kata Sujanti pada The Post.

Pasar baru memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Dengan 15 los ruangan pasar berukuran besar, mushola, tiga tempat pendidikan dapur dan dapur umum. Meskipun secara fisik, lokasi pengungsian tertata rapi, namun banyaknya pengungsi dalam satu kawasan menciptakan problem tersendiri. Problem paling awal dialami saat mandi pagi.

Sejumlah 109 kamar mandi, dengan 22 di antaranya adalah permanen. Dengan jumlah itu, pengungsi dipaksa untuk berebut kesempatan mandi. Untuk dapat jatah mandi, setiap pagi Sujantini harus bangun jam 03.00 WIB, dan langsung menuju kamar mandi, sekalian mengambil air wudlu untuk sholat Subuh. Terlambat satu jam saja, bisa dipastikan kamar mandi sudah dipenuhi oleh pengungsi. "Jam 03.00 saja sudah mengantri, apalagi kalau terlambat," kata Sujantini setengah tertawa.

Kamar mandi yang digunakan pun sangat sederhana. Yaitu sebuah tanah parkir yang disekat-sekat dengan menggunakan anyaman bambu (gedhek). Di tiap-tiap sekatan itu terdapat satu bak mandi dan closed. Pada awal-awal digunakan, air yang mengalir di kamar mandi itu jauh dari layak. Baunya seperti air selokan. "Kadang-kadang sampai saat ini masih seperti itu," kata ibu dua anak itu.

Menjelang pagi, petugas dari Kabupaten Sidoarjo membagikan makan pagi berupa nasi bungkus berisi nasi, lauk dan sayur. Petugas juga membagi air mineral gelasan sebanyak satu kotak untuk sembilan keluarga. Kalau dirasa kurang, pengungsi bisa mengambil air bersih di 10 tanki yang disediakan. Jatah makan siang diberikan menjelang siang dalam jumlah yang sama.

Ketika malam tiba, sebagian besar pengungsi memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton 26 televisi yang dipasang di tiap pojokan tempat pengungsian. Siaran langsung World Cup menjadi menu utama tayangan TV televisi. "Memang semua tersedia, tapi kalau boleh memilih, kami memilih untuk kembali ke rumah," katanya.

Ribuan orang yang hidup di pengungsian yang serba terbatas mulai memunculkan penyakit. Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo mencatat, sebagian besar pengungsi menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Jumlahnya mencapai 981 orang. Disusul penyalit pegal-pegal (mialgra) sebanyak 177 orang.

"Mual muntah dan pusing diderita oleh 170 orang," kata Hinu Tri Sulistyowati, korrdinator Rumah Sakit Lapangan di pengungsian. Selain tiga penyakit itu, diare juga mulai menunjukkan kenaikan, hingga 126 orang. Besarnya jumlah penderita penyakit menurut Hinu muncul karena budaya masyarakat menyangkut kepersihan masih belum merata. Seperti budaya mencuci tangan sebelum makan.

Selain itu, Hinu juga menilai fasilitas kamar mandi kurang memadai, dalam kondisi fisiknya maupun jumlahnya. "Kalau ingin penduduk sehat, tetap harus dibangun kamar mandi lebih banyak, karena jumlah pengungsi terus meningkat," kata Hinu pada The Post.***

JUMLAH PENGUNGSI

1. Pasar Baru Porong: 1069 KK, 4443 Jiwa
2. Balai Desa Reno Kenongo: 148 KK, 535 Jiwa

SARANA PENGUNGSIAN

Pasar Baru

1. Kios 282 buah
2. Los Pasar 15 buah
3. Mushola 1 buah
4. Tempat Pendidikan Sementara, 3 buah
5. Dapur Umum + Mobil 2 buah
6. Televisi 26 buah
7. MCK Permanen 22 buah, darurat 109 buah, mobil 1 buah
8. Posko 2 buah
9. Sarana Transportasi truk 3 buah, pick up 4 buah, ambulance 6 buah, tangki 3 buah
10. Bak air minum 10 buah

SARANA KESEHATAN

1. Puskesmas, rawat jalan 265 jiwa, rawat inap 23 jiwa, masuk rumah sakit RSU Sidoarjo 6 jiwa
2. RS. Bhayangkara, rawat jalan, 729, rawat inap 82 masuk RSU Sidoarjo 14 jiwa
3. RSU Sidoarjo, rawat inap 9, opname 3 jiwa

SISWA MENGUNGSI

TK/SD 142 anak
SDN/Madarasah Ibtidaiyah 610 anak
SMP/ Madrasah Tsanawiyah 188
Madrasah Aliyah 52

total 492

----------------------------

"Keindahan" Lumpur Dilihat Dari Kacamata Peneliti


Keindahan danau lumpur panas dan beracun yang tersembur dari sekitar lokasi pengeboran minyak dan gas bumi PT. Lapindo Brantas Inc.

Kecuali warnanya yang abu-abu, secara fisik tidak ada yang berbeda dari batu bata yang dipegang oleh Sariman, salah satu peneliti dari Teknologi Pengolahan Mineral dan Batu Bara (Tekmira). Ukuran, berat dan tebal batu bata itu persis sama dengan batu bata kebanyakan yang ada di masyarakat. "Ini adalah batu bata yang kami buat dari lumpur Porong Lapindo," kata Sariman, Jumat (14/07) ini di Surabaya.

Di samping berbagai upaya untuk menghentikan semburan lumpur panas disertai gas beracun dari areal pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc terus dilakukan, ada upaya lain yang juga dilakukan para peneliti dari berbagai lembaga di Indonesia. Yaitu mencari kegunaan dari lumpur beracun yang sampai saat ini menggenangi ribuan hektar lahan dan memaksa ribuan orang mengungsi itu.

Hasilnya cukup mengejutkan. Dari lumpur panas itu bisa diciptakan bahan-bahan bangunan alternatif seperti batu bata, beton hingga bahan pengganti aspal jalan. Hebatnya, bahan-bangunan yang tercipta dari lumpur itu memiliki tingkat kekuatan yang jauh lebih tinggi dari bahan bangunan yang selama ini sudah ada.

Salah satu peneliti Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industru (LAPI) ITB, Budi Lationo mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan, pihaknya berhasil menciptakan batako dari lumpur Lapindo. "Batako yang kami buat ini lebih murah dan mudah, karena tidak memerlukan kerikil dan pasir, seperti yang selama ini digunakan sebagai bahan dasar batako," kata Budi Lationo pada The Jakarta Post.

Cara membuatnya pun mudah, hanya dengan mencampurkan lumpur yang sudah kurangi kandungan airnya dengan semen dan polimer (bahan sejenis plastik yang bisa dibeli ditoko-toko). Untuk 1 m3 batako, semen yang dibutuhkan sekitar 400 kg dan 5 liter polimer. "Semua bahan-bahan itu dicampurkan dalam mixer dan kemudian diaduk, kalau sudah merata, bisa langsung dicetak," katanya.

Bila tidak ada alat untuk mencetak menjadi batako, adonan lumpur, semen dan polimer itu bisa langsung digunakan untuk membuat tembok rumah, jembatan hingga gedung-gedung tinggi. "Setelah kami teliti kekuatannya, bahan bangunan dari lumpur ini lebih kuat, bahkan tanpa diberi 'tulang"
dari lonjoran besi," jelasnya.

Totok Nurwasito dari ITS menawarkan cara lain untuk mengolah lumpur Lapindo dengan hanya menambahkan semen dan batu kapur. Untuk 1 m3 lumpur dan dicampur dengan 2 sak serta 100 KG kapur, bisa menghasilkan 600 batu bata. "Batu bata itu berukuran sama persis dan bisa dikerjakan oleh man power maupun mesin," kata Totok.

Untuk batu bata yang ditawarkan Totok, bisa dikerjakan tanpa melalui proses pembakaran, seperti pembuatan batu bata selama ini. Energi sinar matahari yang ada sudah cukup bisa membuat batu bata berbahan lumpur itu keras. "Kekuatan yang dimiliki pun bisa diandalkan, bisa dipasang di dalam tembok, maupun menjadi hiasan di luar tembok tanpa dicat," katanya.

Ilmuan dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Syekhfani punya teori sendiri ketika diriya "menyelami" lumpur panas dan beracun Lapindo. Menurut ahli pertanian ini, lumpur yang menyembur di desa Siring dan kini menggenangi ratusan hentar lahan persawahan dan pemukiman penduduk itu sangat berbahaya, terutama untuk tanaman.

Unsur-unsur yang ada di dalam lumpur itu, membuat tanaman, apapun jenisnya, mati. Bahkan lahan yang diendapi lumpur itupun tidak bisa digunakan. "Kecuali dilakukan reklamasi lahan yang memerlukan biaya sangaaatt mahal," kata Syekhfani pada The Post. Unsur-unsur yang ditemukan pun lebih banyak unsur negatif.

Seperti natrium (Na), aluminium (Aldd), besi (Fe), khlor (Cl) dan electrical cunductivity (Ec). "Seperti kita ketahui, besi dan chlor adalah unsur yang meracuni, tapi sekali lagi, kalau mau lahan bekas lumpur tetap bia digunakan, urusan biaya, urusan lain," tegasnya.

Ketua Tim 2 Pengelolaan Air Permukaan dan Lumpur kasus Lumpur Lapindo, Gempur Adnan pun mengakui bahwa lumpur Lapindo tergolong zat B3 (bahan, beracun dan berbahaya). Karenanya, hal itu tidak boleh menghalangi pemanfaatan bahan berbahaya itu, seperti halnya memanfaatan bahan B3 lain, clay ice dan tailing.

"Banyak baahan bangunan yang diciptakan dari bahan B3, seperti clay ice dan tailing, tapi toh aman-aman saja," katanya. Meskipun demikian, Gempur Adnan menekankan perlunya izin dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) bila ingin memproduksi secara massal bahan bangunan alternatif itu. "Izin dari KLH harus ada, karena menyangkut keselamatan masyarakat dan lingkungan," kata Gempur Adnan.

Persoalan Masih Terendam Di Lumpur Lapindo

Suatu siang di hari Senin (29/05), tesemburlah gas berwarna putih disertai percikan lumpur. Tepatnya di Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo. Semakin hari, semburan lumpur panas dan gas hidrosulfida (H2S) dan amoniak (NH3) itu semakin banyak, menggenangi areal di sekitarnya. Ribuan orang mengungsi, ratusan orang sakit dan dua orang meninggal dunia.

Hingga hampir dua bulan ini, luapan lumpur di areal Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc itu sudah menggenangi 191 ribuan hektar lahan. Berbagai upaya untuk menghentikan semburan lumpur disertai gas itu sudah dilakukan. Mulai mendatangkan snubbing unit (alat untuk mendeteksi sumber semburan di dalam tanah) hingga pembangunan rellief well (alat untuk menutup sumber semburan) sudah didatangkan. Namun, nihil.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mencermati peristiwa luapan di Sidoarjo ini bukan sebuah sebuah peristiwa biasa. Melainkan salah satu rangkaian persoalan di dunia pertambangan Indonesia. Persoalan pertama adalah soal status sumur Banjarpanji-1. Sumur eksplorasi di Desa Renokenongo ini adalah perluasan dari rencana pnegelolaan kandungan migas di Blok Brantas di tiga Kabupaten, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan.

Total seluruh sumur yang sudah dieksplorasi maupun yang sudah di eksploitasi sebanyak 49 buah. Dengan rincian 43 sumur di Kabupaten Sidoarjo, empat sumur di Kabupaten Mojokerto dan sisanya, dua sumur di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Dalam sebuah dialog di Surabaya, Dinas ESDM Jatim merilis target pengeboran di 110 titik sumur dari 28 sumur.

"Anehnya, yang selama ini terekspos hanya 21-28 sumur, ada apa ini?" kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Ridho Syaiful Ashadi pada The Jakarta Post awal Minggu ini. Menurut Ridho, pada aktivitas pertamanya di tahun 1990, sumur Banjarpanji-1 adalah salah satu aktivitas pertambangan yang tidak memiliki analisis dampak lingkungan (amdal). "Itu jelas-jelas pelanggaran berat," kata Ridho Syaiful Ashadi.

Apalagi, eksplorasi Lapindo Brantas Inc dilakukan di tengah-tengah daerah pemukiman padat penduduk. Awalnya, blok Brantas di miliki oleh PT. HUFFCO 1990 yang kemudian dijual ke Lapindo Brantas Inc pada tahun 1996. Setahun kemudian, tahun 1997, Lapindo Brantas Inc menandatangi MOU dengan Perusahaan Gas Negara sebagai salah satu supplyer gas di Indonesia.

Di tahun 1999, produksi gas dilakukan untuk pertama kali. Rencananya akan ada dua puluh titik sumur pengeboran yang akan digarap. Sejak 2005 hingga sekadang, Blok Brantas dinikmati oleh Lapindo Brantas Inc sebesar 50 persen (sekaligus menjadi operator proyek), PT. Novus Brantas sebesar 32 persen, PT. Santos Brantas sebesar 18 persen.

Persoalan kedua yang menggantung dalam kasus menyemburnya lumpur panas dan gas ini adalah dilanggarnya tahap-tahap aktivitas pertambangan. Aturan main di Indonesia menyebutkan, perlu adanya surat izin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang usaha pertambangan (PUP) yang dimiliki perusahaan pertambangan.

"Bila keduanya sudah dimiliki, perlu adanya izin eksplorasi yang didapatkan melalui assesment dan kelayakan yang komperehenship perusahaan yang bersangkutan," kata Ridho Syaiful Ashadi. Semuanya belum lengkap tanpa adanya izin lokasi yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Tingkat II. "Sudahkah Lapindo Brantas Inc memiliki semua izin itu?" tanya Syaiful.

Hal ketiga adalah carut marutnya alur proyek yang dinilai sebagai titik awal terjadinya bencana semburan lumpur dan gas ini. Terutama terkait data tentang titik akhir pengeboran (drilling) saat terjadinya blow out lumpur dan uap gas H2S. Walhi mencatat, rencananya titik akhir dari pengeboran di itu adalah 10.000 feed. Namun blow out terjadi pada kedalaman 8000-9000 feed.

