Wednesday, March 07, 2007

Arca Prasejarah Berserakan di Kediri


Sosok Dewa Brahma.

Hantaman mata ganco Maksum terhenti, ketika ujung mata alat pemecah batu itu menghantam sebuah benda keras. Detak jantung laki-laki warga Besuk, Kediri Jawa Timur itu pun seakan terhenti. "Semua gambaran yang saya lihat di mimpi itu ternyata benar, ada sesuatu di dalam tanah," kata Maksum, pada The Jakarta Post, mengawali kisahnya.

Pelan-pelan, laki-laki berusia 48 tahun itu menggali tanah di sekitar batu itu dengan tangannya. Bentuk asli batu yang ternyata berupa mahkota itu mulai terlihat. "Saya segera memanggil teman-teman dan meminta mereka ikut membantu. Tak lama setelah itu bentuk patung dengan empat kepala pun terlihat, itu patung Dewa Brahma," kenang Maksum.

Kejadian Sabtu (20/01) sore sekitar pukul 17.00 WIB itu hingga kini masih terbayang dibenak laki-laki yang berprofesi sebagai kuli angkut pasir ini. Karena saat itulah momentum di mana pertama kali Maksum membuktikan wangsit yang didapatkannya dalam mimpi itu menjadi kenyataan.


Reruntuhan Sendang Tirta yang hingga kini masih mengeluarkan air.

BERAWAL DARI BISIKAN GAIB

Maksum menceritakan, beberapa malam sebelum ditemukannya patung Dewa Brahma itu, Maksum selalu bermimpi diajak jalan-jalan oleh seorang laki-laki berpawakan keturunan India. Sosok yang diyakini sebagai perwujudan Dewa Brahma itu mengajak Maksum berjalan-jalan di persawahan di Desa Gayang, Kecamatan Gurah Kabupaten Kediri yang selama ini merupakan lokasi tempatnya bekerja sebagai kuli angkut pasir.

"Anehnya kawasan tempat saya bekerja itu, di dalam mimpi saya berubah menjadi kawasan kerajaan, lengkap dengan istana, hingga tempat pemandian raja beserta anak-anaknya," keta Maksum. Di mata laki-laki yang kini lebih banyak mengenakan udeng (penutup kepala khas Jawa) ini, keindahan kerajaan itu membuatnya enggan untuk kembali ke "dunia" nyata. "Mungkin ini tampak seperti khayalan, tapi hal itulah yang saya impikan," katanya.

Dalam mimpi itu, Dewa Brahma mengatakan bahwa dirinya akan "terlahir" kembali menjelang malam tahun baru Jawa atau yang dikenal sebagai Malam Satu Suro. "Saya tidak pernah mengatakan hal ini kepada siapa pun, karena saya yakin, tidak akan ada orang yang mempercayai cerita saya, hingga akhirnya patung Dewa Brahma saya temukan," katanya.

Dewa Brahma pun diangkat dari dalam tanah. Patung berbentuk orang yang sedang bermeditasi itu memiliki tinggi sekitar satu meter, dengan dasar patung berbentuk persegi empat. Empat kepala patung menghadap ke empat penjuru berbeda berpadu dengan ornamen-ornamen jaman kerajaan yang terpahat di sekitar patung. Sebuah ceret wadah air terdapat di sebelah kiri patung itu.

Ditemukannya Patung Dewa Brahma memicu pencarian patung yang lain. Dengan bersemangat, warga menggali tanah di sekitar lokasi penemuan Patung Dewa Brahma. Dalam waktu kurang dari satu bulan, beberapa patung pun ditemukan. Mulai patung Lembu Andini atau Nandi yang ditemukan sebelah selatan patung Dewa Brahma, Patung Dewi Durga Mahesa Sura Mandini ditemukan tergeletak di sebelah timur patung lembu Andini. "Juga ada patung Lingga berbentuk persegi panjang yang posisinya agak jauh," kata Maksum.


Penduduk desa sedang membersihkan arca prasejarah.

TERUS DITELITI

Penemuan berbagai arca prasejarah di Kediri "memaksa" Balai Penyelamatan Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan untuk melakukan penelitian. Sebuah tim penelitian pun diberangkatkan lokasi penemuan untuk melakukan rekonstruksi penemuan arca dan kemungkinan adanya penemuan lain. Penelitian itu sekaligus membuktikan keaslian arca yang sempat diduga sebagai arca palsu.

Bentuk arca yang bila dilihat dengan mata telanjang tampak seperti baru. Beberapa warga Kabupaten Kediri yang menyaksikan dari dekat arca itu memiliki keraguan tentang keaslian arca sebagai barang bersejarah. "Bentuknya seperti patung baru, hal itu terlihat dari pinggir patung yang masih bersih dan jenis batunya," kata Eddy, warga Kediri.

Sayangnya, proses penelitian itu pun terkendala. Tim peneliti yang datang ke lokasi penemuan arca, Jumat (16/02) lalu dan membawa tiga patung, Dewa Brahma, Lembu Andini dan Dewi Durga Mahesa Sura Mandini, ditolak oleh warga. Warga khawatir patung-patung itu akan ditukar dengan patung serupa namun palsu.

Proses dialog pun dilakukan. Hingga akhirnya warga hanya mengijinkan tim untuk membawa satu patung. Dengan syarat, tim BP3 me membuat surat pernyataan akan mengembalikan arca tersebut setelah dua minggu. "Jumat ini Patung Dewa Brahma akan dikembalikan ke Desa Gayam," kata Maksum, penemu patung Dewa Brahma pada The Post. Setelah patung Dewa Brahma dikembalikan, tim BP3 diperkenankan untuk meneliti patung yang lain.

Hingga saat ini, penelitian oleh tim BP3 masih dilakukan di kantor BP3 Trowulan Mojokerto. Prapto Saptono, Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3, Trowulan, Mojokerto menjelaskan, penelitian itu akan berlanjut dengan penelitian yang lain. "Saat ini penelitian masih dilakukan," katanya.


Ratusan orang terus berdatangan ke lokasi ditemukannya arca.


Patung Lembu Andini.

PENDAPATAN SAMPINGAN

Berita pun menyebar. Penduduk kabupaten yang terkenal dengan produksi Tahu Kediri ini berbondong-bondong menyaksikan penemuan itu. Media lokal di daerah berjarah sekitar 150 KM dari Surabaya pun memblowup pemberitaan itu. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, daerah yang awalnya sepi dan terpencil itu pun berubah menjadi ramai oleh penduduk yang lalu lalang ke daerah itu.

Di lokasi penemuan, yang berada di kawasan perkebunan tebu itu dipenuhi dengan pedagang kaki lima. Berbagai permainan khas pun ambil bagian. "Ini adalah berkah bagi masyarakat sekitar, dengan adanya pasar rakyat ini, banyak penduduk desa yang awalnya menganggur atau tidak ada pekerjaan selain waktu panen tiba, menjadi ada pekerjaan sampingan," kata Suwono, salah satu penduduk desa.

Untuk memasuki daerah arca pun ditemukan, pengunjung harus membayar Rp.1000,- per orang. Untuk penitipan sepeda motor, penduduk sekitar mematok harga Rp.2000,-/sepeda motor. Ketika memasuki areal arca, pengunjung pun diminta memberikan sumbangan seikhlasnya. Biasanya pengunjung memberikan Rp.1000/rupiah. Selain itu, ada air bertuah sumber dari Sendang tirto. Untuk mendapatkan satu plastik air, pengunjung diharapkan memberikan sumbangan Rp.1000 rupiah.

Dalam waktu sehari, bisa terkumpul sampai Rp.200 ribu. Jumlah itu bisa meroket ketika hari minggu tiba. Dalam waktu satu bulan, dana yang terkumpul dan diberikan ke khas desa bisa mencapai Rp.4 juta/bulan. Itu pun sudah dipotong honor masing-masing pengelola. "Semua pendapatan ini adalah seikhlasnya, dan digunakan untuk khas desa," kata Suwono.


