Friday, June 16, 2006

Enam Bulan Berlalu, Warga Jember Masih Sengsara

Noda tanah liat itu masih tertoreh di langit-langit rumah Ervina di Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu (10/06) ini. Tembok sebelah kanan rumah berukuran 10x8 itu pun masih hancur, meskipun puing-puing yang berserakan sudah tidak ada lagi. "Bekas-bekas bencana alam masih terlihat, sekalian untuk mengingatkan kejadian yang terjadi enam bulan lalu," kata Ervina pada The Jakarta Post.

Bencana di Jember terjadi ketika gelombang air bercampur tanah dari atas gunung Argopuro menghanyutkan kayu-kayu besar dan menyapu rumah-rumah yang ada di sepanjang kali di tiga kecamatan, Rambi Puji, Panti dan Sukorambi. Satkorlak Pemkab Jember mencatat, sejumlah 72 orang meninggal dunia dalam tragedi itu, dengan korban terbanyak dari Kecamatan Panti. Sementara ribuan orang lainnya mengungsi karena pemukimannya luluh lantak dihancurkan banjir bandang dan tanah longsor.

Meskipun sudah enam bulan berlalu, bencana banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi 29 Desember 2005 lalu di Jember, Jawa Timur masih terasa. Duka yang menggelayut pun masih menyimuti wilayah yang berjarak 210 KM dari Surabaya. Apalagi, bekas-bekas bencana, seperti bangunan rusak, batu-batu besar hingga bangkai mobil yang terseret banjir bandang masih ada di lokasi kejadian.

Ervina salah satu korban bencana yang masih terus trauma dengan kejadian itu. Ketika bencana itu terjadi, Ervina dan kedua orang tuanya sedang berada di rumah di samping pasar Kemiri, salah satu lokasi terparah yang tersapu banjir dan tanah longsor. Beruntung, saat air sudah meninggi, Ervina dan keluarganya mengungsi di salah satu mushola yang berjarak 500 meter dari rumahnya.

"Tak lama setelah kami mengungsi, air dan lumpur menerjang rumah, semua hancur," kenangnya. Di sekitar rumah Ervina ini juga banyak ditemukan mayat yang tertimbun tanah. Sampai saat ini, kalau hujan deras mengguyur wilayah itu, Ervina memilih untuk tinggal di rumah saudara yang tak jauh dari rumahnya.

Luas wilayah bencana di Jember, membuat penanganan bencana di wilayah itu pun lebih rumit. Apalagi ketika tidak adanya pemetaan wilayah secara pasti. Mulai luas masing-masing kecamatan yang tidak jelas batasan, jumlah penduduk di tiap-tiap desa, karakter masing-masing wilayah, jumlah bangunan hingga titik awal terjadinya bencana. Persoalan ini juga yang membuat proses recovery terkesan lamban.

Hingga enam bulan ini saja, rumah-rumah bantuan Pemerintah Propinsi Jawa Timur yang seharusnya sudah bisa digunakan, masih belum selesai dikerjakan. Rumah bantuan pemerintah propinsi itu berupa rumah seluas 6x6 dengan dinding batako dan asbes, yang juga digunakan untuk bagian atap. Kawasan rekolasi rumah bantuan itu didesain mengelilingi masjid yang juga merupakan tempat ibadah mayoritas warga di kawasan itu.

Relokasi juga dilakukan pada pondok pesantren Al Hasan, Desa Kemiri. Pondok pesantren yang ditempati 300-an santri itu hancur tersapu banjir. Bangunan ponpes yang baru ditempatkan di lapangan Desa Kemiri dengan mengempati areal seluas 2,7 Ha.

Dalam pengamatan The Jakarta Post di dua lokasi relokasi, Desa Kemiri dan Desa Kaliputih hanya puluhan dari 200-an rumah bantuan sudah berdiri. Hal yang sama juga terjadi di Desa Gunung Pasang dan Desa Delima. Sebagian besar rumah bantuan itu masih berupa kerangka tanpa atap dan tembok. Rencananya, ada 100-an rumah yang akan dibangun di Desa Kaliputih, Gunung Pasang dan Delima.

Kelambatan pembangunan rumah-rumah bantuan itu memaksa korban banjir bandang Jember tetap bertahan hidup serba pas-pasan di tenda-tenda atau sekolah-sekolah yang dijadikan tempat pengungsian. Di lokasi pengungsian tanah lapang desa Kemiri misalnya, para pengungsi hidup di 12 tenda besar bantuan Pemerintah Jepang. Tiap tenda rata-rata dihuni enam keluarga. Sistem pembuangan yang tidak tertata rapi dan keengganan pengungsi menjaga kebersihan, membuat lokasi pengungsian tampak kumuh.

Yang yang sama tampak di lokasi pengungsian Desa Kaliputih. Slamet, salah satu pengungsi sangat mengharapkan rumah bantuan itu segera selesai. "Agar saya dan keluarga saya serta pengungsi yang lain bisa hidup normal," katanya. Selama rumah itu belum jadi, Slamet dan puluhan pengungsi di Desa Kaliputih harus berbagi ruangan salah satu sekolah dasar. "Sampai kapan harus seperti ini," katanya dengan senyum terkulum.

Suprapto salah satu pengungsi mengatakan, salah satu hal yang membuat pembangunan rumah bantuan itu lamban adalah tidak adanya pasokan bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah. "Bahan bakunya sering terlambat," kata laki-laki yang kini bekerja sebagai pekerja kasar di perkebunan Kaliputih ini.

Sunday, June 11, 2006

Bertanding Dalam Kesedihan

Sorot mata Sigit Budiarto tampak sayu ketika The Jakarta Post menemuinya di arena Djarum Indonesia Open 2006 Gedung Olah Raga Sudirman, Surabaya, Rabu (31/05) ini. Apalagi ketika pasangan Mens Doubles Limpele Flandy ini ditanya nasib keluarganya di Yogyakarta. "Rumah keluarga saya di Kawasan Kalasan Yogyakarta hancur," katanya pada The Jakarta Post.

Sigit adalah satu dari pemain Djarum Indonesia Open 2006 yang keluarganya menjadi korban gempa bumi di Yogyakarta, Sabtu (27/05) lalu. Selain Sigit ada dua pemain nasional lain yang keluarganya menjadi korban bencana alam yang menewaskan 4000-an orang itu. Mereka adalah Trikus Harjanto dan Aprilia Yuswandari.

Hampir seluruh keluarga besar Sigit tinggal di Yogyakarta, tepatnya di daerah Kalasan, dekat dengan daerah wisata Candi Prambanan. Sigit menceritakan, ketika peristiwa itu terjadi, seluruh keluarganya sedang berada di rumah. "Saat gempa datang Sabtu pagi itu, semua keluarga saya sedang berada di rumah, beruntung tidak ada yang menjadi korban peristiwa itu," kata laki-laki kelahiran Yogyakarta itu.

Meski tidak ada korban jiwa, namun bangunan rumah keluarga Sigit hancur dan roboh. Termasuk rumah kakek Sigit yang ada di daerah Candi Sari Yogyakarta. "Tembok rumah kakek saya juga roboh dan hancur," tegasnya. Sebelum bertanding di Indonesia Open 2006, Sigit menyempatkan diri pulang ke Yogyakarta untuk melihat kondisi rumahnya.

"Kebetulan, sehari sebelum peristiwa itu, saya sedang ada di Kudus, Jawa Tengah untuk hadir dalam peresmian gedung olah raga baru, saat itu saya mendengar ada gempa, dan memutuskan untuk pulang ke Yogyakarta," kenangnya. Kesedihan terasa, begitu dirinya melihat kondisi rumahnya di Yogyakarta. "Saya hampir tidak bisa berkata-kata," katanya.

Kondisi yang sama juga dialami oleh keluarga Aprilia Yuswandari yang ada di kawasan Imogiri, Bantul, Yogyakarta. Tempat tinggal seluruh keluarga pemain tunggal putri Indonesia ini luluh lantak dengan tanah. "Kabar yang saya dapatnya, rumah keluarga saya di Imogiri rusak, meskipun tidak ada yang menjadi korban," katanya.