"Jawaban dari semuanya bisa dilihat dari pemasangan block cassing, apakah sudah terpasang? Kalau belum atau sengaja tidak dipasang, sepertinya hal itu bukan keputusan operator pengeboran, sangat mungkin dia hanya menjalankan kontrak dan perintah yang tidak mensyaratkan pemasangan block cassing," kata Syaiful.

Data Bencana Industri di Jawa Timur

1. Minyak Tumpah
- Waktu : Tahun 2000
- Lokasi : Blok Pangkah, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik
- Pelaksana Proyek : PT. Premier Oil

2. Semburan H2S
- Waktu : Tahun 2001
- Lokasi : Desa Rahayu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Tuban
- Pelaksana Proyek : PT. Devon Kanada kini dikelola PT.Petrochina

*data WALHI JATIM

Perkosaan Anak SD Pada Teman Sekelasnya

Air mata Tri Ismiatun perlahan-lahan menetes ketika perempuan berusia 35 tahun itu menceritakan kondisi anaknya, Kuntum,11 (bukan nama sebenarnya) yang menjadi korban pelecehan seksual oleh empat teman sekelasnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gandusari II Trenggalek, Jawa Timur.

Apalagi ketika perempuan yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga itu mengingat betapa sayang dirinya kepada anak gadis terakhirnya itu. "Kasihan betul anak saya itu, sekecil itu sudah mengalami mimpi buruk yang dihindari setiap perempuan, menjadi korban perkosaan," kata Tri Ismiatun pada The Jakarta Post, Selasa (04/07) ini.

Kisah yang dialami Kuntum memang tragis. Gadis yang sempat menjadi wakil Kabupaten Trenggalek dalam setiap even lomba tari tradisonal itu menjadi korban perkosaan oleh teman sekelasnya, DMS (12), SND (11), PTT (11) dan KKH (11). Ironisnya, kejadian itu berlangsung beberapa kali di ruang kelas, perpustakaan dan kamar mandi.

Kejadian itu berlangsung pada pertengahan Mei lalu. Suatu hari, ketika jadwal pelajaran Matematika kosong karena gurunya tidak hadir, DMS bersama tiga temannya memaksa Kuntum untuk masuk ke kamar mandi putra. Kuntum yang mengira kejadian itu hanya gurauan semata berusaha menolak. Namun, apa daya, empat orang bocah laki-laki itu jauh lebih kuat.

Di dalam kamar mandi, keempat bocah SD itu menelanjangi Kuntum, meraba bahkan memperkosanya. Beberapa pukulan sempat mendarat di wajah Kuntum ketika gadis itu coba berteriak. "Saya awalnya tidak percaya, tapi seperti itulah yang terjadi, usai kejadian itu, Kuntum melaporkan kejadian itu ke salah satu gurunya, namun diabaikan," kata Tri Ismiatun yang kini menemani suaminya, Ismail, 53 yang sedang obname penyakit infeksi dubur.

Beberapa hari kemudian, saat waktu istirahat, keempat bocah laki-laki itu kembali melakukan hal serupa. kali ini terjadi di dalam kelas. Kuntum yang sedang mengerjakan beberapa soal tiba-tiba dipeluk dari belakang dan diperlakukan tidak senonoh. Begitu juga ketika Kuntum ada di perpustakaan. "Kuntum tidak mau menceritakan semua itu kepada saya, karena takut saya marah," kata Tri Ismiatun.

Semua aib itu terbongkar ketika seseorang yang mengaku tahu peristiwa itu melaporkan kejadian itu pada sebuah wartawan koran lokal di Trenggalek. Tri Ismiatun dan Ismail bagaikan tersambar halilintar, dan segera membawa kasus ini ke polisi. "Hasil visum menyebutkan, dinding vagina anak saya lecet-lecet, sebagai tanda kemasukan benda asing...," kata Tri Ismiatun terhenti. Ia tersedu-sedu.

Polisi segera menyidik kasus ini, dan menetapkan DMS (12), SND (11), PTT (11) dan KKH (11) sebagai tersangka. Kejaksaan Negeri Trenggalek yang menangani kasus ini meminta keempat tersangka untuk ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Trenggalek. Keempatnya dijerat dengan dakwaan berlapis, melakukan perbuatan cabul secara bersama-sama dan berlanjut, sesuai pasal 82 KUHP tentang asusila.

Salah satu anggota majelis hakim yang rencananya akan menyidangkan kasus ini pada Senin (10/07) mendatang, Didi Ismiatun mengatakan majelis akan mempertimbangkan apakah keempat tersangka itu pantas dihukum atas perbuatannya atau tidak. "Hukuman maksimal 15 tahun dan denda maksimal 30 juta," kata Didi.

Kasus perkosaan dengan tersangka dan korban anak-anak ini menurut Koordinator Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Plan Surabaya Indonesia, Nonot Soeryono mengatakan bahwa kasus semacam ini haruslah dilihat secara utuh dengan mempertimbangkan sisi kekanakan pelaku dan korban, tanpa mengabaikan rasa keadilan.

Dari pihak korban misalnya, harus diusut tuntas apakah peristiwa ini benar-benar terjadi. "Secara teknis, harus dilihat dulu apakah proses perkosaan itu benar terjadi, tindakan medis dan hukum yang harus menilai hal itu," kata Nonot pada The Jakarta Post. Sementara dari sisi pelaku atau tersangka, harus dijaga agar pelaku tidak diperlakukan seperti kriminal dewasa.

Secara hukum, anak-anak dianggap belum memiliki kemampuan otak untuk menilai baik buruk tindakannya. Karena itu, dia tidak bisa disamakan dengan prilaku yang dilakukan orang dewasa. Keputusan untuk memasukkan keempat tersangka di LP Trenggalek dan bercampur dengan tahanan dewasa, menurut Nonot Soeryono adalah pelanggaran berat.

"Menurut UU Perlindungan Anak dan Piagam PBB yang melindungi anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, hal itu tidak boleh dilakukan," katanya. Informasi yang diperoleh The Jakarta Post, keempat tersangka anak itu ditempatkan di salah satu sel bagian depan di LP Trenggalek, terpisah dari sel dewasa. Langkah ini diambil majelis hakim karena Trenggalek tidak memiliki LP khusus anak.

Meski terpisah, keempat anak-anak tersangka pemerkosa ini mengalami stress. Ketika dibezuk orang tua mereka, salah satu anak sempat meronta ronta karena ketakutan. Karena itulah, Plan Surabaya Indonesia melalui SCCC yang juga merupakan penasehat hukum keempat bocah itu secara khusus sudah mengirim surat ke Komnas Anak dan Kejari Trenggalek.

Dalam surat itu SCCC meminta pihak terkait segera membebaskan keempat anak itu dari LP Trenggalek, dan dikembalikan kepada orang tua mereka. "Jangan sampai peristiwa Raju di Medan kembali terulang, disaat kita ingin menegakkan hukum, kita justru menyiksa anak-anak dengan melakukan kekerasan kepada mereka," kata Nonot.

Sidang Pertama

Sidang pertama kasus perkosaan yang didakwakan pada empat siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gandusari II Trenggalek, Jawa Timur, digelar di Pengadilan Negeri Trenggalek, Senin (10/07) ini. Keempat siswa SD yang menjadi terdakwa ketakutan dengan banyaknya orang yang datang ke pengadilan. Mereka memilih untuk menutup muka dengan jaket dan topi karena malu.

Sidang tertutup yang berlangsung empat puluh lima menit itu berlangsung tegang. Keempat terdakwa, DMS (12), SND (11), PTT (11) dan KKH (11) yang selama ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Trenggalek dibawa ke PN Trenggalek dengan menggunakan mobil tahanan sekitar pukul 08.30 wib. Begitu sampai ke pengadilan, keempatnya langsung digelandang di ruang tahanan yang terletak di bagian belakang kantor pengadilan itu.

Ruang tahanan yang terbuka dan bisa dilihat oleh pengunjung, membuat keempat bocah itu merasa tidak nyaman. Apalagi Senin ini pengunjung sidang kasus perkosaan keempat bocah itu pada teman sekelasnya, Kuntum,11 (bukan nama sebenarnya-RED) itu tergolong banyak. Mulai petugas berseragam lengkap dan preman, wartawan hingga masyarakat hadir sejak pagi.

Sebagian besar pengunjung langsung menuju ke Ruang Tahanan dan melihat keempat terdakwa yang sejak pertama masuk ke Ruang Tahanan duduk membelakangi jendela pengunjung. "Oh,..ini pemerkosa itu, kok masih kecil ya?" kata sebagian pengunjung usai melihat keempat bocah itu. Sesekali, salah satu dari keempat bocah itu menoleh, dan mengintip dari sela-sela jaket yang menutupi wajahnya.

Sekitar pukul sepuluh, keempatnya dibawa masuk ke Ruang Sidang I. Meski berlangsung tertutup, pengunjung pasih bisa melihat proses persidangan itu dari balik kaca pintu ruang sidang. Keempatnya duduk di kursi terdakwa, didampingi tiga penasehat hukum dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci, Hari Supriadi dan Budi Cahyono. Hanya keluarga terdakwa yang boleh menyaksikan sidang itu.

Dalam sidang dipimpin oleh Lilik Nuraeni itu mencoba untuk menghapus kesan seram dalam persidangan, syarat persidangan kasus anak-anak. Sama sekali tidak ada yang mengenakan baju toga. Termasuk Jaksa Penuntut Umum Wiryaningtyas yang dalam kesempatan itu membacakan dakwaannya. Keempatnya didakwa melanggar Pasal 82 dan pasal 290 tentang tindakan asusila pada anak di bawah umur.

Seperti diberitakan The Post, kejadian itu berlangsung pada pertengahan Maret (bukan Mei yang diberitakan sebelumnya). Saat itu keempat terdakwa memperkosa Kuntum beberapa di lingkungan sekolah dan di rumah Kuntum. Hasil visum menyebutkan alat kelamin korban terluka akibat kejadian itu. Hingga saat ini, Kuntum diungsikan di rumah salah satu saudaranya.

Usai persidangan, salah satu anggota majelis hakim Didi Ismiatun mengatakan, keempat terdakwa menyatakan mengerti dengan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum. "Keempatnya menyatakan mengerti dengan dakwaan, dalam persidangan ini disertakan barang bukti tiga celana dalam," kata Didi Ismiatun.

Dalam persidangan itu, diserahkan pula surat permohonan penangguhan penahanan oleh orang tua keempat terdakwa. Atas surat itu, Majelis Hakim mengaku akan mempertimbangkan. "Persidangan akan dilanjutkan Kamis (13/07) besok dengan agenda pembacaan ekssepsi atau jawaban atas dakwaan," kata Didi mengakhiri jumpa pers.

Edward Dewaruci, ketua penasehat hukum keempat terdakwa mengatakan sejak awal kasus ini digulirkan ada prosedur yang salah dan tidak berprespektif melindungi anak-anak. Mulai pelanggaran menahan terdakwa yang dicampurkan satu lokasi dengan tahanan dewasa, penempatan terdakwa di ruang tahanan yang bisa dilihat oleh siapa saja, hingga dakwaan yang tidak jelas.

"Menempatkan terdakwa anak pada penjara dewasa adalah pelanggaran, apalagi sekarang terdakwa ditaruh di ruang tahanan yang bisa dilihat siapa saja, mereka masih punya masa depan," kata Edward Dewaruci pada The Jakarta Post. Juga persoalan dakwaan yang tidak rinci dan runtut seperti yang disyaratkan dalam persidangan. "Semuanya akan kami sampaikan dalam eksepsi," kata Edward.

Dalam persidangan selanjutnya, Edward meminta dilakukan secara khusus. Mulai tidak semua orang bisa melihat terdakwa dan pelaksanaan persidangan. Juga bila nanti persidangan masuk ke tahap pemeriksaan saksi, termasuk Kuntum, saksi korban. "Saya meminta pelaku dan korban tidak dipertemukan, melainkan menggunakan kamera video dan diambil dari ruang terpisah," kata Edward.

Diana Lestari, konsultan anak SCCC yang sempat berdialog dengan keempat terdakwa di ruang tahanan mengatakan, keempat bocah itu mengaku sangat ketakutan. Ketakutan itu membuat keempat bocah itu enggan diajak bisa oleh siapa saja. Keempatnya hanya menginginkan kasus ini segera berakhir. "Kami ingin cepat pulang," kata Diana menirukan rengekan keempat bocah itu.

Tolak Penangguhan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek yang mengadili kasus perkosaan siswa SDN Gandusari II Trenggalek, Jawa Timur dengan terdakwa empat anak dari sekolah yang sama, mengabaikan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan orang tua keempat terdakwa. Akibatnya, hingga saat ini keempat terdakwa berusia 11 tahun itu masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Trenggalek, satu area dengan narapidana dewasa.

Hal itu terungkap dalam persidangan Kamis (13/07) ini di PN Trenggalek. Dalam persidangan yang berlangsung tertutup itu, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Lilik Nuraeni menyatakan belum mengambil keputusan soal permohonan penangguhan penahanan orang tua keempat terdakwa itu. "Sampai hari ini (Kamis-RED) Majelis Hakim belum memutuskan untuk mengabulkan atau menyetujui permohonan penangguhan," kata salah satu Anggota Majelis Hakim, Didi Ismiatun usai persidangan tanpa menyebutkan alasan yang pasti.

Sejak kasus perkosaan yang didakwakan kepada empat bocah SDN Gandusari II Trenggalek ini bergulir, keempat terdakwa sudah ditahan di LP Trenggalek. Penahanan atas perintah Kejaksaan Negeri itu berdasar pada pasal 44 UU no.3 tahun 97 tentang Pengadilan Anak. Awalnya, kejaksaan hanya akan menahan mereka mulai 20 Mei hingga 30 Juni lalu. Namun ketika masa penahanan Kejaksaan sudah berakhir, proses menahanan diperpanjang atas permintaan Hakim yang mengadili kasus itu, mulai 30 Juni hingga berakhir Jumat 14 Juli ini. Hampir pasti, Setelah Jumat ini, penahanan akan diperpanjang.

Majelis Hakim berdalih, penahanan perlu dilakukan agar terdakwa tidak mengganggu proses persidangan yang akan berlangsung selama 45 hari. LP Trenggalek dipilih karena selama ini Kabupaten Trenggalek tidak memiliki LP khusus anak. Di LP Trenggalek, sel keempat terdakwa dipisah dari narapidana dewasa yang lain. Hal itu dipandang lebih efisien, dari pada menempatkan keempat terdakwa di Kabupaten Blitar, daerah terdekat yang memiliki LP khusus anak.

Penasehat Hukum keempat terdakwa dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Nonot Soeryono yang bersama Hari Supriadi mendampingi terdakwa di persidangan Kamis ini menilai, keputusan untuk tetap menahan keempat terdakwa dan pengabaian permohonan penangguhan penahanan itu, jelas melanggar berbagai aturan tentang anak. Seperti UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.12 tahun 1996 tentang Penempatan Narapidana Wanita dan Anak Didik Pemasyarakatan serta Konvensi PBB soal Hak Anak yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia.

"Terdakwa ini masuk dalam kategori children need a special protection, karena itu penanganannya harus berprespektif melindungi anak-anak," kata Nonot. Dengan menempatkan anak-anak satu area dengan narapidana dewasa, masa depan terdakwa anak-anak pun tidak akan jauh dunia kriminalitas.

Apalagi, dalam aturan perundangan sudah diatur mekanisme hukum penangguhan penahanan yang diajukan oleh orang tua. "Tapi hal itu malah belum diputuskan oleh Majelis Hakim," kata Nonot. Karena itu, Nonot dan Tim SCCC akan menempuh jalur lain untuk segera mengeluarkan anak-anak dari LP Trenggalek.

Pengabaian permohonan penanggugan penahanan atas keempat terdakwa yang masih anak-anak itu juga mengecewakan PRY, 47 orang tua salah satu terdakwa, PTT, 11. "Jelas saya sangat kecewa, mengingat bagaimana tindakan yang dirasakan anak saya sejak pertama kali kasus ini bergulir," kata PRY usai menyaksikan persidangan anaknya. PRY menceritakan, sejak awal anak keduanya ini merasakan perlakukan kasar dari kepolisian.

Seperti pemeriksaan yang dilakukan dalam waktu berjam-jam tanpa didampingi pengacara. Informasi yang diterima The Post, dalam penyidikan itu polisi melakukan bentakan dan ancaman kepada keempat anak itu untuk mengakui semua perbuatan yang dituduhnya.

"Hal yang sama juga terjadi di Kejaksaan, anak saya sampai menangis karena takut dipenjara, meskipun akhirnya tetap mau setelah dibujuk penahanan hanya akan berlangsung selama 10 hari," kenang PRY. Kini, setelah permohonan penangguhan penahanan diabaikan, PRY dan orang tua keempat terdakwa lain berupaya memohon bantuan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui surat.

Selain itu, PRY juga akan memenuhi semua keinginan sang anak, agar merasa tidak tertekan di LP Trenggalek. "Selama ini saya sudah membawa gitar dan bola sepak, agar anak saya tetap bisa bermain meski ada di dalam penjara," katanya.***

Friday, June 16, 2006

Enam Bulan Berlalu, Warga Jember Masih Sengsara

Noda tanah liat itu masih tertoreh di langit-langit rumah Ervina di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (10/06) ini. Tembok sebelah kanan rumah berukuran 10x8 itu pun masih hancur, meskipun puing-puing yang berserakan sudah tidak ada lagi. "Bekas-bekas bencana alam masih terlihat, sekalian untuk mengingatkan kejadian yang terjadi enam bulan lalu," kata Ervina pada The Jakarta Post.

Bencana di Jember terjadi ketika gelombang air bercampur tanah dari atas gunung Argopuro menghanyutkan kayu-kayu besar dan menyapu rumah-rumah yang ada di sepanjang kali di tiga kecamatan, Rambi Puji, Panti dan Sukorambi. Satkorlak Pemkab Jember mencatat, sejumlah 72 orang meninggal dunia dalam tragedi itu, dengan korban terbanyak dari Kecamatan Panti. Sementara ribuan orang lainnya mengungsi karena pemukimannya luluh lantak dihancurkan banjir bandang dan tanah longsor.

Meskipun sudah enam bulan berlalu, bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi 29 Desember 2005 lalu di Jember, Jawa Timur masih terasa. Duka yang menggelayut pun masih menyimuti wilayah yang berjarak 210 KM dari Surabaya. Apalagi, bekas-bekas bencana, seperti bangunan rusak, batu-batu besar hingga bangkai mobil yang terseret banjir bandang masih ada di lokasi kejadian.

Ervina salah satu korban bencana yang masih terus trauma dengan kejadian itu. Ketika bencana itu terjadi, Ervina dan kedua orang tuanya sedang berada di rumah di samping pasar Kemiri, salah satu lokasi terparah yang tersapu banjir dan tanah longsor. Beruntung, saat air sudah meninggi, Ervina dan keluarganya mengungsi di salah satu mushola yang berjarak 500 meter dari rumahnya.

"Tak lama setelah kami mengungsi, air dan lumpur menerjang rumah, semua hancur," kenangnya. Di sekitar rumah Ervina ini juga banyak ditemukan mayat yang tertimbun tanah. Sampai saat ini, kalau hujan deras mengguyur wilayah itu, Ervina memilih untuk tinggal di rumah saudara yang tak jauh dari rumahnya.

Luas wilayah bencana di Jember, membuat penanganan bencana di wilayah itu pun lebih rumit. Apalagi ketika tidak adanya pemetaan wilayah secara pasti. Mulai luas masing-masing kecamatan yang tidak jelas batasan, jumlah penduduk di tiap-tiap desa, karakter masing-masing wilayah, jumlah bangunan hingga titik awal terjadinya bencana. Persoalan ini juga yang membuat proses recovery terkesan lamban.

Hingga enam bulan ini saja, rumah-rumah bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang seharusnya sudah bisa digunakan, masih belum selesai dikerjakan. Rumah bantuan pemerintah propinsi itu berupa rumah seluas 6x6 dengan dinding batako dan asbes, yang juga digunakan untuk bagian atap. Kawasan rekolasi rumah bantuan itu didesain mengelilingi masjid yang juga merupakan tempat ibadah mayoritas warga di kawasan itu.

Relokasi juga dilakukan pada pondok pesantren Al Hasan, Desa Kemiri. Pondok pesantren yang ditempati 300-an santri itu hancur tersapu banjir. Bangunan ponpes yang baru ditempatkan di lapangan Desa Kemiri dengan mengempati areal seluas 2,7 Ha.

Dalam pengamatan The Jakarta Post di dua lokasi relokasi, Desa Kemiri dan Desa Kaliputih hanya puluhan dari 200-an rumah bantuan sudah berdiri. Hal yang sama juga terjadi di Desa Gunung Pasang dan Desa Delima. Sebagian besar rumah bantuan itu masih berupa kerangka tanpa atap dan tembok. Rencananya, ada 100-an rumah yang akan dibangun di Desa Kaliputih, Gunung Pasang dan Delima.

Kelambatan pembangunan rumah-rumah bantuan itu memaksa korban banjir bandang Jember tetap bertahan hidup serba pas-pasan di tenda-tenda atau sekolah-sekolah yang dijadikan tempat pengungsian. Di lokasi pengungsian tanah lapang desa Kemiri misalnya, para pengungsi hidup di 12 tenda besar bantuan Pemerintah Jepang. Tiap tenda rata-rata dihuni enam keluarga. Sistem pembuangan yang tidak tertata rapi dan keengganan pengungsi menjaga kebersihan, membuat lokasi pengungsian tampak kumuh.

Yang yang sama tampak di lokasi pengungsian Desa Kaliputih. Slamet, salah satu pengungsi sangat mengharapkan rumah bantuan itu segera selesai. "Agar saya dan keluarga saya serta pengungsi yang lain bisa hidup normal," katanya. Selama rumah itu belum jadi, Slamet dan puluhan pengungsi di Desa Kaliputih harus berbagi ruangan salah satu sekolah dasar. "Sampai kapan harus seperti ini," katanya dengan senyum terkulum.

Suprapto salah satu pengungsi mengatakan, salah satu hal yang membuat pembangunan rumah bantuan itu lamban adalah tidak adanya pasokan bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah. "Bahan bakunya sering terlambat," kata laki-laki yang kini bekerja sebagai pekerja kasar di perkebunan Kaliputih ini.

Sunday, June 11, 2006

Bertanding Dalam Kesedihan

Sorot mata Sigit Budiarto tampak sayu ketika The Jakarta Post menemuinya di arena Djarum Indonesia Open 2006 Gedung Olah Raga Sudirman, Surabaya, Rabu (31/05) ini. Apalagi ketika pasangan Mens Doubles Limpele Flandy ini ditanya nasib keluarganya di Yogyakarta. "Rumah keluarga saya di Kawasan Kalasan Yogyakarta hancur," katanya pada The Jakarta Post.

Sigit adalah satu dari pemain Djarum Indonesia Open 2006 yang keluarganya menjadi korban gempa bumi di Yogyakarta, Sabtu (27/05) lalu. Selain Sigit ada dua pemain nasional lain yang keluarganya menjadi korban bencana alam yang menewaskan 4000-an orang itu. Mereka adalah Trikus Harjanto dan Aprilia Yuswandari.

Hampir seluruh keluarga besar Sigit tinggal di Yogyakarta, tepatnya di daerah Kalasan, dekat dengan daerah wisata Candi Prambanan. Sigit menceritakan, ketika peristiwa itu terjadi, seluruh keluarganya sedang berada di rumah. "Saat gempa datang Sabtu pagi itu, semua keluarga saya sedang berada di rumah, beruntung tidak ada yang menjadi korban peristiwa itu," kata laki-laki kelahiran Yogyakarta itu.

Meski tidak ada korban jiwa, namun bangunan rumah keluarga Sigit hancur dan roboh. Termasuk rumah kakek Sigit yang ada di daerah Candi Sari Yogyakarta. "Tembok rumah kakek saya juga roboh dan hancur," tegasnya. Sebelum bertanding di Indonesia Open 2006, Sigit menyempatkan diri pulang ke Yogyakarta untuk melihat kondisi rumahnya.

"Kebetulan, sehari sebelum peristiwa itu, saya sedang ada di Kudus, Jawa Tengah untuk hadir dalam peresmian gedung olah raga baru, saat itu saya mendengar ada gempa, dan memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta," kenangnya. Kesedihan terasa, begitu dirinya melihat kondisi rumahnya di Yogyakarta. "Saya hampir tidak bisa berkata-kata," katanya.

Kondisi yang sama juga dialami oleh keluarga Aprilia Yuswandari yang ada di kawasan Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Tempat tinggal seluruh keluarga pemain tunggal putri Indonesia ini luluh lantak dengan tanah. "Kabar yang saya dapatnya, rumah keluarga saya di Imogiri rusak, meskipun tidak ada yang menjadi korban," katanya.

Tragedi yang dialami keluarga Sigit Budiarto dan Aprilia Yuswandari itu mau tidak mau mempengaruhi permainan mereka dalam Djarum Indonesia Open 2006. Namun, hal itu tidak membuat Sigit dan Aprillia kehilangan fokus pada pertandingan yang dimainkannya.

"Pada awalnya saya sempat terpengaruh, meski begitu saya berusaha tetap profesional dan memilah perasaan saya dan mempersiapkan untuk pertandingan kali ini," kata Sigit.

Senada, Aprillia pun mengaku tidak terpengaruh dengan tragedi yang terjadi di tanah kelahirannya itu. "Sedih sih, tapi saya tidak terpengaruh, saya fokus pada permainan ini," katanya. Sayangnya, dalam pertandingannya dengan Huaiwen Xu, Aprillia kalah dengan skor 21-10 dan 21-15.

Gedung Bersejarah Itu Menangis Sendirian

Bendera Merah Putih Biru milik Pemerintah Belanda itu berkibar di tiup angin, ketika patroli keamanan dan seorang pegawai pribumi melintas di pelataran Gedung Internationale Credit en Hamdelsvereeraging Roterdam di Jl. Willemsolein (kini Jl. Jayengrono) Surabaya itu.

Di depannya, berjajar mobil-mobil kuno milik pejabat Belanda yang tampak mengkilap dengan ornamen-ornamen khas Kerajaan Belanda. Pelataran gedung megah yang dibangun sekitar tahun 1929-an itu tampak bersih. Tak tampak sampah plastik atau larakan (sampah dedaunan dalam bahasa Surabaya-RED) berserakan di sana-sini. Semuanya tertata rapi.

Gambaran itulah yang terekkam dalam salah satu foto Soerabaja Tempo Doeloe yang dipamerkan di Pusat Kebudayaan Prancis CCCL Surabaya awal bulan ini. Namun, kondisi sangat berbeda sekarang. Bangunan yang terletak di depan Jembatan Merah Plaza (JMP) itu kumuh dan berantakan. Di seputaran gedung itu digunakan sebagai terminal bemo dan pedagang kaki lima. Lalu lintas di sekitarnya pun awut-awutan.

"Melihat nasib gedung-gedung tua itu kini, baru terasa betapa Surabaya tidak memiliki identitasnya sebagai Kota Pahlawan," kata Kadaruslan, sesepuh kota Surabaya yang juga seorang budayawan, menomentari foto koleksi Pusat Kebudayaan Prancis itu.

Wajar bila Kadarruslan merasa gerah. Laki-laki berusia 75 tahun yang asli Surabaya ini adalah saksi sejarah pertempuran 10 November 1945. Dirinya mengetahui secara pasti bagaimana nasib gedung-gedung tua bersejarah itu. "Di gedung yang dulu bernama Internatio itu adalah pusat pertempuran antara pejuang Surabaya dengan tentara sekutu, sekarang kumuh dan tidak terawat," katanya pada The Jakarta Post.

Nasib cagar budaya di Surabaya, termasuk gedung-gedung bersejarah bisa mencapai ribuan buah. Namun, yang kini bisa dikenali dan dicatat dalam SK wali kota, hanya 102 buah. Itu pun dalam keadaan yang mengenaskan, meski sebagian kecil terawat dengan baik. Bahkan, ada yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru untuk rumah toko (ruko) atau
gedung-gedung perkantoran modern.

Dukut Imam Widodo, pemerhati gedung tua di Jawa Timur mencatat ada tujuh gedung bersejarah di Kota Surabaya yang dirobohkan dan diganti gedung baru. Seperti Gedung Post en Telegram Kantor, Gedung Centrale Burgerlijke Ziekeninriching (CBZ), gedung CV Algemmene Volkscredit Bank hingga restauran Tai Chan. "Semuanya roboh, yang tersisa hanya nama dan kenangan," kata Dukut pada The Jakarta Post.

Selama tahun 2006, kata Dukut, Tim Cagar Budaya Pemerintah Surabaya akan mengkaji 52 kawasan dan bangunan cagar budaya di Surabaya. Rencananya, bangunan yang memenuhi kriteria, akan dimasukkan dalam daftar cagar budaya dalam Peraturan Daerah no. 5 tahun 2005 tentang pelestarian Lingkungan Cagar Budaya.

MELINDUNGI CAGAR BUDAYA

Upaya melindungi cagar budaya di Surabaya bukanlah hal baru. Meskipun hasil akhirnya, upaya itu selalu berujung ketidakjelasan. Pada jaman kolonial misalnya, perlindungan cagar budaya secara nasional pernah diatur dalam Monumenten Ordonantie no.19 tahun 1931 yang kemudian diubah menjadi Monumenten Ordonantie no.21 tahun 1934.

Agaknya, peraturan itulah yang diakomodasi dalam Undang-undang no.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Berturut-turut muncul Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1993 dan dikuatkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang Penelitian dan Penetapan Cagar Budaya dan/atau Situs.

Semangat yang sama dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dengan mengeluarkan SK Walikota tentang 61 Bangunan di Surabaya yang harus dilestarikan. SK itu terbit dahun 1996. Setelah itu, dikuatkan oleh Perda no.5 tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Atau Lingkungan Cagar Budaya. "Awalnya saya positif thingking, tapi kenyataannya, masih saja ada gedung
tua yang digusur untuk didirikan ruko," kata Dukut.

Satu peristiwa penting yang sempat mencuat adalah kasus dibongkarnya gedung Stasiun Semut (dulu bernama Stasiun Spoor Semoet dan RS.Mardi Santoso. Dua bangunan yang sejak jaman kolonial sudah ada itu rencananya akan digunakan sebagai pertokoan. "Yang tersisa kini hanya bangunan depannya saja," kata Dukut.

Mengedepannya kepentingan ekonomi adalah salah satu sebab digusurnya bangunan-bangunan tua. Kondisi di Jalan Tunjungan dan Darmo Surabaya menunjukkan hal itu. Apalagi ada asumsi, gedung tua itu memunculkan kesan kotor dan rusuh. Kalau dirawat pun, biaya lebih mahal dibandingkan merawat gedung modern.

"Kalau alasan-alasan itu muncul, akhirnya terjadi pembenaran atas pemugaran gedung-gedung bersejarah itu," ungkap Kadaruslan, budayawan Surabaya. Kadarruslan mencontohkan dibongkarnya RS.Simpang dan taman bunga dipinggir Sungai Kalimas, diganti dengan Delta Plaza (kini Plaza Surabaya) plus Monumen Kapal Selam (Monkasel). "Orang tidak menyadari, taman bunga di samping RS. Simpang itu adalah salah satu terapi bagi pasien
RS," kenangnya.

TEMPAT WISATA NOSTALGIA

Dalam sebuah kesempatan, seorang pakar bangunan kuno asal New Orleans AS, Patricia H Gay, pernah menyarankan untuk menjadikan bangunan kuno di Surabaya sebagai wisata sejarah sebuah kota. Dengan kata lain, menggabungkan nuansa lama dengan modenrisasi. Menurut Patricia, Surabaya memiliki potensi untuk itu.

Hal yang sama juga dilakukan di New Orleans. Kota eksotik itu kini menjadi salah satu kota wisata favorit di di dunia, hanya karena menyajikan bangunan kuno bersejarah yang ditata secara apik. "Jika anda kehilangan bangunan kuno di kota anda, itu sama dengan anda kehilangan identitas anda," katanya dalam sebuah forum di Institut Negeri Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya.

Hal itu disetujui oleh Kadarruslan. Dalam sebuah kunjungan Putri Beatrix Belanda di Surabaya misalnya, kata Kadarruslan, justru mengunjungi bangunan-bangunan tua yang ada di Surabaya. Termasuk kampung-kampung lama yang tersebar hampir di seluruh kota Surabaya. "Dia ingin tahu, bagaimana sih kota yang sempat membuat pasukan penjajah itu kalah,..haha," katanya.

Karenanya, Kadarruslan dan beberapa sesepuh kota didukung seniman se Surabaya berencana untuk mengirim Petisi Kota Surabaya kepada Walikota Surabaya. Dalam petisi itu mereka mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya untuk tidak menghilangkan identitas kota Surabaya dalam pembangunannya. "Jangan sampai Surabaya hanya menjadi kota zombie," tegasnya.

Identitas kota yang dimaksud dalam petisi itu adalah bangunan bersejarah, kampung-kampung kuno hingga tradisi-tradisi lokal yang sekarang sudah mulai hilang. Salah satu kampung bersejarah yang masih ada adalah kampung Peneleh, Surabaya. Di kampung ini berdiri rumah HOS Cokroaminoto, pahlawan nasional yang juga guru dari Presiden Pertama RI, Soekarno.

Gaji Wartawan, Problematika Dan Solusinya

Independensi dunia pers di Jawa Timur, khususnya Surabaya, kembali diuji. Secara terbuka DPRD Surabaya mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebanyak Rp.300 ribu perbulan untuk 30 media, sebagai dana “menggaji” wartawan. Sebuah langkah yang sangat melecehkan etika profesi wartawan!

Kabar memprihatinkan itu terdengar Selasa (23/05) lalu. Dalam pertemuan dengan 15 wartawan dari berbagai media di Surabaya, Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf mengatakan DPRD Surabaya menganggarkan dana untuk wartawan sebagai kompensasi peliputan. Jumlahnya tidak main-main, Rp.300 ribu/bulan untuk 30 wartawan atau Rp.108 juta/tahun. Dana itu akan diberikan usai forum konsultasi antara DPRD Surabaya dan wartawan yang biasa meliput di sana. Sebagai realisasinya, “gaji” pertama wartawan itu diberikan Selasa lalu. Tidak semua wartawan yang hadir menerimanya (Kompas, Rabu(24/05)).

Ada banyak prespektif yang bisa digunakan untuk menilai langkah gegabah DPRD Surabaya itu. Penilai pertama adalah pelanggaran konstitusional. Dalam hal ini adalah pelanggaran pada UU No.40 tahun 199 tentang Pers. Simak saja pertimbangan Presiden RI tentang UU Pers pada poin C yang mengatakan: Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Kalimat “bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun” adalah kalimat terpenting. Dengan bahasa lain, kata “campur tangan” yang tertulis itu berarti upaya-upaya pihak di luar pers yang berakibat tidak berjalannya asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers. Seperti kita ketahui peran pers salah satunya adalah melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan publik (Media: Pilar IV Demokrasi, terbitan SEAPA, DEWAN PERS dan FRIEDRICH EBERT STIFTUNG 2002). Bagaimana bisa pengawasan dan kritik bisa berjalan bila suap diterima setiap bulan?

Prespektif kedua adalah langkah DPRD Surabaya (yang diamini oleh beberapa wartawan Surabaya) itu menginjak-injak Kode Etik Jurnalistik Universal dan Kode Etik Jurnalistik 2006 Dewan Pers yang disepakati oleh 29 organisasi pers dari seluruh Indonesia. Hal itu termaktup pada Pasal 6 yang berbunyi Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran kata “penyalahgunaan profesi dan suap” dari pasal ini adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi, dan menerima segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Nah, yang terjadi di DPRD Surabaya jelas merupakan upaya pengambilan keuntungan pribadi atas profesi jurnalistik. Dalam prespektif yang lebih luas, jelas DPRD Surabaya mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat atas kepercayaannya menjadi wakil rakyat yang harus berpikir untuk rakyatnya. Ini pelanggaran paling berat.

Upaya DPRD Surabaya untuk “menggaji” wartawan-yang juga diamini oleh beberapa wartawan- mengingatkan kembali pada wacana peran pers, terutama pers lokal dalam mengawal demokratisasi. Cita-cita membangun pers agar lebih profesional pasca kejatuhan Rezim Soeharto berjalan terseok-seok. “Penyakit” lama pers yang gejalanya berupa mentalitas menerima suap berbentuk amplop/ucapan terima kasih/uang bensin tetap ada. Dukungan pada kelompok politik tertentu hingga tindakan oportunistis dengan memanfaatkan momentum tertentu (seperti iklan pergantian pejabat sampai pemerasan) masih terasa.

Belum lagi kalau bicara soal kesejahteraan. Kecilnya gaji dan tidak dipenuhinya hak wartawan mendapatkan jaminan sosial, seakan membuat kesejahteraan wartawan sebagai cita-cita yang sulit terealisasi. Sementara setiap hari, wartawan terjepit dengan kewajiban untuk menyetor sejumlah berita. Di sisi lain, tidak meratanya pemahaman masyarakat atas fungsi pers dan aturan main untuk menyelesaikan sengketa dengan media, memunculkan tindakan-tindakan kekerasan pada wartawan (kasus pemukulan wartawan di UPN Veteran Jawa Timur). Masih saja kita lihat ada masyarakat yang meluruk kantor media, mengancam wartawannya hingga dalam titik tertentu terjadi pembunuhan, seperti kasus pembunuhan Herlyanto, wartawan freelance dan Delta Post Probolinggo. Kondisi itu memposisikan wartawan sebagai sosok yang “sendirian” dalam memperjuangkan nasibnya.

Bagi wartawan, ada beberapa langkah internal dan eksternal yang bisa dilakukan untuk menyiasati kondisi itu. Secara internal, wartawan harus mampu memberdayakan diri sendiri. Dalam lingkup kecil, upaya untuk meningkatkan kemampuan jurnalistik dan pengetahuan adalah hal mutlak. Secara tidak langsung, hal ini adalah upaya untuk menaikkan “harga” wartawan. Dalam logika sederhana, seorang wartawan yang pintar akan banyak diincar oleh perusahaan-perusahaan yang lebih baik.

Peningkatan posisi tawar dengan perusahaan juga bisa dilakukan dengan membangun serikat pekerja pers. Langkah ini sering dipandang miring oleh perusahaan pers, dan dinilai sebagai kelompok berpotensi konflik tinggi. Padahal tidak demikian. Serikat pekerja adalah organisasi yang menjembatani kepentingan perusahaan kepada wartawan atau sebaliknya. Melalui serikat pekerja ini, perusahaan mampu membuat peraturan-peraturan secara adil dengan mempertimbangkan kepentingan semua karyawan, termasuk wartawan.

Selain itu, membangun kekuatan komunal antar wartawan, entah itu dalam forum-forum diskusi atau tergabung dalam organisasi profesi juga penting. Ujung dari langkah ini adalah upaya membangun jaringan komunikasi dengan kelompok lain. Bukan tidak mungkin, cara ini akan membuka kesempatan meningkatkan profesionalisme.

Pembangunan eksternal pada prinsipnya adalah membangun persepsi yang sama tentang fungsi, tugas dan kewajiban pers. Seperti kita tahu, pers bertugas menginformasikan, mendidik dan menghibur masyarakat melalui karya jurnalistiknya. Benang merah dari hal ini adalah karya jurnalistik. Hanya berita! Maksudnya, interaksi wartawan dengan nara sumber semata-mata urusan berita, tidak lebih. Wartawan harus menegaskan hal ini terus menerus agar masyarakat di luar pers pun memahaminya. Hingga tidak ada lagi lembaga pemerintah atau narasumber yang menyediakan atau menganggarkan uang amplop untuk wartawan.

Posisi wartawan yang mandiri (baca: independen) adalah mutlak, sekaligus problem terberat, karena pihak lain selalu berupaya untuk membongkar idependensi dengan iming-iming suap dalam berbagai bentuk. Solusinya, menjaga hubungan dengan narasumber sebatas hubungan profesi.

Wednesday, May 31, 2006

Kebenaran Dari Arsip Lusuh



Presiden RI Pertama, Soekarno ketika menyunjungi Ksatrian Pasiran (kini Armatim) di Surabaya. (repro: Djawatan Penerangan)

Suatu hari di tahun 1907, kota Bojonegoro, Jawa Timur geger. Tokoh masyarakat asal kota tembakau, Samin Soerontiko, ditangkap Pemerintah Hindia Belanda yang ketika itu berkuasa di tanah Jawa. Dia dianggap mempengaruhi masyarakat sekitar dengan ajaran kepercayaan (yang kemudian disebut Saminisme-red). Ajaran itu membuat Pemerintah Hindia Belanda kesulitan untuk menancapkan pengaruhnya di Bojonegoro.

Ajaran Saminisme secara sederhana bisa diartikan sebagai ajaran kejujuran untuk mencapai kemuliaan. Karena kejujuran itulah, penganut Saminisme tidak bisa dimasuki skenario politik pecah belah Pemerintah Hindia Belanda atau dikenal sebagai devide et ampera. Samin dan penganutnya dianggap mengganggu jalannya pemerintahan dan tata kehidupan masyarakat. Karenanya, Samin Soerontiko ditangkap dan dibuang ke Sumatera Barat dan Jawa Barat.

Itulah penggalan "cerita" yang termuat dalam buku catatan Pemerintah Hindia Belanda, Besluit no.5 yang diterbitkan 5 Juli 1907. "Coba kalau arsip surat menyurat ini tidak ada, masyarakat tidak akan punya bukti perihal kegigihan seorang tokoh bernama Samin Soerontiko," kata Drs. Syawal, Kepala Bidang Penelitian Naskah dan Arsip, Badan Arsip Provinsi Jawa Timur pada The Jakarta Post, Rabu (17/05).

Arsip yang memuat kisah Samin Soerontiko hanyalah satu dari jutaan meter linier arsip sejarah yang disimpan di Badan Arsip Nasional, termasuk Badan Arsip Provinsi Jawa Timur. Arsip-arsip itu disimpan tekstual (kertas), media baru (file komputer) maupun micro film. Untuk mengaksesnya, bisa dilakukan secara online melalui situs www.arsipjatim.go.id.

Peran arsip sejarah kembali dibicarakan seiring Hari Kearsipan Nasional, Kamis, 18 Mei 2006. Apalagi, peran arsip sejarah tidak bisa diabaikan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Arsip sekaligus menjadi bukti otentik atas semua hal yang pernah terjadi. Melalui lembaran-lembaran lusuh itu juga beberapa peristiwa yang sempat menjadi misteri bisa terungkap dengan lugas. Salah satunya adalah lembaran Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) yang menjadi awal penyerahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto.

Hingga saat ini, lembaran surat yang konon hilang itu menyisakan tanda tanya besar sejarah Indonesia. Apakah benar ketika itu Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaannya kepada Jenderal Soeharto? Bagaimana proses pembuatan surat itu? Apakah dengan todongan senjata? "Hal-hal seperti ini bisa tuntas bila arsip Supersemar ditemukan," ungkap Syawal.

Kemisterian Supersemar dan cerita yang melingkupinya juga muncul dalam peristiwa penyobekan bendera Belanda, di Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit Oriental) Surabaya pada 10 November 1945. Bendera Belanda berwarna merah putih biru dirobek oleh salah satu Arek Suroboyo, pejuang 10 November 1945 pada warna birunya, menyisakan warna bendera Indonesia Merah Putih.

Hingga kini, siapa pelaku peristiwa yang menjadi simbol kemenangan pejuang Surabaya atas Pasukan Sekutu Belanda itu tidak ditemukan. Uniknya, sumber The Jakarta Post dari Universitas Airlangga menyebutkan, peristiwa yang diabadikan dalam bentuk foto hitam putih dan dipercaya sebagai foto bukti sejarah itu ternyata dibuat setahun setelah peristiwa yang sebenarnya terjadi.

Sayangnya, arti penting dan berharganya arsip sejarah tidak dipahami oleh masyarakat. Seringkali, masyarakat yang memiliki arsip sejarah tidak mengerti cara merawat dan menyimpan barang bernilai tinggi itu. Bahkan ada yang membuangnya begitu saja, tanpa mau memperhitungkan nilai sejarah yang dikandungnya.

Ketidakpahaman masyarakat itu juga tampak dari tidak diminatinya jurusan sejarah dalam universitas-universitas di Indonesia. Di Jawa Timur saja, jumlah mahasiswa jurusan sejarah di enam universitas negeri di Surabaya, Malang dan Jember, menempati posisi rendah. "Padahal, bila kita sudah tenggelam di dalamnya, asyik sekali," kata Riskon Pulungan, mahasiswa semester 4 Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Airlangga Surabaya.

Di mata Riskon, melalui sejarah dirinya bisa memprediksi apa yang kemungkinan akan terjadi, karena sejarah akan berulang. Seperti peristiwa turunnya Presiden Soekarno yang terulang kembali saat peristiwa turunnya Presiden Soeharto. "Dalam arsip yang menceritakan peristiwa turunnya Presiden Soekarno yang diawali dengan krisis ekonomi yang memunculkan protes mahasiswa dan masyarakat, hal itu pula yang terjadi pada jaman Soeharto," katanya. Dua kebenaran dari tumpukan arsip lusuh.***

Istri Herlyanto Masih Belum Percaya



TAK PERCAYA. Istri Herlyanto, wartawan Probolinggo yang tewas dibunuh tiga minggu lalu, Samaudiana (kiri) masih tidak bisa menerima kematian suaminya. Hal itu terungkap dalam Diskusi dan Testimoni bertajuk "Siapa Pembunuh Herlyanto?" yang digelar AJI Indonesia di Surabaya, Rabu (24/05) ini.

------------------------

Sebulan sudah usia kematian wartawan freelance dan Delta Post, Probolinggo, Herlyanto. Namun masih belum ada titik terang. Belasan saksi yang sudah diperiksa polisi juga belum bisa membuka tabir kematian wartawan yang dikenal sering menulis berita-berita kasus kriminal itu.

Aksi pembunuhan Herlyanto terjadi Sabtu (29/4) malam lalu di tengah hutan jati jalan tembus Desa Tulopari Kecamatan Tiris menuju ke Desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar. Saat ditemukan, kondisi ayah dua anak itu sangat mengenaskan. Tubuhnya bersimbah darah, dengan sembilan luka bacokan benda tajam. Mulai punggung, perut hingga kepalanya. Saksi mata mengatakan, sebelum dibunuh korban sengaja dibuntuti oleh beberapa orang.

Hasil investigasi Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Indonesia menyebutkan, kematian Herlyanto berlatar belakang berita yang ditulisnya. Hal itu terlihat dari hilangnya bloknote dan handphone korban, di awal peristiwa itu terjadi.

Hasil investigasi itu pula yang kemudian menjadi dasar organisasi wartawan internasional International Federation of Journalist (IFJ), Reporter Without Border dan United Nation of Education Sosial and Cultural Organisation (UNESCO) PBB ikut pengutuk peristiwa itu.

Kelambatan polisi untuk mengusut kasus pembunuhan Herlyanto itulah yang mendorong istri Herlyanto, Samudiana mengadu ke dengan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabid Humas) Polda Jatim Wijaya Purbaya. Dalam pertemuan Kamis (24/05) di Mapolda Jatim itu, Samudiana yang ditemani Ulin Nusron dari AJI Indonesia dan Hendrayana dari LBH Pers Jakarta meminta Polda untuk lebih cepat membongkar kasus ini.

"Keluarga kami hanya ingin peristiwa ini diungkap tuntas, kami tidak tahu harus mengadu pada siapa," kata Samudiana terbata-bata. Herlyanto, menurut Samudiana adalah tulang punggung ekonomi keluarga.

Terutama untuk membiayai Noer Rizka Septian Tina (17) dan Dwi Rizki Wali Hakiki (10) dua anaknya yang kini bersekolah di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Samudiana minta seluruh masyarakat ikut membantu pengungkapan kasus pembunuhan suaminya. "Saya terkenang bagaimana suami saya sangat ingin anaknya menjadi perawat,..." katanya terhenti.

Hendrayana dari LBH Pers Jakarta menilai ada peningkatan kasus kekerasan pada wartawan. Dan hal ini tidak bisa dibiarkan. "Harus ada percepatan dalam upaya mendorong terbukanya tabir pembunuhan-pembunuhan itu," katanya. Kapolri dan wartawan, kata Hendrayana harus konsisten memberitakan peristiwa kekerasan pada wartawan sampai tuntas.

Sementara Ulin Nusron dari AJI Indonesia mencatat pergantian pemerintah tidak berarti ada pergantian nasib wartawan. Karena siapapun pemerintahannya, semua tidak becus mengusut kekerasan pada wartawan. "Ingat kasus Udin wartawan Bernas dan pembunuhan wartawan di Pulau Nias, kasus-kasus itu sama-sama tidak terungkap," katanya.

Masyarakat tidak butuh lagi janji-janji polisi tanpa ada ujung kasus yang jelas. AJI Indonesia telah menggalang opini internasional hingga akhirnya menjadi record kasus kekerasan secara internasional. "Kalau polisi tidak berani mengungkap berarti ikut memperburuk track record Indonesia di mata internasional," tegas Ulin.

Ketua PWI Probolinggo, Sahudi mengatakan, latar belakang pembunuhan Herlyanto tidak bisa dilepaskan dalam dua berita yang ditulisnya. Dua minggu sebelum meninggal, kata Saudi, Herly menulis kasus tentang penjualan air proyek PDAM dan perkembangan kasus jembatan ambruk. "Ada juga kasus tentang pemalsuan tanda tangan, tapi menurut sumber polisi, kematian itu berhubungan dengan tulisan tentang penyelewengan dana biaya operasional sekolah (BOS)," kata Sahudi.

Tidak hanya itu, polisi sempat menuding ada empat orang yang dicurigai sebagai pelaku. Masing-masing pelaku mendapat Rp 1 juta. "Namun polisi masih enggan menyebut nama pelaku yang saat ini sedang dikejar hingga ke luar kota," katanya.***

Friday, May 26, 2006

Bila Komunikasi Politik Diabaikan,..

Tidak seperti biasanya, kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang sehari-hari hanya dipenuhi oleh pegawai negeri, belakangan dijaga ketat puluhan petugas Polres Banyuwangi. Selasa (09/05) ini misalnya, mulai teras depan pintu gerbang hingga ruang kerja humas pemkab, penuh dengan polisi berpakaian dinas. Sementara puluhan petugas berpakaian preman lainnya berbaur dengan pegawai kantor atau duduk-duduk di tempat parkir mobil. "Kalau begini, berkantor di Pemkab rasanya aman sekali," gurauan seorang staff Pemkab Banyuwangi pada The Jakarta Post.

Penjagaan ketat itu bukan tanpa alasan. Kamis (04/05) lalu, kota paling timur di pulau Jawa ini sempat "mendidih" dengan aksi demonstrasi sekitar 7 ribu orang yang menuntut Bupati Ratna Ani Lestari turun dari jabatannya. Ratna dianggap tidak mampu memimpin kota berpenduduk 1,5 juta jiwa ini. Hal itu tampak dari kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak aspiratif dan kontroversial. Ujung-ujungnya, DPRD Kota Banyuwangi pun mengajukan mosi tidak percaya dan menyarankan Menteri Dalam Negeri RI untuk mencopot bupati dari jabatannya.

Protes masyarakat pada bupati, seperti yang terjadi di Banyuwangi, adalah peristiwa kedua di Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya masyarakat Kabupaten Tuban memprotes hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memenangkan calon incumbent Haeny Relawati. Protes yang terjadi Sabtu (29/04) lalu itu berakhir dengan tindakan anarkis dengan membakar pendopo kabupaten, hotel dan bangunan lain milik Bupati Haeny Relawati.

Pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga Surabaya, Henry Subiyakto menilai, meski ada perbedaan pemicu antara peristiwa Tuban dan Banyuwangi, namun keduanya memiliki impas yang sama. Yaitu kemarahan masyarakat pada pemimpin daerahnya. Dan dua-duanya disebabkan karena ketidakmampuan pemimpin daerah untuk menyerap aspirasi masyarakatnya. "Ada alur komunikasi politik yang terputus di Tuban dan Banyuwangi, akibatnya muncul resistensi," kata Henry pada The Jakarta Post, Minggu (07/05) ini.

Dalam kasus Banyuwangi, terputusnya komunikasi politik antara pimpinan daerah dengan masyarakatnya tampak dari kebijakan-kebijakan yang diambil Bupati Ratna Ani Lestari. Setidaknya ada 10 kebijakan yang dikeluarkan Bupati Ratna yang dinilai menjadi pemicu kemarahan masyarakat. Kebijakan pertama adalah dihapusnya pungutan dana penyelenggaraan pendidikan pada sekolah negeri, seperti yang termuat dalam Instruksi Bupati no.1/2005. Juga instruksi bupati untuk menghentikan retribusi pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam Instruksi Bupati no.2/2005.

Meskipun instruksi itu meringankan masyarakat, namun di sisi lain ada nuansa ketidakadilan. Dalam penghapusan pungutan pendidikan misalnya, ada kesan bupati mengabaikan kondisi sekolah swasta yang di dalamnya berisi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Sementara itu, usai penetapan penghapusan retribusi kesehatan, banyak puskesmas yang mengalami kesulitan anggaran.

Keputusan lain yang dianggap menjadi penyebab terbesar adalah dimasukkannya daftar harga daging babi dalam Standard Barang dan Harga Satuan Barang Kebutuhan Pemerintah Kabupaten Banywangi tahun 2006, seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Bupati No.188/33/KEP/429.012/2006. SK itu membuat "marah" ulama Islam dan masyarakat Banyuwangi yang 94,76 persen dalam pemeluk Islam taat yang mengharamkan daging babi.

Henry Subiyakto menilai, secara hukum, tidak ada yang salah dalam instruksi maupun surat keputusan bupati itu. Karena membuat instruksi dan SK adalah hak kepala daerah. "Tapi, karena hal itu tidak pernah dikomunikasikan sebelumnya, baik kepada DPRD Banyuwangi maupun pada masyarakat, akhirnya muncul intepretasi yang bermacam-macam," jelasnya.

Hal ketidakmampuan Bupati Ratna dalam mengkomunikasikan kebijakannya memang bukan isapan jempol belaka. Sejak dilantik 20 Oktober 2005 lalu, Istri Bupati Jembrana, Bali Winase ini terkesan enggan berkomunikasi dengan DPRD Banyuwangi. "Padahal penyelenggara pemerintahan itu adalah Pemerintah Kabupaten dan DPRD seperti yang diatur dalam UU no.32 tentang Pemerintahan Daerah," kata Ketua DPRD Banyuwangi Ahmad Wahyudi pada The Post.

Hal itu semakin tampak ketika DPRD Banyuwangi mencoba berkomunikasi dengan mengajak Bupati Ratna berbicara dalam satu rapat paripurna, seperti yang tampak dalam kasus Pemberhentian Retribusi Kesehatan. Rekomendasi pencabutan Instruksi Bupati soal Pemberhentian Retribusi Kesehatan yang dikeluarkan DPRD pun diabaikan. Instruksi Bupati tentang hal itu terus diterapkan.

Karena itulah DPRD Banyuwangi mengirim SK DPRD no.09 tahun 2006 yang isinya usulan pemberhentian Bupati Ratna. SK itu dikirimkan secara langsung ke Menteri Dalam Negeri RI M. Ma'ruf melalui Gubernur Jawa Timur Imam Utomo. "Mendagri harus melihat fakta obyektif di Banyuwangi dan bukan perseteruan, tapi Ratna memang tidak memadai menjadi Bupati Banyuwangi," jelasnya.

Bila Mendagri mengabaikan, bisa jadi pemerintahan yang dikomandani Bupati Ratna akan kehilangan kredebilitas dan popularitas. Wahyudi mengingatkan kasus Bupati Lampung yang ditolak masyarakat, tapi diabaikan oleh Mendagri. Justru sampai saat ini pemerintahan di Lampung berjalan tidak efektif dan tidak memiliki kredibilitas pada masyarakatnya.

Yang paling menggelikan adalah sikap Bupati Ratna yang selalu menghindari wartawan yang akan mewawancarainya. Budi Wiryanto dari Bali Post di Banyuwangi menceritakan bagaimana Ratna menjawab wartawan dengan nyanyian Halo Balo Bandung. "Waktu kita tanya serius, dia malah menjawab dengan lagu Halo-Halo Bandung, dan masih banyak lagi yang mengesankan dia menolak diwanwancarai," jelasnya.

Ika Ningtyas Radio lokal Vis FM Banyuwangi menjelaskan, dalam sebuah konfirmasi tentang harga daging babi misalnya, Bupati Ratna hanya menjawab sangat normatif. Begitu juga ketika The Jakarta Post mengajukan wawancara khusus dengan Bupati Ratna akhir tahun lalu. Pihak Sekretaris Kabupaten mengharuskan The Post mengirim surat permohonan wawancara, sialnya, hingga saat ini tidak direspon mengenai hal itu.

Atas berbagai persoalan komunikasi itu, pengamat politik yang juga Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Banyuwangi Sugihartoyo menilai perlunya pihak ketiga yang mampu diterima oleh pihak DPRD Banyuwangi, Ulama Islam dan Bupati Ratna untuk ikut turun. "Saya menyarankan Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan tokoh nasionalis untuk turun gunung dan mendamaikan persoalan ini," jelasnya.

Bagaimana komentar Bupati Ratna? Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Senin (08/05) lalu Bupati Ratna mengatakan bahwa dirinya akan mengikuti mekanisme yang ada. "Sudah Saya katakan di media televisi, semua harus mengikuti mekanisme yang ada, saya juga akan tetap berkomunikasi dengan Gubernur Jawa Timur dan Mendagri, kalau akan mengirimkan tim investigasi ya,..silahkan," katanya. Beginilah bila Komunikasi Politik Diabaikan,..***

Monday, May 08, 2006

Ketika Wartawan Tewas di Hutan Jati

Deretan hutan jati di daerah Desa Tarokan, Kecamatan Banyuanyar, Kabupaten Probolinggo tampak lengang ketika The Jakarta Post sampai di tempat itu, Jumat (05/05) ini. Hanya satu-dua kendaraan roda dua melintas di jalan tanah yang membelah hutan jati di kaki gunung Argopuro itu. Di tempat itulah, seorang wartawan tabloid lokal dibantai. "Lokasinya ada di tengah hutan, 30 meter dari jalan makadam," kata seorang mengendara sepeda motor menunjukkan lokasi jenazah ditemukan.

Tragedi kekerasan pada wartawan kembali terjadi di Indonesia. Kali ini menimpa Herlyanto, wartawan tabloid Delta Post di Probolinggo. Peristiwa itu seakan menambah panjang daftar kekerasan pada wartawan yang terjadi di Jawa Timur, setelah sebelumnya dua wartawan televisi, Sandi Irwanto dari ANTV dan Adreas dari TPI dipukuli petugas satpam Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Surabaya.

Pembunuhan Herlyanto itu terjadi Sabtu (29/4) malam lalu sekitar pukul 19.05 WIB. Ketika itu, wartawan berusia 38 tahun itu sedang melintas seorang diri itu jalan tembus Desa Tulopari Kecamatan Tiris menuju ke Desa Tarokan Kecamatan Banyuanyar, membelah hutan jati. "Dia mengatakan ada acara," kata Kepala Desa Tarokan, Sugiyadi pada The Jakarta Post, Jumat siang ini. Sugiyadi adalah orang terakhir yang bertemu dengan Herlyanto, Sabtu sore sebelum kejadian. Beberapa jam kemudian terdengar kabar Herlyanto tewas di tengah hutan jati.

Saat ditemukan, kondisi ayah dua anak itu sangat mengenaskan. Tubuhnya dipenuhi luka bacokan oleh benda tajam. Mulai punggung, perut hingga kepalanya. "Korban dipastikan sengaja dibunuh," kata Kapolres Probolinggo, AKBP.Drs.H.Wizarlan. Polisi yang melakukan olah TKP menemukan fakta kemungkinan adanya jumlah pelaku yang lebih dari satu.

Kesimpulan sementara menyebutkan, korban sengaja dibuntuti oleh beberapa orang sebelum dieksekusi. Herliyanto yang mengetahui kejadian itu berniat melarikan diri ke tengah hutan dengan meninggalkan sepeda motornya di jalan makadam. Tapi pelaku bisa mengejar dan membacoknya di punggung. Saat korban terjatuh, pelaku lainnya menghujaninya dengan sabetan senjata tajam.

Mengapa Herlyanto dibunuh? Hingga seminggu setelah peristiwa itu terjadi, belum diketahui secara pasti motif pembunuhan tersebut. Polisi sudah meminta keterangan sembilan orang saksi yang dianggap mengetahui peristiwa itu. Ricard De Mas Nre, salah satu rekan korban yang juga wartawan di Probolinggo meyakini, Herlyanto sengaja dibunuh karena berita yang ditulisnya. "Dia adalah wartawan yang kerap kali menulis berita kasus kriminal, saya yakin, karena berita yang ditulisnya itulah Herlyanto dibunuh," katanya pada The Jakarta Post.

Data yang diperoleh The Post menyebutkan, beberapa minggu belakangan ini, Herlyanto berkonsentrasi pada kasus penyelewengan keuangan di desa setempat. Mulai kasus penjualan air bersih, hingga kasus kerja pembuatan jembatan yang tidak sesuai standart yang ditentukan. "Bahkan sebelum meninggal, dia meng-sms saya untuk menilis berita tentang penyelewengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah-RED)," terang Ricard.

Istri Herlyanto, Samiudiana sangat terpukul dengan peristiwa itu. Apalagi, Herlyanto adalah satu-satunya tonggak perekonomian keluarga. "Dibayar Rp.100 juta pun saya tidak akan terima, saya minta pelakunya dihukum mati, seperti yang diperbuat kepada suami saya," katanya. Pihak keluarga akan terus mendesak polisi untuk menuntaskan persitiwa itu. "Kalau perlu, saya akan menghadap ke Kapolda Jatim, dan meminta agar peristiwa ini diusut tuntas," katanya pada The Post dengan berlinang air mata.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menganggap kasus kekerasan ini adalah persoalan serius. Untuk itu AJI Indonesia mengutus tim investigasi untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di kabupaten 120 dari Surabaya itu. "Dari hasil sementara investigasi dan bukti-bukti yang kami kumpulkan di lapangan menyebutkan Herlyanto tewas karena berita yang ditulisnya," jelas Bibin Bintariadi, anggota tim investigasi AJI Indonesia. Benarkah? Entahlah. Yang pasti, ada wartawan yang tewas dibunuh di hutan jati.***

Monday, April 10, 2006

Osing, Suku Yang Terasing di Tengah Modernisasi

Lamat-lamat, alunan musik tradisional membelah malam di Kampung Suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kota Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (07/03) malam. Suara alat musik tradisional gambang, kenong, gong, angklung bertalu-talu berpadu dengan syair lagu khas berbahasa Suku Osing. "Baronge wis mangkat, singayo padha nonton (Pertunjukan Barongnya sudah dimulai, ayo kita lihat)," kata Bik Karti,50, wanita penjaga warung pada The Jakarta Post dalam bahasa Osing.

Malam itu, sebuah keluarga yang tinggal di kaki Pegunungan Ijen menggelar pertunjukan Barong sebagai salah satu rangkaian upacara perkawinan. Ratusan penduduk warga Kemiren dan desa-desa sekitarnya, seperti Desa Kinjo dan Desa Boyolali mendatangi rumah di tengah persawahan itu. Anak-anak dan orang dewasa berbaur di pinggir jalan dan pematang sawah, menikmati olah tari dan lagu yang dimainkan oleh kelompok Trisno Budoyo.

Suku Osing adalah salah satu suku minoritas yang hingga saat ini masih eksis di Jawa Timur. Suku itu menyebar di beberapa tempat di Kota Banyuwangi, 300 KM dari Surabaya. Di Banyuwangi terdapat tiga kelompok etnis, Osing, Jawa dan Madura. Terutama di desa Kemiren, Banyuwangi Barat. Di desa yang berjarak tujuh kilometer dari pusat kota berpenduduk 1,4 juta jiwa itu berdiam 2,4 ribu jiwa warga Suku Osing. Keturunan Suku Osing juga berdiam di Desa Aliyan, 14 KM dari pusat Kota Banyuwangi. Di desa itu berpenduduk 4,8 juwa itu, hampir separuhnya merupakan keturunan Suku Osing.

SEJARAH KELAM

Suku yang terkenal dengan dialek dan bahasa Osing itu konon adalah keturunan langsung dari Kerajaan Blambangan, salah satu kerajaan kecil di Jawa Timur yang hadir di sekitar abad ke 18. Kerajaan yang didirikan oleh Raja Wiraraja itu adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, wilayah Kerajaan Blambangan menjadi rebutan kerajaan kecil di Bali, Pasuruan dan Mataram Islam.

Belum lagi usai konflik perebutan kekuasaan itu, daerah Blambangan yang terkenal subur itu (Blambangan dari kata Balumbung atau daerah Lumbung Padi-red) menjadi sasaran penjajah Belanda melalui VOC-nya. Jepitan sejarah ini yang akhirnya membuat masyarakat Blambangan menjadi resisten terhadap kekuasaan di luar Blambangan. Muncullah istilah Osing atau Using yang artinya "tidak berpihak".

Kegigihan VOC untuk menguasai Blambangan mendapatkan perlawanan dari tokoh Blambangan, Mas Rempeg yang dipercaya sebagai titisan raja Blambangan Pangeran Agung Willis. Meski akhirnya pemberontakan Mas Rempeg itu bisa dikalahkan oleh VOC, namun perang itu mampu menewaskan tokoh VOC Letnan Van Shaar, Mayor Gobie's dan Letnan Kornet Tienne. Di pihak Blambangan, perang besar di tahun 1771-1772 itu membuat penduduk Blambangan mengungsi ke kaki-kaki gunung dan menyeberang ke Pulau Bali, dan bertahan sampai sekarang.

Entah mengapa, sejarah suram yang dirasakan oleh keturunan Blambangan seakan terus berulang menimpa masyarakat Suku Osing dan wilayah Banyuwangi pada umumnya. Ketika tahun 1965 misalnya, pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), penduduk di daerah yang berbatasan dengan Pulau Bali ini banyak menjadi korban. Sebagai catatan, lagu Genjer-Genjer yang sering dinyanyikan anggota PKI, adalah ciptaan warga Banyuwangi.

Begitu juga ketika di tahun 1998, ketika tiba-tiba tersiar isu ilmu hitam/santet. Warga Osing dan warga Banyuwangi yang dikenal piawai ilmu kanuragan/kesaktian menjadi sasaran pembunuhan. Diperkirakan ada 150 orang yang dituduh sebagai dukun santet dibunuh oleh segerombolan orang berpakaian ala ninja. "Banyaknya peristiwa itu yang membuat orang Osing makin terpinggirkan," kata Hasnan Singodimayan,75, salah satu tokoh Osing pada The Jakarta Post.

KEBANGKITAN YANG TERSEOK

Semua sejarah kelam itu coba dikubur pada tahun 2002. Bertepatan dengan Ulang Tahun Banyuwangi ke 232, Bupati Banyuwangi ketika itu, Syamsul Hadi membuat langkah membangkitkan tradisi Suku Osing di kota itu. Seperti menjadikan bahasa Osing sebagai bahasa resmi daerah dan diajarkan di sekolah. Juga mengganti lambang kota yang awalnya Ular Berkepala Gatotkaca diganti Penari Gandrung Khas Osing.

Awalnya, upaya untuk membangkitkan keosingan di Banyuwangi disambut gembira oleh masyarakat setempat. Bahasa Osing yang awalnya hanya digunakan oleh komunitas Osing, mulai banyak digunakan oleh masyarakat Banyuwangi lain. Hasan Ali, salah satu tokoh Suku Osing sudah membuat kamus khusus bahasa yang karakter bahasanya dekat dengan bahasa Jawa kuno dan bahasa Bali dengan pengucapan kata "sing". Meskipun ada perbedaan mencolok dengan tidakadanya perbedaan kata dalam kasta tertentu, seperti yang ada di bahasa Jawa dan Bali.

"Semakin banyak orang Banyuwangi yang menggunakan bahasa Osing, karakter Osing pun semakin kentara," kata Hasnan Singodimayan. Pagelaran-pagelaran seni rakyat Osing pun digelar sebagai pertunjukan resmi setiap acara nasional yang diadakan di Banyuwangi. Seperti diketahui, suku ini memiliki produk budaya yang sangat beragam.

Mulai kesenian yang berhubungan dengan siklus kehidupan (Pitonan/hamil hari ke tujuh, Colongan, Ngleboni, Angkat-angkat/Perkawinan), kemasyarakatan (Rebo Wekasan/pemberian sesaji kepada roh halus, Ndok-Ndogan/Mauludan, Kebo-keboan/Penyambuh Panen) hingga tari-tarian. Budayawan Jawa Timur Ayu Sutarto mencatat ada 32 acara budaya yang dimiliki Suku Osing. Delapan belas diantaranya asalah kesenian.

Namun di balik muncul penolakan-penolakan yang bersifat sporadis. Khususnya dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi. "Ada beberapa sekolah yang menolak memasukkan Bahasa Osing sebagai kurikulumnya," kata seorang guru yang mengajar di Banyuwangi Selatan dan enggan disebutkan namanya pada The Jakarta Post.

Hal senada dikatakan Ahmad Fauzi,24, pemuda keturunan Osing yang saat ini bekerja sebagai penyiar radio berbahasa Osing di Banyuwangi. Menurutnya, para pemuda Osing saat ini banyak yang mulai meninggalkan kebiasaan berbahasa Osing. "Mereka memilih untuk berbahasa Indonesia atau bahasa dialek Jakarta dari pada Osing," kata Fauzi pada The Jakarta Post.

Bahkan, Fauzi yang tinggal di desa Osing kawasan Desa Kalipuro itu merasakan banyaknya kesenian rakyat yang hilang. Padahal kesenian rakyat yang hilang itu banyak melibatkan pemuda Osing. "Seperti Angklung Carok ("pertempuran" pertunjukan Angklung) yang biasa dimainkan oleh pemuda, kini tidak ada lagi, juga Jaranan yang biasa digelar saat peringatan 17 Agustus, kini tidak ada lagi," kenangnya.

Di wilayah yang dikenal sebagai pusat Suku Osing pun, seperti Desa Kemiren, atmosfir keosingan pun tidak lagi kental. Dalam pengamatan The Jakarta Post, saat ini semakin sedikit rumah-rumah adat Osing di wilayah itu. Osing memiliki rumah khas berbentuk Tikel Badung, Baresan dan Cerogan. Rumah-rumah adat itu seluruhnya terbuat dari kayu, tanpa menggunaan paku dan semen.

Desain rumah-rumah itu menunjukkan betapa Suku Osing menjunjung tinggi hubungan sosial. Seperti adanya "ampiran" di depan rumah yang berfungsi sebagai tempat mengundang siapa saja yang lewat di depan rumah itu. Bahkan, di bagian dapur rumah adat Osing ada "plonco"/meja lebar dari anyaman bambu yang digunakan untuk makan bersama keluarga dan tamu.

Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata Banyuwangi mengakui selama ini ada kebijakan yang tidak tepat dalam penanganan Suku Osing. Terutama bagaimana pemerintah memperlakukan Suku Osing. Seperti menetapkan Desa Kemiren sebagai desa wisata. Secara tidak langsung hal itu sama dengan mengkotak budaya Osing.

"Seharusnya, justru membiarkan desa itu sebagai desa seperti sedia kala, tapi mendorong kesenian yang sering dilakukan warga setempat untuk terus dilakukan," kata Aekanu Hariyono pada The Jakarta Post. Karenanya, selama ini Aekanu membypass penanganan Suku Osing dengan mengajak para tahu langsung ke komunitas Suku Osing yang sedang melakukan upacara adat. "Intinya memanusiakan Suku Osing dengan membiarkan mereka tumbuh alami," terangnya.

Langkah untuk terus melestarikan nilai-nilai luhur budaya Suku Osing, tanpa meninggalkan jejak luka seperti yang sebelumnya terjadi, sampai saat ini terus dilakukan. Seperti puisi bernapas optimisme berbahasa Osing terkenal berjudul Padha Nonton (Saksikanlah):

"..Kembang Abang (Bunga Merah)
Selebrang Tiba Ring Kasur (Kutabur Jatuh di Kasur)
Mbah Teji Balenana (Mbah Teji/Tokoh Osing Kembalilah)
Sunenteni Ring Paseban (Aku tunggu di Perjamuan)
Ring Paseban (Di perjamuan)
Dhung Ki Demang Mangan Nginung (Saat Pembesar Desa Berpesta)
Selereng Wong Ngunus Keris (Seiring terhunusnya keris pusaka)
Gendham Gendis Kurang Abyur (Kegetiranpun takkan terasa)".

***

Bondowoso Bertarung Melawan Buta Aksara

Suasana Mushola (masjid kecil) di Desa Tangsil, Kecamatan Wonosalam, Bondowoso, Selasa (01/02) malam itu tampak meriah. Tempat yang sehari-harinya digunakan untuk beribadah umat muslim setempat itu kali ini digunakan sejumlah 20 ibu-ibu warga sekitar untuk belajar membaca. Sambil duduk bersimpuh, ibu-ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani dan pedagang kaki lima itu menulis satu demi satu huruf abjad. "Jangan sampai salah, huruf "p" itu bulatnya di atas, kalau buruf "b" bulatnya di bawah," kata Edi Sutrisno, petugas Polsek Wonosari yang malam itu menjadi tutor relawan. "Iyaaa,.." jawab ibu-ibu itu serentak, sambil terus menulis.

"Kalau sudah selesai, mari kita belajar membaca,..sudah apa belum?" tanya Edi. "Sudah pak," jawab ibu-ibu itu sambil menghentikan aktivitasnya dan mulai memperhatikan papan tulis kapur berukuran 1x1 m yang ada di depan mereka. Edi pun mulai mengeja kata demi kata, diikuti oleh seluruh ibu-ibu. Sesekali mereka tertawa ketika ada kata-kata yang dianggap lucu. "KU,..DA,..LA,..RI dibaca apa?" tanya Edi. "KUDA LARI,.." jawab mereka. "Lho,..kalau kudanya lari ya dikejar," celoteh salah satu ibu, disambut tawa renyah ibu-ibu yang lain.

Dirasa cukup, Edi meminta salah satu ibu untuk maju dan menuliskan namanya di papan tulis. Dengan malu-malu, seorang ibu bernama Sariye pun maju dan pelan-pelan menuliskan namanya. Meskipun huruf-huruf tampak tidak jelas, namun Sariye yang tidak pernah mengenyam pendidikan itu pun berhasil menulis namanya. "Wah,..kalau sudah pinter seperti ibu Sariye, bisa nulis SMS lho," celoteh salah satu ibu disambut tawa panjang.

Gambaran di Kecamatan Wonosari, Bondowoso, Selasa (01/02) malam ini adalah satu dari 2000-an kelompok belajar pemberantasan buta aksara di Kota Bondowoso, Jawa Timur. Apa yang dilakukan kota berpenduduk 720 juta jiwa itu bukan tanpa alasan. Jawa Timur adalah provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah warga buta huruf paling banyak. Urutan kedua disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal itu dikatakan Menteri Pendidikan RI, Bambang Sudibyo di Surabaya, Jumat (13/01) lalu.

Menurut Bambang Sudibyo, dari 34 juta penduduk Jawa Timur, 29,2 persen atau sekitar 1,6 juta jiwa di antara tidak mengerti baca, tulis dan berhitung (calistung). "Jawa Timur terbanyak dalam buta aksara, sekitar 29,2 persen dari seluruh penduduk Jatim, disusul Jateng dan Jabar," kata Bambang Sudibyo. Karena itu, Bambang meminta pemerintah provinsi Jawa Timur untuk berkonstrasi dalam pemberantasan buta aksara, sebagai bagian dari program pemberantasan buta aksara nasional. Untuk program itu, pemerintah menyediakan anggaran Rp175 M -Rp.1 trilyun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) mendatang.

Yang menarik, meskipun Jatim menempati urutan teratas dalam jumlah penderita buta aksara, tapi di salah satu kota di provinsi itu, Bondowoso juga merupakan kota dengan metode pemberantasan buta aksara terbaik di Indonesia. "Bondowoso melakukan proses pemberantasan buta aksara yang bagus dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat," kata Bambang memuji pelaksanaan pemberantasan buta huruf di kota berjarak 200-an KM dari Surabaya itu.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Bondowoso, Syarif Oesman hanya tersenyum ketika dikonfirmasi mengenai hal itu. Meski berterima kasih dengan penghargaan Menteri Pendidikan, tapi menurutnya, terobosan yang dilakukan di Bondowoso itu hanya sebagai upaya mengatasi problem di masyarakat. "Apa yang kami lakukan hanya mencari solusi dari banyaknya kemiskinan di Bondowoso, dan menurut kami hal itu bisa diselesaikan lewat pemberantasan buta aksara," katanya, pada The Jakarta Post.

Bondowoso adalah salah satu kota termiskin di Jatim. Dari 720,1 ribu jiwa penduduk kota itu, 246,3 ribu jiwa diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Faktor kemiskinan itu juga yang akhirnya membuat tingkat pendidikan di kota ini jauh tertinggal. Dari penduduk usia 15-44 tahun yang berjumlah 350 ribu jiwa misalnya, 53 ribu diantaranya menderita buta aksara. Begitu juga dengan penduduk usia 45 tahun keatas yang berjumlah 189,8 ribu jiwa, 111 ribu diantaranya tidak mengenal calistung. Jumlah total penderita buta huruf di kota itu adalah 164,8 ribu jiwa yang tersebar di 20 kecamatan.

Kondisi geografis yang berbukit dan bergunung-gunung menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat pendidikan di Bondowoso. Belum lagi tingkat kemiskinan yang tinggi, membuat masyarakat kota yang terapit pegunungan itu lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan fisik ketimbang pendidikan. "Tidak heran banyak sekali penduduk Bondowoso yang lebih memutuskan berhenti sekolah dan menikah pada usia dini, setelah itu bekerja sebagai petani," kata Syarif Oesman pada The Post. Belum lagi persoalan kurangnya jumlah guru yang mengajar di Bondowoso. "Saat ini ada terdapat 7318 guru yang mengajar di Bondowoso, kekurangannya sekitar 3 ribuan guru," jelasnya.

Efek yang bisa dirasakan dari kondisi itu adalah sulitnya pemerintah mensosialisasikan program pembangunan. Termasuk program peningkatan hasil pertanian di Bondowoso. Misalnya saja, ketika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan petani dengan pemberian pupuk dan obat-obatan untuk tanaman persawahan. Tapi karena kebanyakan petani tidak bisa membaca, maka pemberian pupuk dan obat itupun tidak sesuai dosis. Hasilnya, peningkatan hasil petanian pun gagal.

Atas kondisi itulah, Bupati Bodowoso Mashoed mengumpulkan seluruh aparatur pemerintahan termasuk Kepala Kecamatan dari seluruh Bondowoso. Dalam pertemuan itu Mashoed memerintahkan seluruh Kepala Camat untuk mendata seluruh jumlah penduduk yang buta aksara. Tercatat terdapat Kecamatan Cerme dan Kecamatan Binakal tercatat sebagai kecamatan berpenduduk terbanyak buta aksara dengan 4886 dan 4156 jiwa. "Atas dasar survei itulah, diputuskan adanya gerakan pemberantasan buta huruf di empat kecamatan, Binakal, Wonosari, Grujukan dan Pajekan sebagai pilot project pemberantasan buta aksara," jelas Syarif Oesman.

Seluruh elemen masyarakat, mulai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, Perangkat Desa, Muslimat/Fatayat NU, Aiyiah, tokoh masyarakat hingga aktifis LSM dikerahkan untuk menjadi tutor relawan gerakan pemberantasan buta aksara. Tempatnya pun menggunakan balai desa, mushola hingga rumah penduduk. Pemerintah Kota Bondowoso mengajukan anggaran APBD 2006 sebanyak Rp. 2 M untuk pemberantasan buta aksara. "Sejak program ini dicanangkan pada Agustus 2005 hingga sekarang, Alhamdulillah banyak penduduk yang bisa membaca, kami yakin, tahun 2007 Bondowoso akan bebas buta aksara," kata Syarif Oesman.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Dhaniel Rosyied mengatakan untuk menghapus buta aksara di Jatim harus terlebih dahulu mengurangi pendidikan formalistik dan menggantikan dengan bentuk pendidikan berbasis ketrampilan. Karena pendidikan berbasis ketrampilan mampu membuat masyarakat merasa perlu bersekolah karena membutuhkan ketrampilan untuk bekerja. "Selama ini, masyarakat merasa sekolah tidak perlu karena hanya mendapatkan ilmu, dan bagi orang miskin, ketrampilan lebih penting daripada ilmu," kata Dhaniel pada The Post.

Namun, harus diingat, pendidikan ketrampilan itu harus disesuaikan dengan karakter masyarakat setempat. Misalnya di lingkungan petani, ketrampilan yang diajarkan berbeda dengan ketrampilan di lingkungan nelayan. Untuk itu, Dhaniel menyarankan disiapkan tenaga guru yang juga memahami persoalan ketrampilan yang dimaksud. "Tenaga guru yang bisa mendidik secara formal dan ketrampilan tidak hanya menghapus buta aksara, tapi sekaligus meningkatkan keterampilan masyarakat dan pada akhirnya bisa berkarya," katanya.***

"INGIN BISA NULIS SMS," KATANYA

Hujan deras yang mengguyur Kota Bondowoso, Jawa Timur, Selasa (01/02) malam, tidak menyurutkan niat Suharna,45, untuk datang ke Sekolah Dasar (SD) Tangsil Wetan, Kecamatan Wonosari, Bondowoso. Di salah satu ruangan SD itulah, setiap Selasa, Rabu dan Kamis digunakan warga sekitar untuk kelompok belajar pemberantasan buta aksara. "Assalamualaikum,.." sapa perempuan itu begitu memasuki ruangan kelas berukuran 7x7 m itu, dibalas salam tujuh ibu-ibu yang sudah terlebih dahulu datang di kelas itu.

Setelah melipat payung lusuh yang dibawanya, perempuan berdarah Madura itu masuk kelas. Malam itu, Suharna duduk di bangku terdepan, di samping pintu. Sambil membetulkan letak jilbabnya, nenek satu cucu itu mengeluarkan buku tulis, pensil dan penghapus yang dibawanya, dan ditaruh di atas meja. "Malam ini kita akan belajar merangkai kata kan?" tanyanya dalam logat Madura kepada salah satu ibu yang duduk di sampingnya. "Iya,.. kemarinkan sudah membuat BA,..BI,..BU,.."jawab sang ibu. Suharna mengangguk dan membuka-buka buku tulisnya.

Suharna adalah satu dari 47,6 ribu warga Bondowoso yang saat ini terlibat dalam gerakan pemberantasan buta aksara. Setiap minggunya, Suharna dan kelompok belajarnya yang terdiri dari 17 ibu-ibu yang kebanyakan domisili di sekitar lokasi pertemuan, bertemu di SD Tangsil Wetan untuk belajar baca, tulis dan berhitung (calistung). "Biasanya, kami datang dan tujuh malam dan pulang jam sembilan malam," kata Suharna pada The Jakarta Post.

Apa yang dilakukan itu, menurut perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kaki lima (PK5) itu berangkat dari keinginannya sendiri. "Saya sama sekali tidak pernah sekolah, makanya tidak bisa membaca sama sekali, kadang saya bingung kalau harus pergi ke kota sendirian,..nggak tahu jalan," katanya. Karena itulah, saat diumumkan akan ada kelas belajar membaca, Suharna berinisiatif untuk ikut. "Enak, belajar malam hari sama ibu-ibu yang lain," katanya sambil tersenyum.

Berkenalan dengan huruf dan angka, bagi Suharna dan kelompoknya, ibarat mengenal hal yang sama sekali baru. Dia mengaku sulit mengingat-ingat sati demi satu huruf 26 huruf abjad yang diperkanalkan. "Yang paling sulit mengingat-ngat huruf "w", "a" dan "e", huruf-huruf itu sepertinya sama bentuknya," katanya sambil tersenyum. Namun, Suharna mengaku bersyukur tutor yang mengajarinya tergolong sabar. "Gurunya baik dan sabar," katanya sambil berbisik.

Meski senang belajar membaca dan berhitung, Suharna mengaku agak bersedih karena suami yang sehari-harinya beternak bebek, serta anak perempuannya, tidak bersedia ikut dalam kelompok belajar membaca. "Makanya yang ikut hampir semuanya adalah ibu-ibu, bapak-bapaknya malu, dan memilih untuk tinggal di rumah," kata ibu satu anak dan satu cucu ini. Padahal, menurutnya, belajar membaca itu sangat penting, disamping bisa mengurus surat-surat, dan bisa tahu banyak hal. "Dulu, waktu saya tidak bisa membaca, tidak bisa tanda tangan di KTP, pakai cap jempol," kenangnya.

Anak Suharna, Julirati,19, lebih memilih untuk tinggal di rumah dan mengurus anaknya. Meski tidak sempat melanjutkan sekolah ke bangku SMP, Julirati pernah bersekolah hingga kelas 6 SD. "Karena tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah, Julirati memilih untuk kawin, dan sekarang sudah punya anak, Sutiawati (6)," kata perempuan bertubuh langsing ini.

Karena sadar dengan pentingnya bisa baca dan tulis, Suharna menginginkan cucunya, Sutiawati, untuk bisa membaca dan menulis. "Bisa membaca dan menulis itu ternyata penting, saya ingin cucu saya bisa sekolah,..nanti kalau cucu saya sudah besar kan bisa kirin SMS-an dengan saya," kata Suharna sambil tertawa. ***

Media Menggaet Untung Dari Pilkada

Dengan serius, Yuwana, anggota tim sukses salah satu kandidat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Surabaya, mengamati sebuah harian lokal Surabaya. Dengan cekatan, tangan mantan wartawan media cetak terbitan Jakarta itu membolak-balik halaman per halaman koran setebal 24 halaman itu. Sesekali, matanya memicing ketika membaca berita tentang pilkada, kemudian kembali membolak-balik halaman.

Tiba-tiba telepon seluler yang terselip di kantong celananya berdering. "Halo,..saya sendiri, begini,..saya mau memasang iklan calon pilkada di koran kamu, tapi saya minta penempatannya di bagian atas, selain itu saya tidak mau," kata Yuwana tegas, sembari mendengarkan lawan bicaranya berbicara. "Oke, sekarang kamu ketemu saya saja," katanya mengakhiri pembicaraan.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) di Surabaya pada 27 Juni mendatang, membawa berkah tersendiri bagi media massa. Empat pasang kandidat yang Minggu (15/05) kemarin dirilis KPUD Surabaya, Alisjahbana-Wahyudin Husein (PKB), Bambang Dwi Haryono-Arif Afandi (PDIP), Erlangga Satriagung-AH Thony (PAN-PD) dan Gatot Sudjito-Benyamin Hilly (Golkar-PDS), bagaikan pundi-pundi uang bagi media massa. Terutama media massa cetak.

Mereka seakan berlomba menawarkan "paket hemat" sosialisasi atau iklan kampanye kepada empat pasangan kandidat, melalui tim sukses masing-masing. Data yang diperoleh The Jakarta Post dari sebuah sumber menyebutkan, hampir semua media massa cetak di Surabaya mengirimkan penawaran iklan. Tidak main-main, nilainya berkisar mulai Rp. 15 juta hingga Rp.300 juta untuk setiap paket yang ditawarkan.

Salah satu salinan surat tawaran kerjasama iklan kampanye yang didapatkan The Jakarta Post menyebutkan, dengan harga RP.300 juta, pasangan kandidat bisa mendapatkan berbagai fasilitas iklan. Mulai pemuatan semua berita aktivitas yang dilakukan kandidat, wawancara khusus hingga iklan satu halaman penuh. "Kami memberikan jaminan tidak akan memuat berita yang berisi black campaign pada kandidat yang bersangkutan," tulis salah pimpinan redaksi pada surat penawaran itu.

Bagi pasangan kandidat, sosialisasi melalui media massa adalah salah strategi yang harus dilaksanakan. Di samping efektif, berkampanye melalui media massa juga bisa menyentuh konstituen secara langsung. "Kami berpikir soal efektivitas media, karena itu kami mengambil tawaran itu, meskipun tidak semua," kata Djaka M tim sukses kandidat Erlangga Satriagung-AH Thony kepada The Jakarta Post.

Hal yang sama diungkapkan tim sukses Bambang Dwi Haryono-Arif Afandi yang secara khusus punya arsitek media massa. "Iklan di media massa itu perlu strategi, hal itulah yang kami lakukan selama ini," ujar Saleh Mukadar, ketua tim sukses. Salah satunya, dengan menghindari terlalu sering memasang iklan di media massa. Kalau toh beriklan, pilihan hari, halaman dan materi iklan-nya harus pas.

Strategi yang agak berbeda ditempuh oleh tim sukses dari Alisjahbana-Wahyudin Husein. Budiharto Tasmo, ketua tim sukses mengungkapkan pihaknya menolak semua tawaran iklan di media massa. Persoalan utamanya, keterbatasan dana yang dimiliki tim ini. "Kita tidak ada dana untuk beriklan di media massa," jelasnya.

Lebih jauh, Budiharto mengungkapkan, iklan di media massa tidak begitu efektif atau tidak lebih sebagai "alat pengingat" bagi masyarakat atas calon yang beriklan. "Kami lebih percaya dengan mekanisme loyalitas partai yang dibangun melalui personal sale, kalau sudah loyal, mereka akan tetap akan memilih pasangan itu," tegas Budi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Sunudyantoro menilai, meski diatur dalam UU Pilkada, persoalan iklan di media massa memiliki banyak kelemahan. AJI Surabaya mengati banyaknya berita yang sebenarnya berupa iklan terselubung. "Sering kali kita temukan iklan yang tersaji dalam bentuk berita, ini jelas pelanggaran," katanya.

Apalagi, hampir setiap media massa memiliki halaman khusus tentang Pilkada. Bila dicermati betul, berita-berita yang disajikan lebih banyak berkisar tentang kegiatan para kandidat. "Tidak ada kritik, hanya wacana wacana tentang hal yang positif, apa bedanya dengan iklan? Hal ini malah membodohkan masyarakat pemilih," tegas wartawan media massa terbitan Jakarta ini.

Dhimam Abror Jurait, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur mengingatkan tentang perlunya menghidupkan firewall (dinding api) antara redaksi dan bagian iklan di media massa. Jangan sampai antara keduanya terjadi tindakan saling mempengaruhi. "Meskipun kandidat beriklan di sebuah media, bukan berarti fungsi kontrol redaksi berkurang," kata Abror.

Meski begitu, Abror memahami munculnya rasa ewuh pekewuh/ketidakenakan antara redaksi dan bagian iklan. Rasa ewuh pekewuh/ketidakenakan inilah yang pelan-pelan harus dikikis dengan mengingatkan kembali fungsi dan peranan pers.

Pengamat media dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kacung Marijan mengatakan, di Indonesia tingkat efektivitas beriklan di media massa masih sangat kecil. Apalagi, kebanyakan iklan pada kandidat tidak secara gamblang menyebutkan tindakan riil yang akan dilakukan bila mereka terpilih.

"Di AS, yang tingkat iklan politik di medianya berisi materi yang lebih lengkap, efektivitasnya hanya 10-20 persen saja, bagaimana dengan di Indonesia," katanya. Karena itu, tidak mengherankan bila nantinya pemenang pilkada bukan kandidat yang sering beriklan di media massa.

Ketua Panwaslu Surabaya, Mahmud Suhermono mengatakan, pihaknya terus mengamati gerakan sosialisasi kandidat di media massa. Karena disinyalir, beberapa kandidat melakukan pelanggaran serius pencurian start kampanye. "Kami masih mempelajari, apakah iklan di media massa termasuk melanggar, kalau terbukti, maka ancaman pidana bisa dikenakan," tegasnya.***

Surabaya Menggagas Judi legal

Suasana agak berbeda tampak di lokasi permainan ketangkasan "M" yang terlerak di Surabaya pusat, Senin (18/07) malam lalu. Gedung yang biasanya hiruk pikuk dengan pengunjung berpakaian rapi itu kali ini sedikit senyap. Deretan mobil yang parkir di sekitaran gedung pun, tidak ada lagi. "Sejak berita tentang judi muncul, tamu jadi jarang kesini," kata seorang pekerja yang enggan disebutkan namanya pada The Post.

Isu pemberantasan judi kembali marak, sejak Kapolri Jend Polisi Sutanto mengintruksikan jajarannya untuk memberantas perbuatan terlarang itu sampai ke akarnya. Target pertama, operasi akan dilakukan di tiga kota besar, Jakarta, Medan dan Surabaya. "Kalau ada Kepala Polisi Daerah (Kapolda) yang tidak bisa mampu melakukan itu, akan diganti dengan kapolda yang mampu," tegas Kapolri Sutanto.

Sejak intruksi tentang pemberantasan judi itu dilakukan, banyak tempat judi di berbagai kota di Indonesia memilih untuk "tiarap". Meskipun dalam pengamatan The Jakarta Post, masih saja ada tempat judi yang nekad beroperasi.

Di Surabaya misalnya, ada belasan lokasi perjudian yang berkedok permainan ketangkasan yang tetap beroperasi. Sebut saja arena ketangkasan "M", "C" dan "PA" di salah satu plasa di Surabaya pusat. Belum lagi berbagai tempat ketangkasan di wilayah Simpang Dukuh, Kedungdoro, Mayjen Sungkono dan Sukolilo, Surabaya.

Meski dari luar, tampak seperti tidak ada aktivitas, namun tetap saja permainan ketangkasan yang menggunakan uang sebagai sarananya bisa dilakukan. "Yang bisa masuk hanya pelanggan yang benar-benar kami kenal, dan member khusus," kata seorang pelanggan yang pada beberapa malam masih menikmati permainan judi di arena ketangkasan "M".

Pemberantasan judi yang terkesan setengah hati itu menurut Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Ali Maschan Moesa adalah tindakan yang jauh dari semangat Kapolri Sutanto. "Keinginan untuk memberantas maksiat harus dilakukan secara total, tidak seperti sekarang ini," katanya pada The Jakarta Post.

Aktivitas perjudian di Jawa Timur terutama di Surabaya, kata Ali, sudah menjalar sampai keseluruh lapisan masyarakat. Mulai anak-anak, pelajar hingga pengusaha-pengusaha yang kerap kali bertaruh dengan uang yang tidak sedikit. "Kalau kenyataannya sudah seperti itu, apa bisa pemberantasan judi dilakukan hangat-hangat tai ayam (kadang serius, kadang tidak serius-red)," katanya.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, anak-anak dan pelajar pun bisa memanfaatkan judi jenis Dingdong, Mickey Mouse, Kino atau Kasino. Dengan memanfaatkan uang koin Rp.50,00 anak-anak itu bisa menghasilkan uang hingga Rp.60.000,00 dalam sekali permainan. Tidak hanya itu, sosok yang disebut-sebut sebagai bos judi Surabaya, FFD, dikenal dekat dengan beberapa pejabat di Surabaya dan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan di kota ini.

Karena itu, Ali Maschan menilai perlu ada langkah strategis untuk benar-benar menghapus perjudian di masyarakat. "Kalau memang tidak bisa menghapus seluruh praktek perjudian, apa tidak lebih baik dibangun lokasi yang khusus untuk pejudi, kalau yang ingin bermain judi bisa ketempat itu, tentu saja dengan aturan yang ketat dan tegas," katanya.

Bagi Wakil Walikota Surabaya terpilih Arif Afandi, gagasan untuk membuat lokasi khusus perjudian itu bisa dilakukan di Surabaya. Di samping kondisi masyarakat yang masih bisa menerima perubahan, lokasi Surabaya yang berada di persimpangan lalu lintas laut mempermudah akses bagi wisatawan yang akan berkunjung di lokasi perjudian Surabaya.

"Sebenarnya, saya sudah berpikir soal itu, bahkan lokasinya pun sudah terbayang," katanya pada The Jakarta Post. Lokasi yang dimaksud, kata Arif adalah di lokasi Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) yang terletak di Surabaya utara.

Arif menyadari ide membangun lokasi judi di Surabaya ini tergolong ide "gila". Namun, bila lokasi perjudian itu bisa terealisasi, uang pajak hasil perjudian itu bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan pembangunan kota dan membantu rakyat miskin. "Para penjudi itu pasti tidak keberatan bila dipatok pajak besar, misalnya sampai 40 persen, nah,..uangnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di Surabaya," jelasnya.

Meski begitu, Arif menilai hal itu tidak akan mudah dilakukan. Apalagi secara institusional secara tegas Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melarang adanya perjudian di Indonesia. Seperti yang tertuang dalam pasal 303 tentang perjudian dalam bentuk apapun. "Kalau mau fair, harusnya ada perubahan konstitusi," katanya.

DPRD Kota Surabaya agaknya tidak sepakat dengan ide "gila" Arif Afandi. Sekretaris Komisi A DPRD Kota Surabaya Masduki Toha menilai pasal 303 KUHP jelas mengatur hal perjudian. Meski Toha mengakui sampai saat ini belum ada difinisi yang jelas tentang perjudian. "Karenanya DPRD Surabaya akan bertemu dengan kejaksaan, polisi dan dinas terkait untuk berbicara soal itu," jelasnya.***