Monday, April 10, 2006

Penjebar Semangat Bertahan di Tengah Badai

Senajan kahanan ekonomi rada rekasa, ning yen gelem ubed,
Sethithik-sethithik ana wae pametu kang bisa dipethik.
Ora lanang ora wadon, ora anom ora tuwa, ayo podha sengkud makarya.

Ungkapan berbahasa Jawa itu menjadi pembuka majalah Penjebar Semangat edisi 7, 8 Februari 2006. Artinya "Meskipun keadaan ekonomi agak berat, tapi kalau mau kreatif, sedikit-sedikit ada saja sesuatu yang bisa dipetik. Tidak perduli laki-laki maupun perempuan, mari bekerja dengan giat". Kalimat yang dimuat di halaman 3 majalah setebal 58 halaman itu seakan ingin menjelaskan sikap optimistik seorang perempuan pemuat gerabah yang fotonya dimuat sebagai cover depan majalah itu.

"Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang mengatakan dicokot-cokot alot (digigit-gigit keras), seperti itulah orang Jawa memandang pendapatan yang pas-pasan tapi tetap ada meski kondisi perekonomian sedang berat," kata Moechtar, 81, Pimpinan Redaksi Penjebar Semangat pada The Jakarta Post, Minggu (12/02) ini.

Majalah Penyebar Semangat dan Majalah Joyoboyo, adalah dua media massa di Jawa Timur yang hingga saat ini masih mengusung Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Keberadaan dua media berbahasa Jawa ibarat di era serba canggih seperti sekarang ini ibarat artefak sejarah yang sampai saat ini masih bisa dinikmati.

Penjebar Semangat didirikan oleh salah satu tokoh gerakan Sumpah Pemuda, Dr.Soetomo di tahun 1930 di Surabaya. Awalnya majalah itu terbit dalam bentuk koran bernama Soeara Oemoem dengan RT Tjindarboemi sebagai pimpinan redaksinya. Di Surabaya, perkembangan koran yang sarat dengan kritik terhadap Penjajah Belanda ini tergolong baik.

Tiga tahun kemudian, Dr.Soetomo berinisiatif menerbitkan Soeara Oemoem dalam bahasa Jawa dan Madura, dengan Ir. Anwari dan RP Sosrokardono duduk di jajaran redaksi. Setelah dianggap memiliki pasar yang kuat, nama Soeara Oemoem diubah menjadi Penjebar Semangat dengan format majalah.
Pertama kali merubah nama dan format adalah masa berat bagi media yang memiliki moto Sura Dira Djayadiningrat Lebur Dening Pangastuti (Kejahatan Seberapapun Kuatnya Akan Kalah Dengan Kebenaran) ini.

Selama beberapa saat mereka hanya mencetak sebanyak 2000 eksemplar. Namun, tiga tahun kemudian, perkembangan luar biasa terasa. Oplah meningkat bertahan menjadi 6-12 ribu eksemplar/minggu di tahun 1936.

Jumlah yang luar biasa untuk sebuah media berbahasa Jawa di jaman itu. Tak mengherankan bila Penjebar Semangat cukup berpengaruh di masyarakat. Karena itulah, ketika Penjajah Jepang masuk ke Surabaya, Penjebar Semangat menjadi salah satu majalah yang ditutup paksa. Mesin cetak yang dimiliki disita dan Pimpinan Redaksinya, Imam Soepardi (yang menggantikan Dr. Soetomo setelah meninggal dunia pada 1938) mengungsi.

Sebelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1949, ketika Jepang tersingkir digantikan Agresi Belanda II, Imam Soepardi nekad keluar dari pengasingan dan kembali menerbitkan Penjebar Semangat. Meski sempat merangkak dari nol, Penjebar Semangat kembali menemui masa jayanya dengan oplah 88 ribu eksemplar.

"Saya masih merasakan bagaimana majalah ini begitu terkenal," kata Effendi,83, pekerja bagian Tata Usaha Penjebar Semangat yang hingga saat ini masih bekerja di majalah itu pada The Post. Effendi adalah pekerja terlama di perusahaan itu. Tidak hanya di Indonesia, majalah yang konsisten mengusung cerita rakyat Tanah Jawa itu juga memiliki pelanggan hingga ke luar negeri.

Tercatat pelanggan di Suriname, Keladonea Baru, Malaysia, Bangkok, Birma dan Vietnam secara kontinyu tetap berlangganan. Kebanyakan, pembaca Penjebar Semangat di luar negeri itu adalah keluarga penduduk asli Jawa yang dibawa secara paksa oleh penjajah Belanda untuk dipekerjakan sebagai pekerja paksa. "Mereka tidak ingin tercerabut dari akar kebudayaan Jawa, karena itu mereka berlangganan Penjebar Semangat," ungkap Moechtar, Pimpinan Redaksi.