Pengunjung berdoa di sekitar Arca Syiwa.


Gambar keenam arca prasejarah dijual kepada pengunjung.

:: Do not republish. If you like to republish, please contact id_nugroho@yahoo.com, id_nugroho@telkom.net or call mobile phone: +62-81-6544-3718 ::

Kondom Perempuan, Upaya Melindungi Perempuan

Raut muka Eva Yuliawati mendadak berubah ketika dirinya melihat contoh kondom perempuan untuk pertama kali. Pelan-pelan ibu rumah tangga dua anak itu menjinjing kondom bermerk Fiesta itu dan memperhatikannya lebih dekat. "Apa kondom ini yang harus saya masukkan ke vagina? Apa tidak sakit?" katanya singkat sambil memperhatikan benda lembek itu dari segala arah. "Kayaknya terlalu besar," komentarnya.

Kondom perempuan memang bukan barang baru di Indonesia. Di akhir tahun 90-an, alat kontrasepsi yang di desain khusus untuk perempuan itu sudah dikenal. Hanya saja, karena peminatnya belum banyak ditambah harga yang cukup mahal, kondom perempuan sulit ditemui di apotik atau toko obat. Untuk mendapatkannya, bisa membeli ke toko obat atau sex shop di luar negeri yang membuka sistem jual beli secara online di internet.

Senin (5/02) ini, dalam forum Pertemuan Nasional HIV&AIDS di Surabaya, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) Abu Rizal Bakrie melaunching kondom perempuan. Produk itu pertama kali dipasarkan oleh Yayasan DKT, bekerja sama dengan Sutra dan Fiesta Jakarta. Yayasan DKT adalah sebuah yayasan sosial yang berafiliasi dengan DKT International. Yayasan ini concern dengan penanggulangan masalah yang terkait HIV & AIDS. Salah satu strategi yang digunakan adalah mensosialisasikan kondom "laki-laki" dengan jargon safety can be fun.

Berbeda dengan kondom laki-laki, kondom perempuan memiliki bentuk fisik yang lebih rumit. Dengan panjang 17 cm dan diameter 6,6-7 cm, kondom ini dibuat dari bahan latex. Di bagian depan terpasang segitiga pengaman dari karet yang dibuat sebesar dinding vagina. Di bagian dalam kondom terpasang busa/spon dengan aroma vanila. Barang ini dijual seharga Rp.20 ribu/2 biji.

Yayasan DKT melalui pimpinannya Pierre Frederick mengakui tidak mudah memperkenalkan kondom perempuan. Berbagai persoalan, mulai image bahwa kondom hanya untuk laki-laki hingga anggapan tidak nikmatnya menggunakan kondom dalam berhubungan seks, menjadi kendala. "Belum lagi soal habit pengggunaan kondom yang secara psikologis bisa membuat si pemakai merasa tidak nyaman dan merasa rendah diri," kata Pierre Pada The Jakarta Post.

Padahal, dibalik itu pemakaian kondom sangat berguna. Kondom perempuan ini salah satu tujuan pembuatannya adalah memberi kuasa kepada perempuan untuk melindungi diri sendiri. "Seperti banyak kita ketahui, banyak perempuan yang terposisikan sebagai orang kedua, padahal mereka yang mengalami kerugian, seperti perkosaan, hamil di luar nikah dan tertular HIV," kata Pierre pada The Post.

Di sisi lain, secara sosial perempuan menjadi pihak yang tidak punya kuasa memilih. Termasuk menentukan kapan akan melakukan hubungan seksual termasuk apakah hubungan seksual itu dilakukan dengan menggunakan kondom atau tidak."Selama ini, laki-laki yang menentukan apakah akan memakai kondom atau tidak, kondom perempuan merubah semua itu," katanya.

Rahmat Haryono dari Badan Penanggulangan Napsa dan AIDS Provinsi Jawa Timur menilai, hingga saat ini, penggunaan kondom paling efektif untuk menanggulangi HIV & AIDS. Terutama pada kelompok masyarakat resiko tinggi, seperti pekerja seks. "Sekitar 20-30 persen penularan HIV&AIDS itu karena tidak menggunakan kondom, tapi ironisnya, pekerja seks (yang mayoritas perempuan) bukan dalam posisi yang menentukan penggunaan kondom atau tidak," katanya.

Melihat hal itu, Rahmat menilai kondom perempuan sangat efektif bila disosialisasikan kepada pekerja seks. "Kalau pengguna pekerja seks tidak bersedia menggunakan kondom, maka pekerja seks bisa punya inisiatif untuk melindungi dirinya dari penularan HIV&AIDS dengan memakai kondom perempuan," jelasnya.

Pertanyaan selanjutnya, bersediakah perempuan menggunakan kondom? Pertanyaan Eva Yuliawati agaknya bisa menjadi representasi jawaban. Eva merasa kondom perempuan itu memiliki ukuran yang terlalu besar. Terutama diameter busa/spon di ujung kondom. "Meskipun kondom itu ada gel melumasnya, namun tetap saja ukurannya terlalu besar, saya khawatir ada rasa sakit saat mengenakannya," kata Eva pada the Post.

Agus (bukan nama sebenarnya), salah satu aktivis HIV&AIDS yang mengaku sudah "mencoba" menggunakan kondom perempuan bersama istrinya mengaku menemui berbagai kendala. Panjang kondom yang dinilai terlalu pendek, justru menyulitkan Agus ketika berhubungan seks. Termasuk adanya busa/spon di ujung kondom perempuan. "Maaf saja, sakit rasanya ketika istri saya menggunakan kondom perempuan itu, begitu juga ketika berusaha melepasnya," kata Agus pada The Post.

:: Do not republish. If you like to republish, please contact id_nugroho@yahoo.com, id_nugroho@telkom.net or call mobile phone: +62-81-6544-3718 ::

Reyog, Seni Rakyat Penjaga Tradisi

Patih Bujang Ganong meliuk-liukkan tubuhnya. Mencoba menghindar dari sergapan Singo Barong dan Dhadhak Merak. Sembari ketakutan, sosok bermuka merah dengan rambut acak-acakan di depan wajahnya itu berlari-lari menuju Raja Kelana Sewandana, yang sedang gundah gulana menanti cinta Putri Songgo Langit, Putri Raja Kerajaan Kediri. Mendapat laporan sang patih, Kelana Sewandana pun murka.

Senjata pusaka cemeti Pecut Samandiman pun diraih, dan digunakan Kelana Sewandana untuk menghajar Singa Barong dan Dhadhak Merak. Dua binatang yang awalnya ganas dan beringas itu pun tunduk. Dengan satu lecutan, Kelana Sewandana mengutuk mereka menjadi Reyog, binatang berkepala dua. Mitos awal mula bersatunya Singo Barong dan Dhadhak Merak itu diabadikan dalam pagelaran Reyog asal kota Ponorogo, kemudian dikenal sebagai Reyog Ponorogo.

Tidak jelas benar, kapan pertama kali kesenian Reyog Ponorogo dimainkan. Yang pasti, kesenian yang awalnya adalah kesenian rakyat itu selalu hadir dalam event-event khusus dan menjadi ikon kota seluas 1.402 m persegi itu. Terutama event pergantian tahun Jawa atau Grebeg Suro, yang sekaligus bersamaan dengan pergantian tahun Islam.

Tahun 2007 ini, Grebeg Suro di Jawa Timur dirayakan, 15-20 Januari. Hampir di setiap kota di Jawa Timur yang masih kental nuansa mengusung budaya Jawa, merayakan Grebeg Suro. Seperti di Mojokerto, Malang, dan tentu saja Ponorogo. Dibanding dengan peringatan Grebeg Suro di berbagai kota, peringatan di Ponorogo sedikit berbeda. Di tempat ini ada budaya Pesta Rakyat Reyog Ponorogo yang digelar secara massal, pawai kota, jamasan dan larung sesaji di Danau Ngebel. Semua dilaksanakan dalam satu rangkaian pesta.

Festival Reyog Ponorogo tahun ini diikuti oleh 31 kelompok Reyog yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Mulai Lampung Propinsi Lampung, Tanjung Pinang Kepulauan Riau, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kutai Kertanegara, Jawa Tengah dan Ponorogo. "Respon yang begitu banyak membanggakan kami sebagai pelaksana," kata Bambang Wibisono, Kepala Dinas Kesenian Kabupaten Ponorogo pada The Jakarta Post.

Alun-alun Ponorogo bagaikan panggung raksasa pelaksanaan festival itu. Selama empat hari, masing-masing kelompok Reyog beradu keindahan gerak dan alunan musik tradisional Jawa dengan hentakan Ponorogoan. Kempul, Ketipung, Kenong, Angklong, gong dan selompret bertalu-talu. Seakan memacu goyang garang penari Reyog. Masyarakat pun menyemut, menyaksikan aksi Patih Bujang Ganong dan Kelana Sewandana melawan Singo Barong dan Dhadhak Merak.

Menjelang pergantian tahun Jawa adalah puncak Grebek Suro. Masyarakat Ponorogo menyambut kedatangan tahun barunya dengan pawai besar-besaran di seluruh pelosok kota. Sekaligus mengenang perpindahan pemerintahan dari Kota Lama di pinggiran Ponorogo, menuju Kota Baru di Kantor Kabupaten. Diawali dengan penyerahan pusaka kota ke makam Bupati pertama Ponorogo, Betoro Katong, ratusan orang bergerak ke pusat kota. Bendi dan kuda hias menjadi tunggangan. Kota yang terkenal dengan tradisi Warok/Pasukan kerajaan ini pun berpesta.

Puluhan ribu orang berjajar di jalanan Ponorogo. Mereka menyambut iring-iringan benda pusaka dan pengiringnya, bagai menyambut pasukan perang yang datang ke kota mereka. Tepuk tangan dan sorak sorai membahana ketika tiba rombongan yang menjadi idola. "Saya paling suka dengan rombongan yang menghias diri sebagai Reyog raksasa," unkap Nardi, salah satu penduduk Ponorogo di sela-sela pawai itu.

Menjelang tengah malam, ribuan orang menyemut di alun-alun Ponorogo. Menyambut kedatangan tahun baru yang ditunggu-tunggu. Di pusat kota itulah, puncak perayaan pergantian tahun berlangsung. Pangung besar di ujung selatan alun-alun menjadi pusat perayaan. Di sekelilingnya, ratusan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya. Berdampingan dengan sajian komedi putar. Semburan ratusan kembang api mewarnai langit, ketika tahun jawa 1939 resmi berganti menjadi 1940. "Semoga Ponorogo menjadi Kota Mukti Mibowo (berwibawa-red)," kata Bupati Ponorogo Muhadi Suyono.

Usai sudah pesta pora. Saatnya seluruh berdoa. Di Danau Ngebel, doa terpanjatkan dengan diadakannya larung sesaji dan risalah doa. Di danau berjarak 25 KM dari pusat kota itu, kemeriahan upacara pergantian tahun berganti dengan keheningan doa kepada Sang Kuasa. Tumpeng raksasa setinggi dua meter dan doa-doa, menjadi tanda prosesi larung sesaji. Setelah diarak, tumpeng raksasa dan kotak doa dinaikkan perahu bambu, dan di tenggelamkan di tengah danau. Diiringi hentakan musik Reyog bertalu-talu.

MOLOG SANG EMPU REYOG


Certificated of Appreciation presented to Haryokemun Al Molog, by the Smithsonian Institution Office of Folklife Program in official of recognition of participation in 25th Annual Festival of American Folklife...

Kutipan kalimat itu begitu membanggakan bagi Haryokemun Al Molog, seorang seniman senior pembuat Reyog. Bagaimana tidak, kalimat yang tertuang dalam piagam penghargaan yang diberikan oleh the Smithsonian Institution itu adalah bukti dirinya adalah seniman pembuat Reyog tingkat dunia. "Saya sendiri yang datang ke Washington atas undangan Smithsonian," katanya, Minggu (21/01) ini, mengawali pembicaraan.

Haryokemun Al Molog bisa jadi merupakan Empu (pembuat) Reyog terakhir yang ada di Ponorogo Jawa Timur. Sejak dirinya berumur 7 tahun, laki-laki yang kini berumurnya 83 tahun itu sudah menggeluti profesi pembuat Reyog. Ilmu membuat Reyog dipelajarinya dari almarhum kakek dan ayahnya. "Sejak kecil saya dan keempat saudara saya sudah bisa membuat Reyog, tapi hanya saya yang meneruskan profesi kakek dan ayah saya itu," kata Molog.

Bergelut dengan Reyog, bagi Molog adalah sebuah aktivitas yang menyenangkan. Terlebih ketika hal itu mampu membuat orang lain senang. Apalagi, kesenangan itu bisa menjelma menjadi mata pencaharian. "Senang rasanya, karya-karya saya dipesan orang dan ketika Reyog dimainkan, banyak orang yang menonton, meskipun tidak semua orang tahu saya yang membuat Reyog itu haha,.." katanya.

Tidak tanggung-tanggung, sudah tidak terhitung lagi karya Molog yang dipesan seniman dan pencinta kesenian Reyog hampir dari seluruh Indonesia. Setahun, minimal empat paket lengkap Reyog dipesan orang. Satu paket, terdiri dari Reyog, Kuda Kepang, Topeng Bujang Ganong, Probo, Cemeti Samandiman, Angklung, Gong, kenong hingga Selompret. "Satu paket standart saya jual dengan harga Rp.27 juta, kalau istimewa, bisa sampai Rp.45 juta," katanya. Yang membedakan dua jenis paket itu adalah detil penggarapan dan ukiran.

"Tidak gampang membuat Reyog," katanya. Caplokan kelapa Reyog adalah hal pertama yang digarap. Bagian inti dari kepala Barong dan Dadak Merak itu dibuat dari jenis kayu dadap, kemudian dibungkus kulit kepala Harimau serta dihias dengan kepala, kaki dan bulu-bulu burung Merak. "Sesuai permintaan, semua bisa disajikan dengan kulit kepala Harimau dan Burung Merak Asli," jelasnya.

Kulit kepala Harimau didatangkan khusus dari Riau. Sementara bulu burung Merak diimport langsung dari India. "Saya mementingkan kulit Harimau dari Harimau yang mati tua, bukan mati dibunuh. Karena saya sadar, kalau banyak Harimau dibunuh, maka lama-lama saya tidak akan bisa membuat Reyog lagi, karena Harimau akan habis," tegasnya. Setelah itu, baru dibuat krakap (hiasan di atas kepala Reyog).

Pembuatan satu paket Reyog, memerlukan waktu kurang lebih satu bulan lamanya. Molog mempunyai enam pekerja yang memiliki spesifikasi tersendiri. Mulai membuat pakaian, barang-barang pelengkap Reyog hingga pernak-pernik asesoris. "Membuat Reyog khusus saya yang mengerjakan, karena saya masih belum berani memberi kepercayaan pekerja saya untuk mengerjakannya," kata Molog.

Apalagi, ada hitung-hitungan mistik dalam pembuatannya. Molog mengaku menjunjung tinggi kebiasaan itu karena dirinya percaya semua hitung-hitungan Jawa punya makna. "Untuk memotong kayunya saja, ada hitungan Jawa tersendiri, termasuk melakukan laku puasa sebelum saya membuat Reyog," kata mantan juri dalam festival Reyog nasional ini. Reyog hasil garapannya pun berbeda. Banyak orang bilang, Reyog karya Molog terlihat lebih indah dan menarik mata.

Sayang, keteguhan Molog dalam mempertahankan nilai-nilai keluruhan Reyog itu tidak menurun secara khusus kepada keempat anak-anaknya. Tiga anak perempuannya memiliki keahlian menjahit asesoris Reyog, sementara anak laki-laki dan menantunya sekedar tahu proses membuatnya. "Semoga saja, kalau saya sudah tidak ada bisa diteruskan oleh anak-anak dan keluarga saya," katanya. Semoga ini bukan akhir garis keempuan Molog, sang empu Reyog,...

:: Do not republish. If you like to republish, please contact id_nugroho@yahoo.com, id_nugroho@telkom.net or call mobile phone: +62-81-6544-3718 ::

Dan Putra Terakhir Pendiri NU Pun Berpulang

Mendung tebal menyelimuti kota Jombang, Senin (15/01) dini hari, ketika rombongan santri dari Solo, Jawa Tengah memasuki halaman depan Pondok Pesantren (ponpes) Tebuireng Jombang. Seorang pemuda bersarung dan mengenakan jas berwarna gelap yang memimpin rombongan itu mendatangi pos jaga ponpes yang didirikan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH.Hasyim Ashari di tahun 1899 lalu.

"Assalamualaikum,..kami rombongan dari Solo, ingin berta'ziah (berdoa kematian), apakah jenazah Kyai Yusuf Hasyim sudah datang," tanya pemuda itu pada Miftahul Huda, pengasuh Ponpes Tebu Ireng yang dini hari ini kebagian tugas jaga. "Langsung ke Dalem Kidul (rumah utara) saja, sekitar 500 meter dari sini,..jenazah masih di sana," jawab Mistahul Huda. Pemuda itu mengangguk, dan bergegas ke tempat yang dituju.

Keluarga besar NU berduka ketika KH. Yusuf Hasyim meninggal dunia Minggu (14/01) sore di RS. Dr. Soetomo, Surabaya. Kematian putra terakhir KH. Hasyim Ashari itu bagai menambah duka Indonesia, negeri yang belakangan tercabik dengan berbagai peristiwa kemanusiaan. "Sudah tidak ada lagi putra KH. Hasyim Ashari, semua sudah meninggal,.." kata Muhammad Nuh, salah satu ustadz Ponpes Tebuireng pada The Post, Senin ini.

KH. Yusuf Hasyim adalah putra ke tujuh pendiri NU, KH. Hasyim Ashari. Sekaligus adik bungsu KH. Wahid Hasyim, ayah KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur. Peran tokoh yang akrab dipanggil Pak Ud ini mulai terlihat ketika dirinya menjadi salah satu perwira pasukan Hisbullah, salah satu cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada jaman kemerdekaan. Jabatan sebagai ketua pertama dari Ansor, organisasi kepemudaan di NU, semakin melambungkan namanya.

Apalagi, di tahun ia menjabat sebagai Ketua Ansor itu, organisasi ini paling getol mengobarkan semangat perlawanan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang memberontak pada akhir tahun 1965. Karena itulah, Pak Ud adalah tokoh yang menolak upaya apapun yang memberi ruang kepada komunisme. "Pak Ud tahu betul apa yang diinginkan orang-orang Komunis, karena itu dia menolak tegas ideologi komunisme," kata Muhammad Nuh.

Sikap itu jauh berbeda dengan sikap KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur, keponakannya. Gus Dur adalah salah satu mantan Presiden RI yang secara terbuka mengusulkan dicabutnya TAP MPR-RI 25 tahun 66 yang melarang ajaran Marksisme dan Leninisme di Indonesia. "PKI tidak bisa diberi ruang karena bertentangan dengan Pancasila," statement KH. YUsuf Hasyim tentang usulan Gus Dur itu.

Dalam dunia pendidikan kepesantrenan, KH. Yusuf Hasyim membuat terobosan dengan merubah sistem kepengurusan Ponpes Tebuirang menjadi lebih modern. Yakni membentuk kepemimpinan pesantren secara kolektif dengan adanya Dewan Kyai, komisi pendidikan atau Lajnah Tarbiyah wat Ta'lim serta membudayakan organisasi santri ponpes.

Perubahan itu menyempurnakan sistem pendidikan Ponpes Tebuireng yang sejak tahun 1916 sudah mulai menerapkan sistem pendidikan sekolahtik atau madrasah. Kakak KH. Yusuf Hasyim KH. Wahid Hasyim, menyempurnakan hal itu dengan mendirikan madrasah Nidzamiyah pada tahun 1934. Dalam sistem itu diajarkan berbagai pelajaran modern mulai berhitung, ilmu pengetahuan lam hingga bahasa asing.

Tahun 1947, ketika KH. Hasyim Asy'ari meninggal dunia, tampuk pimpinan Ponpes dipegang oleh KH. Wahid Hasyim. Tak lama setelah itu, ayah Gus Dur ini terpilih menjadi Menteri agama RI. Kesibukan sebagai menteri agama membuat Tebu Ireng diserahkan kepada adiknya, KH. A. Karim Hasyim dan KH. Ahmad Badlowi, kakak ipar. Kemudian berpindah tangan kepada KH. A. Kholiq Hasyim dan KH.Yusuf Hasyim. Sistem baru pun diterapkan.

Di tangan Pak Ud, Ponpes Tebuireng berkembang pesat. Tidak hanya Madrasah Ibtidaiyah, didirikan pula Tsanwiyah dan Aliyah. Agar lebih modern, dibangun lembaga pendidikan SMP dan SMA Wahid Hasyim dan Universitas Hasyim Asy'ari.

Dalam dunia politik, posisi strategis pernah diraih KH. Yusuf Hasyim sebagai anggota DPR-RI Gotong Royong mewakili kelompok NU.Tokoh yang mendirikan PPP Reformasi dan Partai Kedaulatan Umat (PKU) ini pernah terpilih sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Pengurus ICMI Pusat.

Kini, ketika KH. Yusuf Hasyim sudah tiada, NU benar-benar terpukul. "NU benar-benar kehilangan tokoh besar, tokoh yang bersedia mengabdi pada masyarakat, tanpa diminta," kata ketua PBNU Hasyim Muzadi dalam sambutanya di sela-sela upacara pemakaman. Karenanya, Hasyim menilai harus ada upaya dari NU untuk meneruskan semangat "asli" KH. Yusuf Hasyim dan pendiri NU lainnya.

"Sekarang ini, banyak orang NU yang tidak melakukan semangat NU yang benar, seperti terseret dalam gerakan Islam Ekstrem dan Islam liberal, ini sudah beranjak dari ajaran NU," katanya. NU yang benar itu adalam sosok yang moderat. Sosok yang bisa menyelaraskan keyakinan dan toleransi.

Penolakan KH. Yusuf Hasyim pada ajaran komunisme, menurut Hasyim adalah benar. Karena komunisme mengarahkan orang kepada atheisme atau tidak percaya Tuhan. "Saya meminta ajaran menolak Komunisme harus diteruskan kepada para santri di ponpes manapun," kata Hasyim Muzadi. Agaknya, hal ini adalah pekerjaan rumah bagi KH.Solahuddin Wahid, yang saat ini menjadi pengasuh Ponpes Tebuireng. Selamat jalan Pak Ud,..

:: Do not republish. If you like to republish, please contact id_nugroho@yahoo.com, id_nugroho@telkom.net or call mobile phone: +62-81-6544-3718 ::