Tragedi yang dialami keluarga Sigit Budiarto dan Aprilia Yuswandari itu mau tidak mau mempengaruhi permainan mereka dalam Djarum Indonesia Open 2006. Namun, hal itu tidak membuat Sigit dan Aprillia kehilangan fokus pada pertandingan yang dimainkannya.

"Pada awalnya saya sempat terpengaruh, meski begitu saya berusaha tetap profesional dan memilah perasaan saya dan mempersiapkan untuk pertandingan kali ini," kata Sigit.

Senada, Aprillia pun mengaku tidak terpengaruh dengan tragedi yang terjadi di tanah kelahirannya itu. "Sedih sih, tapi saya tidak terpengaruh, saya fokus pada permainan ini," katanya. Sayangnya, dalam pertandingannya dengan Huaiwen Xu, Aprillia kalah dengan skor 21-10 dan 21-15.

Gedung Bersejarah Itu Menangis Sendirian

Bendera Merah Putih Biru milik Pemerintah Belanda itu berkibar di tiup angin, ketika patroli keamanan dan seorang pegawai pribumi melintas di pelataran Gedung Internationale Credit en Hamdelsvereeraging Roterdam di Jl. Willemsolein (kini Jl. Jayengrono) Surabaya itu.

Di depannya, berjajar mobil-mobil kuno milik pejabat Belanda yang tampak mengkilap dengan ornamen-ornamen khas Kerajaan Belanda. Pelataran gedung megah yang dibangun sekitar tahun 1929-an itu tampak bersih. Tak tampak sampah plastik atau larakan (sampah dedaunan dalam bahasa Surabaya-RED) berserakan di sana-sini. Semuanya tertata rapi.

Gambaran itulah yang terekkam dalam salah satu foto Soerabaja Tempo Doeloe yang dipamerkan di Pusat Kebudayaan Prancis CCCL Surabaya awal bulan ini. Namun, kondisi sangat berbeda sekarang. Bangunan yang terletak di depan Jembatan Merah Plaza (JMP) itu kumuh dan berantakan. Di seputaran gedung itu digunakan sebagai terminal bemo dan pedagang kaki lima. Lalu lintas di sekitarnya pun awut-awutan.

"Melihat nasib gedung-gedung tua itu kini, baru terasa betapa Surabaya tidak memiliki identitasnya sebagai Kota Pahlawan," kata Kadaruslan, sesepuh kota Surabaya yang juga seorang budayawan, menomentari foto koleksi Pusat Kebudayaan Prancis itu.

Wajar bila Kadarruslan merasa gerah. Laki-laki berusia 75 tahun yang asli Surabaya ini adalah saksi sejarah pertempuran 10 November 1945. Dirinya mengetahui secara pasti bagaimana nasib gedung-gedung tua bersejarah itu. "Di gedung yang dulu bernama Internatio itu adalah pusat pertempuran antara pejuang Surabaya dengan tentara sekutu, sekarang kumuh dan tidak terawat," katanya pada The Jakarta Post.

Nasib cagar budaya di Surabaya, termasuk gedung-gedung bersejarah bisa mencapai ribuan buah. Namun, yang kini bisa dikenali dan dicatat dalam SK wali kota, hanya 102 buah. Itu pun dalam keadaan yang mengenaskan, meski sebagian kecil terawat dengan baik. Bahkan, ada yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru untuk rumah toko (ruko) atau
gedung-gedung perkantoran modern.

Dukut Imam Widodo, pemerhati gedung tua di Jawa Timur mencatat ada tujuh gedung bersejarah di Kota Surabaya yang dirobohkan dan diganti gedung baru. Seperti Gedung Post en Telegram Kantor, Gedung Centrale Burgerlijke Ziekeninriching (CBZ), gedung CV Algemmene Volkscredit Bank hingga restauran Tai Chan. "Semuanya roboh, yang tersisa hanya nama dan kenangan," kata Dukut pada The Jakarta Post.

Selama tahun 2006, kata Dukut, Tim Cagar Budaya Pemerintah Surabaya akan mengkaji 52 kawasan dan bangunan cagar budaya di Surabaya. Rencananya, bangunan yang memenuhi kriteria, akan dimasukkan dalam daftar cagar budaya dalam Peraturan Daerah no. 5 tahun 2005 tentang pelestarian Lingkungan Cagar Budaya.

MELINDUNGI CAGAR BUDAYA

Upaya melindungi cagar budaya di Surabaya bukanlah hal baru. Meskipun hasil akhirnya, upaya itu selalu berujung ketidakjelasan. Pada jaman kolonial misalnya, perlindungan cagar budaya secara nasional pernah diatur dalam Monumenten Ordonantie no.19 tahun 1931 yang kemudian diubah menjadi Monumenten Ordonantie no.21 tahun 1934.

Agaknya, peraturan itulah yang diakomodasi dalam Undang-undang no.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Berturut-turut muncul Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1993 dan dikuatkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang Penelitian dan Penetapan Cagar Budaya dan/atau Situs.

Semangat yang sama dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dengan mengeluarkan SK Walikota tentang 61 Bangunan di Surabaya yang harus dilestarikan. SK itu terbit dahun 1996. Setelah itu, dikuatkan oleh Perda no.5 tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Atau Lingkungan Cagar Budaya. "Awalnya saya positif thingking, tapi kenyataannya, masih saja ada gedung
tua yang digusur untuk didirikan ruko," kata Dukut.

Satu peristiwa penting yang sempat mencuat adalah kasus dibongkarnya gedung Stasiun Semut (dulu bernama Stasiun Spoor Semoet dan RS.Mardi Santoso. Dua bangunan yang sejak jaman kolonial sudah ada itu rencananya akan digunakan sebagai pertokoan. "Yang tersisa kini hanya bangunan depannya saja," kata Dukut.

Mengedepannya kepentingan ekonomi adalah salah satu sebab digusurnya bangunan-bangunan tua. Kondisi di Jalan Tunjungan dan Darmo Surabaya menunjukkan hal itu. Apalagi ada asumsi, gedung tua itu memunculkan kesan kotor dan rusuh. Kalau dirawat pun, biaya lebih mahal dibandingkan merawat gedung modern.

"Kalau alasan-alasan itu muncul, akhirnya terjadi pembenaran atas pemugaran gedung-gedung bersejarah itu," ungkap Kadaruslan, budayawan Surabaya. Kadarruslan mencontohkan dibongkarnya RS.Simpang dan taman bunga dipinggir Sungai Kalimas, diganti dengan Delta Plaza (kini Plaza Surabaya) plus Monumen Kapal Selam (Monkasel). "Orang tidak menyadari, taman bunga di samping RS. Simpang itu adalah salah satu terapi bagi pasien
RS," kenangnya.

TEMPAT WISATA NOSTALGIA

Dalam sebuah kesempatan, seorang pakar bangunan kuno asal New Orleans AS, Patricia H Gay, pernah menyarankan untuk menjadikan bangunan kuno di Surabaya sebagai wisata sejarah sebuah kota. Dengan kata lain, menggabungkan nuansa lama dengan modenrisasi. Menurut Patricia, Surabaya memiliki potensi untuk itu.

Hal yang sama juga dilakukan di New Orleans. Kota eksotik itu kini menjadi salah satu kota wisata favorit di di dunia, hanya karena menyajikan bangunan kuno bersejarah yang ditata secara apik. "Jika anda kehilangan bangunan kuno di kota anda, itu sama dengan anda kehilangan identitas anda," katanya dalam sebuah forum di Institut Negeri Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya.

Hal itu disetujui oleh Kadarruslan. Dalam sebuah kunjungan Putri Beatrix Belanda di Surabaya misalnya, kata Kadarruslan, justru mengunjungi bangunan-bangunan tua yang ada di Surabaya. Termasuk kampung-kampung lama yang tersebar hampir di seluruh kota Surabaya. "Dia ingin tahu, bagaimana sih kota yang sempat membuat pasukan penjajah itu kalah,..haha," katanya.

Karenanya, Kadarruslan dan beberapa sesepuh kota didukung seniman se Surabaya berencana untuk mengirim Petisi Kota Surabaya kepada Walikota Surabaya. Dalam petisi itu mereka mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya untuk tidak menghilangkan identitas kota Surabaya dalam pembangunannya. "Jangan sampai Surabaya hanya menjadi kota zombie," tegasnya.

Identitas kota yang dimaksud dalam petisi itu adalah bangunan bersejarah, kampung-kampung kuno hingga tradisi-tradisi lokal yang sekarang sudah mulai hilang. Salah satu kampung bersejarah yang masih ada adalah kampung Peneleh, Surabaya. Di kampung ini berdiri rumah HOS Cokroaminoto, pahlawan nasional yang juga guru dari Presiden Pertama RI, Soekarno.

Gaji Wartawan, Problematika Dan Solusinya

Independensi dunia pers di Jawa Timur, khususnya Surabaya, kembali diuji. Secara terbuka DPRD Surabaya mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebanyak Rp.300 ribu perbulan untuk 30 media, sebagai dana “menggaji” wartawan. Sebuah langkah yang sangat melecehkan etika profesi wartawan!

Kabar memprihatinkan itu terdengar Selasa (23/05) lalu. Dalam pertemuan dengan 15 wartawan dari berbagai media di Surabaya, Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf mengatakan DPRD Surabaya menganggarkan dana untuk wartawan sebagai kompensasi peliputan. Jumlahnya tidak main-main, Rp.300 ribu/bulan untuk 30 wartawan atau Rp.108 juta/tahun. Dana itu akan diberikan usai forum konsultasi antara DPRD Surabaya dan wartawan yang biasa meliput di sana. Sebagai realisasinya, “gaji” pertama wartawan itu diberikan Selasa lalu. Tidak semua wartawan yang hadir menerimanya (Kompas, Rabu(24/05)).

Ada banyak prespektif yang bisa digunakan untuk menilai langkah gegabah DPRD Surabaya itu. Penilai pertama adalah pelanggaran konstitusional. Dalam hal ini adalah pelanggaran pada UU No.40 tahun 199 tentang Pers. Simak saja pertimbangan Presiden RI tentang UU Pers pada poin C yang mengatakan: Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Kalimat “bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun” adalah kalimat terpenting. Dengan bahasa lain, kata “campur tangan” yang tertulis itu berarti upaya-upaya pihak di luar pers yang berakibat tidak berjalannya asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers. Seperti kita ketahui peran pers salah satunya adalah melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan publik (Media: Pilar IV Demokrasi, terbitan SEAPA, DEWAN PERS dan FRIEDRICH EBERT STIFTUNG 2002). Bagaimana bisa pengawasan dan kritik bisa berjalan bila suap diterima setiap bulan?

Prespektif kedua adalah langkah DPRD Surabaya (yang diamini oleh beberapa wartawan Surabaya) itu menginjak-injak Kode Etik Jurnalistik Universal dan Kode Etik Jurnalistik 2006 Dewan Pers yang disepakati oleh 29 organisasi pers dari seluruh Indonesia. Hal itu termaktup pada Pasal 6 yang berbunyi Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran kata “penyalahgunaan profesi dan suap” dari pasal ini adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi, dan menerima segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Nah, yang terjadi di DPRD Surabaya jelas merupakan upaya pengambilan keuntungan pribadi atas profesi jurnalistik. Dalam prespektif yang lebih luas, jelas DPRD Surabaya mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat atas kepercayaannya menjadi wakil rakyat yang harus berpikir untuk rakyatnya. Ini pelanggaran paling berat.

Upaya DPRD Surabaya untuk “menggaji” wartawan-yang juga diamini oleh beberapa wartawan- mengingatkan kembali pada wacana peran pers, terutama pers lokal dalam mengawal demokratisasi. Cita-cita membangun pers agar lebih profesional pasca kejatuhan Rezim Soeharto berjalan terseok-seok. “Penyakit” lama pers yang gejalanya berupa mentalitas menerima suap berbentuk amplop/ucapan terima kasih/uang bensin tetap ada. Dukungan pada kelompok politik tertentu hingga tindakan oportunistis dengan memanfaatkan momentum tertentu (seperti iklan pergantian pejabat sampai pemerasan) masih terasa.

Belum lagi kalau bicara soal kesejahteraan. Kecilnya gaji dan tidak dipenuhinya hak wartawan mendapatkan jaminan sosial, seakan membuat kesejahteraan wartawan sebagai cita-cita yang sulit terealisasi. Sementara setiap hari, wartawan terjepit dengan kewajiban untuk menyetor sejumlah berita. Di sisi lain, tidak meratanya pemahaman masyarakat atas fungsi pers dan aturan main untuk menyelesaikan sengketa dengan media, memunculkan tindakan-tindakan kekerasan pada wartawan (kasus pemukulan wartawan di UPN Veteran Jawa Timur). Masih saja kita lihat ada masyarakat yang meluruk kantor media, mengancam wartawannya hingga dalam titik tertentu terjadi pembunuhan, seperti kasus pembunuhan Herlyanto, wartawan freelance dan Delta Post Probolinggo. Kondisi itu memposisikan wartawan sebagai sosok yang “sendirian” dalam memperjuangkan nasibnya.

Bagi wartawan, ada beberapa langkah internal dan eksternal yang bisa dilakukan untuk menyiasati kondisi itu. Secara internal, wartawan harus mampu memberdayakan diri sendiri. Dalam lingkup kecil, upaya untuk meningkatkan kemampuan jurnalistik dan pengetahuan adalah hal mutlak. Secara tidak langsung, hal ini adalah upaya untuk menaikkan “harga” wartawan. Dalam logika sederhana, seorang wartawan yang pintar akan banyak diincar oleh perusahaan-perusahaan yang lebih baik.

Peningkatan posisi tawar dengan perusahaan juga bisa dilakukan dengan membangun serikat pekerja pers. Langkah ini sering dipandang miring oleh perusahaan pers, dan dinilai sebagai kelompok berpotensi konflik tinggi. Padahal tidak demikian. Serikat pekerja adalah organisasi yang menjembatani kepentingan perusahaan kepada wartawan atau sebaliknya. Melalui serikat pekerja ini, perusahaan mampu membuat peraturan-peraturan secara adil dengan mempertimbangkan kepentingan semua karyawan, termasuk wartawan.

Selain itu, membangun kekuatan komunal antar wartawan, entah itu dalam forum-forum diskusi atau tergabung dalam organisasi profesi juga penting. Ujung dari langkah ini adalah upaya membangun jaringan komunikasi dengan kelompok lain. Bukan tidak mungkin, cara ini akan membuka kesempatan meningkatkan profesionalisme.

Pembangunan eksternal pada prinsipnya adalah membangun persepsi yang sama tentang fungsi, tugas dan kewajiban pers. Seperti kita tahu, pers bertugas menginformasikan, mendidik dan menghibur masyarakat melalui karya jurnalistiknya. Benang merah dari hal ini adalah karya jurnalistik. Hanya berita! Maksudnya, interaksi wartawan dengan nara sumber semata-mata urusan berita, tidak lebih. Wartawan harus menegaskan hal ini terus menerus agar masyarakat di luar pers pun memahaminya. Hingga tidak ada lagi lembaga pemerintah atau narasumber yang menyediakan atau menganggarkan uang amplop untuk wartawan.

Posisi wartawan yang mandiri (baca: independen) adalah mutlak, sekaligus problem terberat, karena pihak lain selalu berupaya untuk membongkar idependensi dengan iming-iming suap dalam berbagai bentuk. Solusinya, menjaga hubungan dengan narasumber sebatas hubungan profesi.