Bagaikan sinar matahari yang meredup di sore hari, kebesaran nama Penjebar Semangat pun pelan-pelan pudar. Moechtar mencatat, salah satu hal yang membuat majalah yang dipimpinnya kurang diminati terkait dengan persoalan ekonomi. Keputusan untuk menaikkan harga bersamaan dengan kenaikkan harga bahan baku seperti kertas dan tinta, membuat pelanggan majalah ini berhenti berlangganan.

Tahun 1990 menjadi awal grafik penurunan oplah majalah ini. Tiras 80-an ribu pelan-pelan menurun hingga puncaknya terjadi pada tahun 1997 dengan 20 ribu. "Selain persoalan harga, kurangnya minat membaca bahasa Jawa pada generasi muda juga menjadi persoalan," ungkap Moechtar. Dalam survei yang dilakukan pihak pemasaran, hampir pasti setiap keluarga pelanggan yang berhenti berlangganan terjadi setelah pembaca majalah itu meninggal dunia. Sementara keturunannya beralih ke media berbahasa Indonesia.

Meski terdengar tragis, namun keoptimisan masih terlihat pada jajaran redaksi Penjebar Semangat. Salah satu penyebabnya, adalah masih adanya modal usaha yang berhasil dikumpulkan di masa majalah itu masih jaya. Seperti aset mesin cetak dan gedung perkantoran di lokasi pusat kota Surabaya yang dimiliki majalah itu. "Sekarang, kami berpikir bagaimana redaksi menjaga eksistensi majalah ini dengan tetap terbit," kata Moechtar.

Semangat itu pula yang membuat Penjebar Semangat terus menyapa pembacanya di awal minggu. Dan "buah" dari keoptimisan itu mulai bisa dipetik. Memasuki tahun 2000, kondisi oplah mejalah ini mulai konstan di titik 20 ribuan dan semuanya adalah pelanggan setia. Dalam pengamatan The Jakarta Post, semua majalah yang dicetak, langsung dikirim via pos ke alamat pelanggan.

Bahkan, pelanggan dari luar negeri yang sempat berhenti berlangganan pun kembali meminta berlangganan. Selain dari pribadi, pelanggan Penjebar Semangat juga berasal dari universitas-universitas di luar negeri yang mempelajari bahasa asli di seluruh dunia, termasuk bahasa Jawa. "Mereka biasanya mengirim uang dollar dulu sebagai deposit, kemudian meminta kami mengirim majalah ke alamat yang dituju, kalau uang dollarnya sudah menipis, pihak pemasaran akan menelepon dan minta deposit lagi," ungkap Moechtar.

Dari sisi penulis bahasa Jawa, Moechtar melihat munculnya penulis-penulis muda yang mengirimkan karyanya ke Penjebar Semangat. "Setiap ada anggota redaksi yang tidak mampu lagi bekerja, entah itu karena sakit atau meninggal dunia di usia tua, pasti ada penggantinya," kata pimpinan redaksi yang memimpin delapan awak redaksi dan puluhan penulis lepas (koresponden) di seluruh Indonesia ini.

Pantas bila Moechtar merasa bangga dengan hal itu. Karena keterlibatan penulis muda itu didasari oleh ketertarikan pada satra Jawa, tanpa ada orientasi materi di dalamnya. Untuk koresponden, Penjebar Semangat memberikan honor sebanyak Rp.50 ribu/tulisan dengan dua foto. Termasuk tulisan berjenis cerita pendek. "Nilai itu memang kecil, jadi munculnya penulis-penulis muda sangat membanggakan," kata salah satu pemrakarsa Konggres Bahasa Jawa di Semarang tahun 1961 ini. Bagi anggota redaksi yang sudah bekerja puluhan tahun pun, hanya digaji sebanyak Rp.1,2 juta/bulan.

Dedikasi redaksi media berbahasa Jawa seperti Penjebar Semangat dan Joyoboyo memang patut diacungi jempol. Selain mempertahankan budaya yang mulai luntur, media berbahasa Jawa juga mengusung nilai-nilai luhur yang dianut orang Jawa selama ratusan tahun. Belum lagi sumbangan media ini bagi Negara Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk.Bahkan, Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno pun secara khusus berkirim surat tulisan tangan dalam bahasa Jawa pada Penjebar Semangat.

"Kabeh madjalah kang mbijantu marang perdjoangan nasional gedhe gunane, Ta' dongakake mogo-mugo Penjebar Semangat lestari mbijantu perdjoangan kita iki (Semua majalah yang membantu perjuangan nasional besar manfaatnya, Saya berdoa semoga Penjebar Semangat terus ada dan membantu perjuangan kita ini)," tulis Ir. Soekarno dalam surat yang kini dibingkai dan dipajang di ruang redaksi Penjebar Semangat.***

No comments: