Monday, April 10, 2006

Osing, Suku Yang Terasing di Tengah Modernisasi

Lamat-lamat, alunan musik tradisional membelah malam di Kampung Suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kota Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (07/03) malam. Suara alat musik tradisional gambang, kenong, gong, angklung bertalu-talu berpadu dengan syair lagu khas berbahasa Suku Osing. "Baronge wis mangkat, singayo padha nonton (Pertunjukan Barongnya sudah dimulai, ayo kita lihat)," kata Bik Karti,50, wanita penjaga warung pada The Jakarta Post dalam bahasa Osing.

Malam itu, sebuah keluarga yang tinggal di kaki Pegunungan Ijen menggelar pertunjukan Barong sebagai salah satu rangkaian upacara perkawinan. Ratusan penduduk warga Kemiren dan desa-desa sekitarnya, seperti Desa Kinjo dan Desa Boyolali mendatangi rumah di tengah persawahan itu. Anak-anak dan orang dewasa berbaur di pinggir jalan dan pematang sawah, menikmati olah tari dan lagu yang dimainkan oleh kelompok Trisno Budoyo.

Suku Osing adalah salah satu suku minoritas yang hingga saat ini masih eksis di Jawa Timur. Suku itu menyebar di beberapa tempat di Kota Banyuwangi, 300 KM dari Surabaya. Di Banyuwangi terdapat tiga kelompok etnis, Osing, Jawa dan Madura. Terutama di desa Kemiren, Banyuwangi Barat. Di desa yang berjarak tujuh kilometer dari pusat kota berpenduduk 1,4 juta jiwa itu berdiam 2,4 ribu jiwa warga Suku Osing. Keturunan Suku Osing juga berdiam di Desa Aliyan, 14 KM dari pusat Kota Banyuwangi. Di desa itu berpenduduk 4,8 juwa itu, hampir separuhnya merupakan keturunan Suku Osing.

SEJARAH KELAM

Suku yang terkenal dengan dialek dan bahasa Osing itu konon adalah keturunan langsung dari Kerajaan Blambangan, salah satu kerajaan kecil di Jawa Timur yang hadir di sekitar abad ke 18. Kerajaan yang didirikan oleh Raja Wiraraja itu adalah bagian dari Kerajaan Majapahit. Setelah Majapahit runtuh, wilayah Kerajaan Blambangan menjadi rebutan kerajaan kecil di Bali, Pasuruan dan Mataram Islam.

Belum lagi usai konflik perebutan kekuasaan itu, daerah Blambangan yang terkenal subur itu (Blambangan dari kata Balumbung atau daerah Lumbung Padi-red) menjadi sasaran penjajah Belanda melalui VOC-nya. Jepitan sejarah ini yang akhirnya membuat masyarakat Blambangan menjadi resisten terhadap kekuasaan di luar Blambangan. Muncullah istilah Osing atau Using yang artinya "tidak berpihak".

Kegigihan VOC untuk menguasai Blambangan mendapatkan perlawanan dari tokoh Blambangan, Mas Rempeg yang dipercaya sebagai titisan raja Blambangan Pangeran Agung Willis. Meski akhirnya pemberontakan Mas Rempeg itu bisa dikalahkan oleh VOC, namun perang itu mampu menewaskan tokoh VOC Letnan Van Shaar, Mayor Gobie's dan Letnan Kornet Tienne. Di pihak Blambangan, perang besar di tahun 1771-1772 itu membuat penduduk Blambangan mengungsi ke kaki-kaki gunung dan menyeberang ke Pulau Bali, dan bertahan sampai sekarang.

Entah mengapa, sejarah suram yang dirasakan oleh keturunan Blambangan seakan terus berulang menimpa masyarakat Suku Osing dan wilayah Banyuwangi pada umumnya. Ketika tahun 1965 misalnya, pasca pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI), penduduk di daerah yang berbatasan dengan Pulau Bali ini banyak menjadi korban. Sebagai catatan, lagu Genjer-Genjer yang sering dinyanyikan anggota PKI, adalah ciptaan warga Banyuwangi.

Begitu juga ketika di tahun 1998, ketika tiba-tiba tersiar isu ilmu hitam/santet. Warga Osing dan warga Banyuwangi yang dikenal piawai ilmu kanuragan/kesaktian menjadi sasaran pembunuhan. Diperkirakan ada 150 orang yang dituduh sebagai dukun santet dibunuh oleh segerombolan orang berpakaian ala ninja. "Banyaknya peristiwa itu yang membuat orang Osing makin terpinggirkan," kata Hasnan Singodimayan,75, salah satu tokoh Osing pada The Jakarta Post.

KEBANGKITAN YANG TERSEOK

Semua sejarah kelam itu coba dikubur pada tahun 2002. Bertepatan dengan Ulang Tahun Banyuwangi ke 232, Bupati Banyuwangi ketika itu, Syamsul Hadi membuat langkah membangkitkan tradisi Suku Osing di kota itu. Seperti menjadikan bahasa Osing sebagai bahasa resmi daerah dan diajarkan di sekolah. Juga mengganti lambang kota yang awalnya Ular Berkepala Gatotkaca diganti Penari Gandrung Khas Osing.

Awalnya, upaya untuk membangkitkan keosingan di Banyuwangi disambut gembira oleh masyarakat setempat. Bahasa Osing yang awalnya hanya digunakan oleh komunitas Osing, mulai banyak digunakan oleh masyarakat Banyuwangi lain. Hasan Ali, salah satu tokoh Suku Osing sudah membuat kamus khusus bahasa yang karakter bahasanya dekat dengan bahasa Jawa kuno dan bahasa Bali dengan pengucapan kata "sing". Meskipun ada perbedaan mencolok dengan tidakadanya perbedaan kata dalam kasta tertentu, seperti yang ada di bahasa Jawa dan Bali.

"Semakin banyak orang Banyuwangi yang menggunakan bahasa Osing, karakter Osing pun semakin kentara," kata Hasnan Singodimayan. Pagelaran-pagelaran seni rakyat Osing pun digelar sebagai pertunjukan resmi setiap acara nasional yang diadakan di Banyuwangi. Seperti diketahui, suku ini memiliki produk budaya yang sangat beragam.

Mulai kesenian yang berhubungan dengan siklus kehidupan (Pitonan/hamil hari ke tujuh, Colongan, Ngleboni, Angkat-angkat/Perkawinan), kemasyarakatan (Rebo Wekasan/pemberian sesaji kepada roh halus, Ndok-Ndogan/Mauludan, Kebo-keboan/Penyambuh Panen) hingga tari-tarian. Budayawan Jawa Timur Ayu Sutarto mencatat ada 32 acara budaya yang dimiliki Suku Osing. Delapan belas diantaranya asalah kesenian.

Namun di balik muncul penolakan-penolakan yang bersifat sporadis. Khususnya dari daerah yang etnis Jawa dan Maduranya lebih mendominasi. "Ada beberapa sekolah yang menolak memasukkan Bahasa Osing sebagai kurikulumnya," kata seorang guru yang mengajar di Banyuwangi Selatan dan enggan disebutkan namanya pada The Jakarta Post.

Hal senada dikatakan Ahmad Fauzi,24, pemuda keturunan Osing yang saat ini bekerja sebagai penyiar radio berbahasa Osing di Banyuwangi. Menurutnya, para pemuda Osing saat ini banyak yang mulai meninggalkan kebiasaan berbahasa Osing. "Mereka memilih untuk berbahasa Indonesia atau bahasa dialek Jakarta dari pada Osing," kata Fauzi pada The Jakarta Post.

Bahkan, Fauzi yang tinggal di desa Osing kawasan Desa Kalipuro itu merasakan banyaknya kesenian rakyat yang hilang. Padahal kesenian rakyat yang hilang itu banyak melibatkan pemuda Osing. "Seperti Angklung Carok ("pertempuran" pertunjukan Angklung) yang biasa dimainkan oleh pemuda, kini tidak ada lagi, juga Jaranan yang biasa digelar saat peringatan 17 Agustus, kini tidak ada lagi," kenangnya.

Di wilayah yang dikenal sebagai pusat Suku Osing pun, seperti Desa Kemiren, atmosfir keosingan pun tidak lagi kental. Dalam pengamatan The Jakarta Post, saat ini semakin sedikit rumah-rumah adat Osing di wilayah itu. Osing memiliki rumah khas berbentuk Tikel Badung, Baresan dan Cerogan. Rumah-rumah adat itu seluruhnya terbuat dari kayu, tanpa menggunaan paku dan semen.

Desain rumah-rumah itu menunjukkan betapa Suku Osing menjunjung tinggi hubungan sosial. Seperti adanya "ampiran" di depan rumah yang berfungsi sebagai tempat mengundang siapa saja yang lewat di depan rumah itu. Bahkan, di bagian dapur rumah adat Osing ada "plonco"/meja lebar dari anyaman bambu yang digunakan untuk makan bersama keluarga dan tamu.

Aekanu Hariyono dari Dinas Pariwisata Banyuwangi mengakui selama ini ada kebijakan yang tidak tepat dalam penanganan Suku Osing. Terutama bagaimana pemerintah memperlakukan Suku Osing. Seperti menetapkan Desa Kemiren sebagai desa wisata. Secara tidak langsung hal itu sama dengan mengkotak budaya Osing.

"Seharusnya, justru membiarkan desa itu sebagai desa seperti sedia kala, tapi mendorong kesenian yang sering dilakukan warga setempat untuk terus dilakukan," kata Aekanu Hariyono pada The Jakarta Post. Karenanya, selama ini Aekanu membypass penanganan Suku Osing dengan mengajak para tahu langsung ke komunitas Suku Osing yang sedang melakukan upacara adat. "Intinya memanusiakan Suku Osing dengan membiarkan mereka tumbuh alami," terangnya.

Langkah untuk terus melestarikan nilai-nilai luhur budaya Suku Osing, tanpa meninggalkan jejak luka seperti yang sebelumnya terjadi, sampai saat ini terus dilakukan. Seperti puisi bernapas optimisme berbahasa Osing terkenal berjudul Padha Nonton (Saksikanlah):

"..Kembang Abang (Bunga Merah)
Selebrang Tiba Ring Kasur (Kutabur Jatuh di Kasur)
Mbah Teji Balenana (Mbah Teji/Tokoh Osing Kembalilah)
Sunenteni Ring Paseban (Aku tunggu di Perjamuan)
Ring Paseban (Di perjamuan)
Dhung Ki Demang Mangan Nginung (Saat Pembesar Desa Berpesta)
Selereng Wong Ngunus Keris (Seiring terhunusnya keris pusaka)
Gendham Gendis Kurang Abyur (Kegetiranpun takkan terasa)".

***

Bondowoso Bertarung Melawan Buta Aksara

Suasana Mushola (masjid kecil) di Desa Tangsil, Kecamatan Wonosalam, Bondowoso, Selasa (01/02) malam itu tampak meriah. Tempat yang sehari-harinya digunakan untuk beribadah umat muslim setempat itu kali ini digunakan sejumlah 20 ibu-ibu warga sekitar untuk belajar membaca. Sambil duduk bersimpuh, ibu-ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh tani dan pedagang kaki lima itu menulis satu demi satu huruf abjad. "Jangan sampai salah, huruf "p" itu bulatnya di atas, kalau buruf "b" bulatnya di bawah," kata Edi Sutrisno, petugas Polsek Wonosari yang malam itu menjadi tutor relawan. "Iyaaa,.." jawab ibu-ibu itu serentak, sambil terus menulis.

"Kalau sudah selesai, mari kita belajar membaca,..sudah apa belum?" tanya Edi. "Sudah pak," jawab ibu-ibu itu sambil menghentikan aktivitasnya dan mulai memperhatikan papan tulis kapur berukuran 1x1 m yang ada di depan mereka. Edi pun mulai mengeja kata demi kata, diikuti oleh seluruh ibu-ibu. Sesekali mereka tertawa ketika ada kata-kata yang dianggap lucu. "KU,..DA,..LA,..RI dibaca apa?" tanya Edi. "KUDA LARI,.." jawab mereka. "Lho,..kalau kudanya lari ya dikejar," celoteh salah satu ibu, disambut tawa renyah ibu-ibu yang lain.

Dirasa cukup, Edi meminta salah satu ibu untuk maju dan menuliskan namanya di papan tulis. Dengan malu-malu, seorang ibu bernama Sariye pun maju dan pelan-pelan menuliskan namanya. Meskipun huruf-huruf tampak tidak jelas, namun Sariye yang tidak pernah mengenyam pendidikan itu pun berhasil menulis namanya. "Wah,..kalau sudah pinter seperti ibu Sariye, bisa nulis SMS lho," celoteh salah satu ibu disambut tawa panjang.

Gambaran di Kecamatan Wonosari, Bondowoso, Selasa (01/02) malam ini adalah satu dari 2000-an kelompok belajar pemberantasan buta aksara di Kota Bondowoso, Jawa Timur. Apa yang dilakukan kota berpenduduk 720 juta jiwa itu bukan tanpa alasan. Jawa Timur adalah provinsi di Indonesia yang memiliki jumlah warga buta huruf paling banyak. Urutan kedua disusul Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hal itu dikatakan Menteri Pendidikan RI, Bambang Sudibyo di Surabaya, Jumat (13/01) lalu.

Menurut Bambang Sudibyo, dari 34 juta penduduk Jawa Timur, 29,2 persen atau sekitar 1,6 juta jiwa di antara tidak mengerti baca, tulis dan berhitung (calistung). "Jawa Timur terbanyak dalam buta aksara, sekitar 29,2 persen dari seluruh penduduk Jatim, disusul Jateng dan Jabar," kata Bambang Sudibyo. Karena itu, Bambang meminta pemerintah provinsi Jawa Timur untuk berkonstrasi dalam pemberantasan buta aksara, sebagai bagian dari program pemberantasan buta aksara nasional. Untuk program itu, pemerintah menyediakan anggaran Rp175 M -Rp.1 trilyun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) mendatang.

Yang menarik, meskipun Jatim menempati urutan teratas dalam jumlah penderita buta aksara, tapi di salah satu kota di provinsi itu, Bondowoso juga merupakan kota dengan metode pemberantasan buta aksara terbaik di Indonesia. "Bondowoso melakukan proses pemberantasan buta aksara yang bagus dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat," kata Bambang memuji pelaksanaan pemberantasan buta huruf di kota berjarak 200-an KM dari Surabaya itu.

Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Bondowoso, Syarif Oesman hanya tersenyum ketika dikonfirmasi mengenai hal itu. Meski berterima kasih dengan penghargaan Menteri Pendidikan, tapi menurutnya, terobosan yang dilakukan di Bondowoso itu hanya sebagai upaya mengatasi problem di masyarakat. "Apa yang kami lakukan hanya mencari solusi dari banyaknya kemiskinan di Bondowoso, dan menurut kami hal itu bisa diselesaikan lewat pemberantasan buta aksara," katanya, pada The Jakarta Post.

Bondowoso adalah salah satu kota termiskin di Jatim. Dari 720,1 ribu jiwa penduduk kota itu, 246,3 ribu jiwa diantaranya hidup di bawah garis kemiskinan. Faktor kemiskinan itu juga yang akhirnya membuat tingkat pendidikan di kota ini jauh tertinggal. Dari penduduk usia 15-44 tahun yang berjumlah 350 ribu jiwa misalnya, 53 ribu diantaranya menderita buta aksara. Begitu juga dengan penduduk usia 45 tahun keatas yang berjumlah 189,8 ribu jiwa, 111 ribu diantaranya tidak mengenal calistung. Jumlah total penderita buta huruf di kota itu adalah 164,8 ribu jiwa yang tersebar di 20 kecamatan.

Kondisi geografis yang berbukit dan bergunung-gunung menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat pendidikan di Bondowoso. Belum lagi tingkat kemiskinan yang tinggi, membuat masyarakat kota yang terapit pegunungan itu lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan fisik ketimbang pendidikan. "Tidak heran banyak sekali penduduk Bondowoso yang lebih memutuskan berhenti sekolah dan menikah pada usia dini, setelah itu bekerja sebagai petani," kata Syarif Oesman pada The Post. Belum lagi persoalan kurangnya jumlah guru yang mengajar di Bondowoso. "Saat ini ada terdapat 7318 guru yang mengajar di Bondowoso, kekurangannya sekitar 3 ribuan guru," jelasnya.

Efek yang bisa dirasakan dari kondisi itu adalah sulitnya pemerintah mensosialisasikan program pembangunan. Termasuk program peningkatan hasil pertanian di Bondowoso. Misalnya saja, ketika pemerintah ingin meningkatkan pendapatan petani dengan pemberian pupuk dan obat-obatan untuk tanaman persawahan. Tapi karena kebanyakan petani tidak bisa membaca, maka pemberian pupuk dan obat itupun tidak sesuai dosis. Hasilnya, peningkatan hasil petanian pun gagal.

Atas kondisi itulah, Bupati Bodowoso Mashoed mengumpulkan seluruh aparatur pemerintahan termasuk Kepala Kecamatan dari seluruh Bondowoso. Dalam pertemuan itu Mashoed memerintahkan seluruh Kepala Camat untuk mendata seluruh jumlah penduduk yang buta aksara. Tercatat terdapat Kecamatan Cerme dan Kecamatan Binakal tercatat sebagai kecamatan berpenduduk terbanyak buta aksara dengan 4886 dan 4156 jiwa. "Atas dasar survei itulah, diputuskan adanya gerakan pemberantasan buta huruf di empat kecamatan, Binakal, Wonosari, Grujukan dan Pajekan sebagai pilot project pemberantasan buta aksara," jelas Syarif Oesman.

Seluruh elemen masyarakat, mulai Pegawai Negeri Sipil (PNS), TNI/Polri, Perangkat Desa, Muslimat/Fatayat NU, Aiyiah, tokoh masyarakat hingga aktifis LSM dikerahkan untuk menjadi tutor relawan gerakan pemberantasan buta aksara. Tempatnya pun menggunakan balai desa, mushola hingga rumah penduduk. Pemerintah Kota Bondowoso mengajukan anggaran APBD 2006 sebanyak Rp. 2 M untuk pemberantasan buta aksara. "Sejak program ini dicanangkan pada Agustus 2005 hingga sekarang, Alhamdulillah banyak penduduk yang bisa membaca, kami yakin, tahun 2007 Bondowoso akan bebas buta aksara," kata Syarif Oesman.

Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur, Dhaniel Rosyied mengatakan untuk menghapus buta aksara di Jatim harus terlebih dahulu mengurangi pendidikan formalistik dan menggantikan dengan bentuk pendidikan berbasis ketrampilan. Karena pendidikan berbasis ketrampilan mampu membuat masyarakat merasa perlu bersekolah karena membutuhkan ketrampilan untuk bekerja. "Selama ini, masyarakat merasa sekolah tidak perlu karena hanya mendapatkan ilmu, dan bagi orang miskin, ketrampilan lebih penting daripada ilmu," kata Dhaniel pada The Post.

Namun, harus diingat, pendidikan ketrampilan itu harus disesuaikan dengan karakter masyarakat setempat. Misalnya di lingkungan petani, ketrampilan yang diajarkan berbeda dengan ketrampilan di lingkungan nelayan. Untuk itu, Dhaniel menyarankan disiapkan tenaga guru yang juga memahami persoalan ketrampilan yang dimaksud. "Tenaga guru yang bisa mendidik secara formal dan ketrampilan tidak hanya menghapus buta aksara, tapi sekaligus meningkatkan keterampilan masyarakat dan pada akhirnya bisa berkarya," katanya.***

"INGIN BISA NULIS SMS," KATANYA

Hujan deras yang mengguyur Kota Bondowoso, Jawa Timur, Selasa (01/02) malam, tidak menyurutkan niat Suharna,45, untuk datang ke Sekolah Dasar (SD) Tangsil Wetan, Kecamatan Wonosari, Bondowoso. Di salah satu ruangan SD itulah, setiap Selasa, Rabu dan Kamis digunakan warga sekitar untuk kelompok belajar pemberantasan buta aksara. "Assalamualaikum,.." sapa perempuan itu begitu memasuki ruangan kelas berukuran 7x7 m itu, dibalas salam tujuh ibu-ibu yang sudah terlebih dahulu datang di kelas itu.

Setelah melipat payung lusuh yang dibawanya, perempuan berdarah Madura itu masuk kelas. Malam itu, Suharna duduk di bangku terdepan, di samping pintu. Sambil membetulkan letak jilbabnya, nenek satu cucu itu mengeluarkan buku tulis, pensil dan penghapus yang dibawanya, dan ditaruh di atas meja. "Malam ini kita akan belajar merangkai kata kan?" tanyanya dalam logat Madura kepada salah satu ibu yang duduk di sampingnya. "Iya,.. kemarinkan sudah membuat BA,..BI,..BU,.."jawab sang ibu. Suharna mengangguk dan membuka-buka buku tulisnya.

Suharna adalah satu dari 47,6 ribu warga Bondowoso yang saat ini terlibat dalam gerakan pemberantasan buta aksara. Setiap minggunya, Suharna dan kelompok belajarnya yang terdiri dari 17 ibu-ibu yang kebanyakan domisili di sekitar lokasi pertemuan, bertemu di SD Tangsil Wetan untuk belajar baca, tulis dan berhitung (calistung). "Biasanya, kami datang dan tujuh malam dan pulang jam sembilan malam," kata Suharna pada The Jakarta Post.

Apa yang dilakukan itu, menurut perempuan yang sehari-harinya bekerja sebagai pedagang kaki lima (PK5) itu berangkat dari keinginannya sendiri. "Saya sama sekali tidak pernah sekolah, makanya tidak bisa membaca sama sekali, kadang saya bingung kalau harus pergi ke kota sendirian,..nggak tahu jalan," katanya. Karena itulah, saat diumumkan akan ada kelas belajar membaca, Suharna berinisiatif untuk ikut. "Enak, belajar malam hari sama ibu-ibu yang lain," katanya sambil tersenyum.

Berkenalan dengan huruf dan angka, bagi Suharna dan kelompoknya, ibarat mengenal hal yang sama sekali baru. Dia mengaku sulit mengingat-ingat sati demi satu huruf 26 huruf abjad yang diperkanalkan. "Yang paling sulit mengingat-ngat huruf "w", "a" dan "e", huruf-huruf itu sepertinya sama bentuknya," katanya sambil tersenyum. Namun, Suharna mengaku bersyukur tutor yang mengajarinya tergolong sabar. "Gurunya baik dan sabar," katanya sambil berbisik.

Meski senang belajar membaca dan berhitung, Suharna mengaku agak bersedih karena suami yang sehari-harinya beternak bebek, serta anak perempuannya, tidak bersedia ikut dalam kelompok belajar membaca. "Makanya yang ikut hampir semuanya adalah ibu-ibu, bapak-bapaknya malu, dan memilih untuk tinggal di rumah," kata ibu satu anak dan satu cucu ini. Padahal, menurutnya, belajar membaca itu sangat penting, disamping bisa mengurus surat-surat, dan bisa tahu banyak hal. "Dulu, waktu saya tidak bisa membaca, tidak bisa tanda tangan di KTP, pakai cap jempol," kenangnya.

Anak Suharna, Julirati,19, lebih memilih untuk tinggal di rumah dan mengurus anaknya. Meski tidak sempat melanjutkan sekolah ke bangku SMP, Julirati pernah bersekolah hingga kelas 6 SD. "Karena tidak punya uang untuk melanjutkan sekolah, Julirati memilih untuk kawin, dan sekarang sudah punya anak, Sutiawati (6)," kata perempuan bertubuh langsing ini.

Karena sadar dengan pentingnya bisa baca dan tulis, Suharna menginginkan cucunya, Sutiawati, untuk bisa membaca dan menulis. "Bisa membaca dan menulis itu ternyata penting, saya ingin cucu saya bisa sekolah,..nanti kalau cucu saya sudah besar kan bisa kirin SMS-an dengan saya," kata Suharna sambil tertawa. ***

Media Menggaet Untung Dari Pilkada

Dengan serius, Yuwana, anggota tim sukses salah satu kandidat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Surabaya, mengamati sebuah harian lokal Surabaya. Dengan cekatan, tangan mantan wartawan media cetak terbitan Jakarta itu membolak-balik halaman per halaman koran setebal 24 halaman itu. Sesekali, matanya memicing ketika membaca berita tentang pilkada, kemudian kembali membolak-balik halaman.

Tiba-tiba telepon seluler yang terselip di kantong celananya berdering. "Halo,..saya sendiri, begini,..saya mau memasang iklan calon pilkada di koran kamu, tapi saya minta penempatannya di bagian atas, selain itu saya tidak mau," kata Yuwana tegas, sembari mendengarkan lawan bicaranya berbicara. "Oke, sekarang kamu ketemu saya saja," katanya mengakhiri pembicaraan.

Pelaksanaan Pemilihan Kepala daerah (Pilkada) di Surabaya pada 27 Juni mendatang, membawa berkah tersendiri bagi media massa. Empat pasang kandidat yang Minggu (15/05) kemarin dirilis KPUD Surabaya, Alisjahbana-Wahyudin Husein (PKB), Bambang Dwi Haryono-Arif Afandi (PDIP), Erlangga Satriagung-AH Thony (PAN-PD) dan Gatot Sudjito-Benyamin Hilly (Golkar-PDS), bagaikan pundi-pundi uang bagi media massa. Terutama media massa cetak.

Mereka seakan berlomba menawarkan "paket hemat" sosialisasi atau iklan kampanye kepada empat pasangan kandidat, melalui tim sukses masing-masing. Data yang diperoleh The Jakarta Post dari sebuah sumber menyebutkan, hampir semua media massa cetak di Surabaya mengirimkan penawaran iklan. Tidak main-main, nilainya berkisar mulai Rp. 15 juta hingga Rp.300 juta untuk setiap paket yang ditawarkan.

Salah satu salinan surat tawaran kerjasama iklan kampanye yang didapatkan The Jakarta Post menyebutkan, dengan harga RP.300 juta, pasangan kandidat bisa mendapatkan berbagai fasilitas iklan. Mulai pemuatan semua berita aktivitas yang dilakukan kandidat, wawancara khusus hingga iklan satu halaman penuh. "Kami memberikan jaminan tidak akan memuat berita yang berisi black campaign pada kandidat yang bersangkutan," tulis salah pimpinan redaksi pada surat penawaran itu.

Bagi pasangan kandidat, sosialisasi melalui media massa adalah salah strategi yang harus dilaksanakan. Di samping efektif, berkampanye melalui media massa juga bisa menyentuh konstituen secara langsung. "Kami berpikir soal efektivitas media, karena itu kami mengambil tawaran itu, meskipun tidak semua," kata Djaka M tim sukses kandidat Erlangga Satriagung-AH Thony kepada The Jakarta Post.

Hal yang sama diungkapkan tim sukses Bambang Dwi Haryono-Arif Afandi yang secara khusus punya arsitek media massa. "Iklan di media massa itu perlu strategi, hal itulah yang kami lakukan selama ini," ujar Saleh Mukadar, ketua tim sukses. Salah satunya, dengan menghindari terlalu sering memasang iklan di media massa. Kalau toh beriklan, pilihan hari, halaman dan materi iklan-nya harus pas.

Strategi yang agak berbeda ditempuh oleh tim sukses dari Alisjahbana-Wahyudin Husein. Budiharto Tasmo, ketua tim sukses mengungkapkan pihaknya menolak semua tawaran iklan di media massa. Persoalan utamanya, keterbatasan dana yang dimiliki tim ini. "Kita tidak ada dana untuk beriklan di media massa," jelasnya.

Lebih jauh, Budiharto mengungkapkan, iklan di media massa tidak begitu efektif atau tidak lebih sebagai "alat pengingat" bagi masyarakat atas calon yang beriklan. "Kami lebih percaya dengan mekanisme loyalitas partai yang dibangun melalui personal sale, kalau sudah loyal, mereka akan tetap akan memilih pasangan itu," tegas Budi.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Sunudyantoro menilai, meski diatur dalam UU Pilkada, persoalan iklan di media massa memiliki banyak kelemahan. AJI Surabaya mengati banyaknya berita yang sebenarnya berupa iklan terselubung. "Sering kali kita temukan iklan yang tersaji dalam bentuk berita, ini jelas pelanggaran," katanya.

Apalagi, hampir setiap media massa memiliki halaman khusus tentang Pilkada. Bila dicermati betul, berita-berita yang disajikan lebih banyak berkisar tentang kegiatan para kandidat. "Tidak ada kritik, hanya wacana wacana tentang hal yang positif, apa bedanya dengan iklan? Hal ini malah membodohkan masyarakat pemilih," tegas wartawan media massa terbitan Jakarta ini.

Dhimam Abror Jurait, ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jawa Timur mengingatkan tentang perlunya menghidupkan firewall (dinding api) antara redaksi dan bagian iklan di media massa. Jangan sampai antara keduanya terjadi tindakan saling mempengaruhi. "Meskipun kandidat beriklan di sebuah media, bukan berarti fungsi kontrol redaksi berkurang," kata Abror.

Meski begitu, Abror memahami munculnya rasa ewuh pekewuh/ketidakenakan antara redaksi dan bagian iklan. Rasa ewuh pekewuh/ketidakenakan inilah yang pelan-pelan harus dikikis dengan mengingatkan kembali fungsi dan peranan pers.

Pengamat media dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Kacung Marijan mengatakan, di Indonesia tingkat efektivitas beriklan di media massa masih sangat kecil. Apalagi, kebanyakan iklan pada kandidat tidak secara gamblang menyebutkan tindakan riil yang akan dilakukan bila mereka terpilih.

"Di AS, yang tingkat iklan politik di medianya berisi materi yang lebih lengkap, efektivitasnya hanya 10-20 persen saja, bagaimana dengan di Indonesia," katanya. Karena itu, tidak mengherankan bila nantinya pemenang pilkada bukan kandidat yang sering beriklan di media massa.

Ketua Panwaslu Surabaya, Mahmud Suhermono mengatakan, pihaknya terus mengamati gerakan sosialisasi kandidat di media massa. Karena disinyalir, beberapa kandidat melakukan pelanggaran serius pencurian start kampanye. "Kami masih mempelajari, apakah iklan di media massa termasuk melanggar, kalau terbukti, maka ancaman pidana bisa dikenakan," tegasnya.***

Surabaya Menggagas Judi legal

Suasana agak berbeda tampak di lokasi permainan ketangkasan "M" yang terlerak di Surabaya pusat, Senin (18/07) malam lalu. Gedung yang biasanya hiruk pikuk dengan pengunjung berpakaian rapi itu kali ini sedikit senyap. Deretan mobil yang parkir di sekitaran gedung pun, tidak ada lagi. "Sejak berita tentang judi muncul, tamu jadi jarang kesini," kata seorang pekerja yang enggan disebutkan namanya pada The Post.

Isu pemberantasan judi kembali marak, sejak Kapolri Jend Polisi Sutanto mengintruksikan jajarannya untuk memberantas perbuatan terlarang itu sampai ke akarnya. Target pertama, operasi akan dilakukan di tiga kota besar, Jakarta, Medan dan Surabaya. "Kalau ada Kepala Polisi Daerah (Kapolda) yang tidak bisa mampu melakukan itu, akan diganti dengan kapolda yang mampu," tegas Kapolri Sutanto.

Sejak intruksi tentang pemberantasan judi itu dilakukan, banyak tempat judi di berbagai kota di Indonesia memilih untuk "tiarap". Meskipun dalam pengamatan The Jakarta Post, masih saja ada tempat judi yang nekad beroperasi.

Di Surabaya misalnya, ada belasan lokasi perjudian yang berkedok permainan ketangkasan yang tetap beroperasi. Sebut saja arena ketangkasan "M", "C" dan "PA" di salah satu plasa di Surabaya pusat. Belum lagi berbagai tempat ketangkasan di wilayah Simpang Dukuh, Kedungdoro, Mayjen Sungkono dan Sukolilo, Surabaya.

Meski dari luar, tampak seperti tidak ada aktivitas, namun tetap saja permainan ketangkasan yang menggunakan uang sebagai sarananya bisa dilakukan. "Yang bisa masuk hanya pelanggan yang benar-benar kami kenal, dan member khusus," kata seorang pelanggan yang pada beberapa malam masih menikmati permainan judi di arena ketangkasan "M".

Pemberantasan judi yang terkesan setengah hati itu menurut Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Ali Maschan Moesa adalah tindakan yang jauh dari semangat Kapolri Sutanto. "Keinginan untuk memberantas maksiat harus dilakukan secara total, tidak seperti sekarang ini," katanya pada The Jakarta Post.

Aktivitas perjudian di Jawa Timur terutama di Surabaya, kata Ali, sudah menjalar sampai keseluruh lapisan masyarakat. Mulai anak-anak, pelajar hingga pengusaha-pengusaha yang kerap kali bertaruh dengan uang yang tidak sedikit. "Kalau kenyataannya sudah seperti itu, apa bisa pemberantasan judi dilakukan hangat-hangat tai ayam (kadang serius, kadang tidak serius-red)," katanya.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, anak-anak dan pelajar pun bisa memanfaatkan judi jenis Dingdong, Mickey Mouse, Kino atau Kasino. Dengan memanfaatkan uang koin Rp.50,00 anak-anak itu bisa menghasilkan uang hingga Rp.60.000,00 dalam sekali permainan. Tidak hanya itu, sosok yang disebut-sebut sebagai bos judi Surabaya, FFD, dikenal dekat dengan beberapa pejabat di Surabaya dan terlibat dalam berbagai proyek pembangunan di kota ini.

Karena itu, Ali Maschan menilai perlu ada langkah strategis untuk benar-benar menghapus perjudian di masyarakat. "Kalau memang tidak bisa menghapus seluruh praktek perjudian, apa tidak lebih baik dibangun lokasi yang khusus untuk pejudi, kalau yang ingin bermain judi bisa ketempat itu, tentu saja dengan aturan yang ketat dan tegas," katanya.

Bagi Wakil Walikota Surabaya terpilih Arif Afandi, gagasan untuk membuat lokasi khusus perjudian itu bisa dilakukan di Surabaya. Di samping kondisi masyarakat yang masih bisa menerima perubahan, lokasi Surabaya yang berada di persimpangan lalu lintas laut mempermudah akses bagi wisatawan yang akan berkunjung di lokasi perjudian Surabaya.

"Sebenarnya, saya sudah berpikir soal itu, bahkan lokasinya pun sudah terbayang," katanya pada The Jakarta Post. Lokasi yang dimaksud, kata Arif adalah di lokasi Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura) yang terletak di Surabaya utara.

Arif menyadari ide membangun lokasi judi di Surabaya ini tergolong ide "gila". Namun, bila lokasi perjudian itu bisa terealisasi, uang pajak hasil perjudian itu bisa digunakan untuk membantu pelaksanaan pembangunan kota dan membantu rakyat miskin. "Para penjudi itu pasti tidak keberatan bila dipatok pajak besar, misalnya sampai 40 persen, nah,..uangnya bisa dimanfaatkan untuk pembangunan di Surabaya," jelasnya.

Meski begitu, Arif menilai hal itu tidak akan mudah dilakukan. Apalagi secara institusional secara tegas Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) melarang adanya perjudian di Indonesia. Seperti yang tertuang dalam pasal 303 tentang perjudian dalam bentuk apapun. "Kalau mau fair, harusnya ada perubahan konstitusi," katanya.

DPRD Kota Surabaya agaknya tidak sepakat dengan ide "gila" Arif Afandi. Sekretaris Komisi A DPRD Kota Surabaya Masduki Toha menilai pasal 303 KUHP jelas mengatur hal perjudian. Meski Toha mengakui sampai saat ini belum ada difinisi yang jelas tentang perjudian. "Karenanya DPRD Surabaya akan bertemu dengan kejaksaan, polisi dan dinas terkait untuk berbicara soal itu," jelasnya.***

Sampah Pun Berbuah Rupiah

Deru suara diesel dari mesin penghancur sampah sontak terdengar ketika Supardi,64, petugas tempat pembuangan sementara (TPS) kelurahan Jambangan Surabaya menyalakan mesin itu. Asap hitam pun keluar dari saluran knalpot, seiring dengan berputarnya pisau pemotong. "Sekarang waktunya kita memotong-motong sampah," kata Supardi pada The Jakarta Post, Senin(20/02) ini.

Diambilnya segebok daun dan batang jagung yang mengeras dari tumpukan sampah yang berserak di samping mesin, dan dimasukkan ke dalam ruang pemotong yang terletak dibagian atas mesin itu. Krakkk,..dalam sekejap limbah dari rumah tangga itu berubah wujud menjadi serpihan-serpian berukuran 1x2 cm. Secara otomatis, serpihan itu keluar di bawah mesin.

"Hasil rajangan (potongan) ini kemudian dimasukkan ke komposer, dalam waktu dua bulan sudah berubah menjadi kompos," kata Supardi. Kompos mentah itu kemudian dipanen, dan disaring menjadi kompos berukuran halus dan siap jual. "Satu kantong berukuran 1 KG, kompos dujual seharga Rp.600,00," katanya.

Dalam sehari, Supardi dan Suyadi,41, dua petugas TPS Jambangan, rata-rata mengumpulkan 2,5 ton sampah rumah tangga dari kelurahan Jambangan Surabaya. Setelah diolah, sampah-sampah itu bisa berubah menjadi 1 ton kompos siap jual. "Setiap panen, kurang lebih terjual Rp.600 ribu/2 bulan, uangnya digunakan untuk kebutuhan TPS, kalau ada sisa baru dibagikan kepada kami," kata Supardi.

Apa yang dilakukan Supardi adalah secuil gambaran program pengolahan sampah mandiri di kelurahan Jambangan, Surabaya. Program yang diprakarsai oleh Yayasan Unilever Peduli PT. Unilever, bekerja sama dengan Pemerintah Kota Surabaya dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sejak 2002 itu pada intinya bertujuan untuk mengurangi sampah langsung dari sumbernya atau dari rumah tangga.

"Masyarakat kami perkenalkan dengan konsep memilah sampah organik dan non organik langsung dari rumah," kata Okty Damayanti, General Manager Yayasan Unilever Peduli. Untuk sampah non organik biasanya langsung dijual kepada pemulung. Sementara sampah organik bisa langsung dihancurkan dengan menggunakan pisau dan dimasukkan ke dalam komposer yang disediakan khusus di setiap rumah di kelurahan Jambangan.

Komposer rumah tangga yang dimaksud hanya berupa ember sampah yang tertutup rapat, yang bagian atasnya diberi pipa setinggi 3 meter. Pipa ini adalah saluran bau tak sedap yang dihasilkan dalam proses pembusukan sampah itu. Di bagian samping bawah, diberi lubang untuk memanen kompos.
"Setiap hari, saya membuat sampah-sampah dari bahan masakan ke komposer itu," kata Supriyatun Jupri,44, warga Jambangan.

Meski prosesnya terlihat sederhana, namun cukup rumit dalam pelaksanaannya. Terutama untuk merubah kebiasaan masyarakat untuk memilah sampah. Apalagi masyarakat Jambangan terbiasa membuang sampah di sungai Berantas yang dekat dengan wilayah mereka. "Awalnya saya juga malas melakukan itu, memangnya saya pemulung," kenang Wiwik, 48.

Namun, saat masyarakat melihat hasil dari komposer dan hasil penjualan sampah non organik, pelan-pelan terjadi perubahan prilaku. Untuk masyarakat yang tidak memiliki cukup lahan untuk komposer rumah tangga, sampah yang sudah terpisah bisa dibuang ke TPS Jambangan.

"Kini, lingkungan di Jambangan jadi lebih asri, kali-kali pun tidak kotor dan mampet," kata Wiwik. Tanaman di kawasan itu pun tampak sehat akibat diberi kompos yang dihasilkan dari komposer rumah tangga itu. Bantaran kali Sungai Berantas, khususnya yang melintas di wilayah Kelurahan Jambangan pun lebih bersih.

Hasil yang paling membanggakan adalah diperolehnya penghargaan internasional Energy Globe Award 2005 dalam kategory Water untuk PT. Unilever atas pilot project di Kelurahan Jambangan. Menyisihkan 700 perusahaan dari seluruh dunia yang mengikuti program itu. "Meski diprakarsai PT. Unilever, ini kemenangan masyarakat Jambangan, semoga bisa mengurangi pencemaran di Surabaya," kata Walikota Surabaya Bambang DH yang bertekad mensosialisasikan program komposer di seluruh Surabaya.

Tingkat pencemaran air sungai di Surabaya oleh limbang domestik dan industri tergolong tinggi. Karena itu juga, intansi pengolahan air bersih di kota ini, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) hanya mampu menghasilkan air bersih. "Itu juga masih dibantu oleh air bersih dari sumber Umbulan, Pasuruan," ungkap Bambang DH.

Menteri Lingkungan Hidup (KLH) Rachmat Witoelar menilai, apa yang dilakukan masyarakat Jambangan harus ditularkan ke seluruh Indonesia. "Ini sangat penting, karena persoalan sampah juga dihadapi oleh kota-kota lain," kata Rachmad Witeolar. Rachmad juga akan melibatkan perusahaan lain yang memiliki program community development agar lebih melibatkan rakyat dalam persoalan menjaga lingkungan. ***

Malang Raya dan Lima TV Lokalnya

Warna meja bar "Agropolitan Cafe" belum semua tertutup dengan cat warna putih, biru dan merah bata. Lampu duduk yang harusnya terjajar rapi di atas meja pun masih berserak, terbalut kabel-kabel warna warni yang saling memilit. Beberapa petugas dekorasi lalu lalang merapikannya, sembari membubuhkan cat di bagian-bagian yang terkelupas.

"Mungkin setelah ini tampilannya bisa lebih menarik ya," kata Widarngresti, salah satu penyiar pada Rudy Kurniawan, Program Director acara "Agropolitan Cafe" yang siang itu mengomandani redekorasi setting panggung itu. Rudy mengangguk. Dengan cekatan laki-laki itu membantu salah satu petugas dekorasi yang kesulitan memasang salah satu bagian lampu.

Begitulah kesibukan yang tampak di studio luar Agropolitan Televisi (ATV) yang terletak di Jl. Sultan Agung, Batu, Jawa Timur, ketika The Jakarta Post mengunjunginya Jumat (25/08) siang ini. ATV adalah salah satu televisi lokal di wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang dan Kota Batu).

Selain ATV, ada empat televisi lokal lain yang melakukan on air di wilayah berjarak 90 KM dari Surabaya itu. Malang TV, Mahameru TV, Gema Nurani TV dan Batu TV. Di mata pengamat komunikasi Universitas Airlangga (Unair) perkembangan dunia broadcast di kota kedua di Jatim itu tergolong luar biasa. "Untuk ukuran kota kedua, itu luar biasa," katanya.

Belum lagi bila ditilik dari jumlah penduduk Malang Raya yang berjumlah.....ribu jiwa. Hal itu berarti, sebuah stasiun tv melayani.....ribu jiwa. Bukankah perbandingan yang luar biasa? "Mungkin ini jumlah televisi terbanyak di semua kota di Indonesia," kata Henry. Di Ibukota Jawa Timur Surabaya dengan penduduk jauh lebih banyak, saat ini hanya memiliki satu televisi lokal, Jawa Timur TV (JTV).

PROGAM TV LOKAL LEBIH DIMINATI

Proses pembangunan pertelevisian lokal di Malang Raya bisa menjadi catatan emas di Hari Nasional Televisi Indonesia 2005 yang jatuh pada 24 Agustus lalu. Diawali dengan pembentukan Batu TV pada pertengahan Maret tahun 2003 oleh seorang pengusaha asal kota Batu, Andri Hudiono. Ketika itu Andri yang memang sudah bergelut dengan dunia televisi sejak tahun 1998 berinisiatif memenuhi kebutuhan tayangan lokal.

"Saya coba membeli peralatan sederhana di toko elektronik, saya rakit sampai akhirnya mengudara pertama kali di tahun 2003," kata sosok dipercaya untuk mengurus pemancar antena reciever TV nasional di Malang Raya ini pada The Jakarta Post. Kreativitas Andri membuahkan hasil yang luar biasa.

Masyarakat Malang Raya yang sudah terbiasa dengan tayangan TV nasional pun pelan-pelan berubah melihat tayangan tv yang bermarkas di Bukit Oro-oro Ombo itu. "Apalagi ketika Batu TV menyiarkan siaran lokal, banyak yang suka," jelas Andri. Keberhasilan itu agaknya menular, beberapa bulan kemudian, berturut-turut hadir Agropolitan TV (ATV), Malang TV, Gema Nurani TV (GN TV) dan Mahameru TV.

Station Manager ATV, Hariyadi mengatakan, stasiun tv yang dipimpinnya sejak awal memposisikan diri sebagai sarana sosialisasi program Pemkot Batu. "Karena memang secara manajerial ATV berada di bawah infokom Pemkot Batu," katanya. Karena itulah, hampir semua acaranya difokuskan pada sosialisasi.

Meski begitu, dibanding semua TV lokal di Malang Raya, ATV tergolong paling inovatif. Dari 52 program siaran yang ditayangkan mulai pukul 09.00-23.05, sekitar 80 persen adalah hasil garapan kru ATV dan ditayangkan melalui pemancar berkekuatan 1 KW dengan radius 1000 km. "Bukannya promosi, ATV adalah TV lokal pertama dengan jumlah siaran garapan sendiri paling banyak dibanding TV lokal lain, silahkan anda buktikan," kata Hariyadi.

Dalam pengamatan The Jakarta Post, program yang dimiliki ATV memang beragam. Mulai acara anak-anak bertajuk Kreatif Anak, siaran berita dua bahasa (Inggris-Indonesia) bertajuk Agropolitan News hingga seni tradisional Campursari Live. Dialog santai ala Mataraman pun disajikan layaknya pertemuan di tengah sawah.

Kedekatan secara geografis itu pula yang membuat warga Malang menggemari tayangan lokal. Siti Kuwe, warga Kali Putih Malang adalah salah satu penonton setia tv lokal. Hampir setiap hari, perempuan yang sehari-hari berdagang jajanan khas Jawa Timur ini mengaku menonton siaran khas Malang. "Terutama kalau menyiarkan acara-acara yang terjadi di sekitar Malang, siapa tahu wajah saya muncul di televisi," kata Siti.

PROBLEM TENAGA KERJA

Karena banyaknya jumlah tv lokal, secara otomatis menyerap banyak pula banyak tenaga kerja bidang broadcast di Malang. Minimal, untuk satu stasiun TV menyerap 50-60 tenaga kerja. Hal itu dikatakan Henny Elvandari, Direktur Utama Mahameru TV pada The Jakarta Post. "Maksimal 68 orang yang akan bekerja di Mahameru TV," katanya.

Jumlah yang sedikit, bila dibanding tv di Jakarta, menurut Henny terkait dengan jumlah kue iklan yang tersedia di Malang. "Dari sisi harga, jelas jauh lebih kecil, sekitar Rp.150-500 rb tiap 30 detik, jauh lebih kecil dari harga iklan di tv nasional di Jakarta," katanya.

Hal yang sama dikatakan Station Manager ATV, Hariyadi. Berbagai tempat wisata di Malang yang diharapkan menjadi pasar iklan potensial, justru menolak untuk beriklan di tv lokal. "Mereka lebih memilih untuk beriklan di tv nasional, akhirnya kami punya strategi untuk menyabet iklan kecil," kata Hariyadi.

Yaitu iklan kios-kios kecil di pasar. Agaknya, omset iklan yang dihasilkan stasiun tv lokal tergolong fantastik. Mahameru tv misalnya rata-rata memperoleh Rp.3,2 M pertahun, sementara ATV mengaku mendapatkan Rp.100 juta/bulan.

Sayangnya, problem keuangan berimbas pada kesejahteraan pekerja tv lokal. Sumber The Post mengatakan rata-rata pekerja di stasiun tv lokal digaji Rp.400 ribu/bulan. Pendapatan yang kecil itu, menurut Bibin Bintiardi, Ketua Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Malang bisa mendorong pekerja untuk tidak profesional.

"Kalau diperhatikan, seringkali wartawan tv lokal kurang kualitatif dalam memilih berita, alasannya gaji mereka kecil," kata Bibin pada The Post. Belum lagi soal perizinan. Sampai saat ini Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur belum mengeluarkan selembar pun surat izin siaran dan izin frekuensi.***

Jember Bermimpi Menjadi Rio De Jeneiro

Udara dingin sontak menyeruak masuk, ketika Nadia membuka daun pintu rumahnya di Jl. Fatahillah Jember, Minggu (07/08) pagi. Beberapa pemuda bertelanjang dada dan bercelana pendek yang duduk di sofa lusuh dalam ruang tamu mendekapkan keduatangannya di depan dada sambil menggigil kedinginan.

Begitu juga beberapa gadis usia belasan tahun yang tampak berantakan karena riasan yang belum selesai. "Eh wartawannya, silahkan masuk, sorry berantakan kami harus mempersiapkan diri untuk acara nanti siang," kata gadis berusia 25 tahun itu.

Nadia adalah salah satu tukang rias yang juga leader group Spanyol yang akan berpastisipasi dalam Jember Fashion Carnaval (JFC) ke-4 yang digelar di Jember, Minggu (07/08) ini. Sejak dinyatakan lolos seleksi sebagai peserta JFC-4, dia bersama puluhan temannya serius mempersiapkan diri untuk berdandan khas Negara Spanyol.

Mulai belanja bahan pakaian plus peralatan tambahan seperti tongkat, tali warna-warni hingga rumbai-rumbai yang dibuat dari tali rafia. Kesibukan semakin padat menjelang hari H. "Dari Sabtu malam saya belum tidur untuk mempersiapkan ini," katanya pada The Jakarta Post sambil terus mengoleskan cat di tubuh (body painting) salah satu peserta.

JFC adalah sebuah event pagelaran busana yang diikuti sekitar 450 peserta. Selain jumlah peserta yang jauh lebih banyak dari pagelaran busana pada umumnya, catwalk-nya pun berupa jalan protokol yang ada di pusat kota Jember sepanjang 3,6 KM. Tak heran bila jumlah penonton pun diperkirakan hingga 100 ribu orang yang berdiri di sepanjang jalan protokol itu.

Vice President JFC Dynand Fariz menjelaskan, JFC berawal dari keinginan untuk menjadikan Jember sebagai Kota Wisata Mode Pertama di Indonesia. "Seperti Rio De Jeneiro yang juga ada festival busana, di Indonesia ada Jember Fashion Carnaval," ungkap Fariz.

Kekhasan acara yang sudah empat kali digelar di Kota Tembakau ini adalah tema busana yang ditampilkan yang berorientasi pada trend fashion dunia. Tahun ini, JFC mengusung tema Anachronic, Energetic, Cic Tonic, Mime Tic dan Striptic. "Busana dibagi menjadi kelompok Archipelago, Tsumani, Discontruction, Grand Prix, Egypth, Spain, England dan Caribbean," kata Fariz.

Pejabat Bupati Jember Sjahrazad Masdar mengatakan, cita-cita besar Kabupaten Jember itu jelas tidak akan mudah bisa terlaksana. Karena tantangan yang dihadapi begitu banyak. "Salah satunya, image Pulau Bali yang masih nomor satu, Jember harus bisa mengalahkan Pulau Bali," katanya pada The Post.

Data Dinas Pariwisata Kabupaten Jember mencapat, setiap tahunnya daerah yang memiliki lima pantai wisata, tiga air terjun dan wisata perkebunan yang luas ini dikunjungi oleh 1400 turis mancanegara dan 332 ribu turis domestik. "Saya perkirakan, pada massa mendatang, akan semakin banyak turis asing yang awalnya akan ke Bali akhirnya berbelok ke Jember," katanya.

Dengan adanya JFC, Masdar memperkirakan Jember akan semakin dikenal di manca negara. Dalam pengamatan The Jakarta Post, harapan itu bukan harapan semu. Dalam JFC yang berlangsung Minggu ini, tampak warga negara asing yang hadir di tengah-tengah penonton untuk menikmati rangkaian acara JFC.

Lou Leunissen adalah salah satunya. Wisatawan asal Netherlands yang juga fotografer freelance ini mengatakan kedatangannya kali ini khusus untuk menyaksikan JFC. "Saya sudah pernah bertemu dengan beberapa peragabusana di Bali, dan kini saya datang ke Jember untuk melihat mereka lagi," katanya pada The Jakarta Post.

Lou tampak terkesima dengan lagelaran busana yang penuh dengan beragam nuansa ini. Ia bahkan memenuhi memory card dua kamera digital yang dibawanya. "Saya sudah memotret banyak sekali, sampai tidak terasa saya kehabisan bateray digital camera saya, sayang sekali," keluhnya sambil menyaksikan pagelaran dari trotoar jalan.

Tidak hanya Lou, wisatawan domestik yang datang ke JFC juga hanyut dalam irama pegelaran busana unik ini. Terutama ketika pagelaran busana masuk pada tema Tsunami yang bercerita tentang kengerian peristiwa yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) itu. Beberapa penonton bahkan wartawan sampai menitikkan air mata ketika puluhan peragabusana beraksi. JFC memang luar biasa.***

Penjebar Semangat Bertahan di Tengah Badai

Senajan kahanan ekonomi rada rekasa, ning yen gelem ubed,
Sethithik-sethithik ana wae pametu kang bisa dipethik.
Ora lanang ora wadon, ora anom ora tuwa, ayo podha sengkud makarya.

Ungkapan berbahasa Jawa itu menjadi pembuka majalah Penjebar Semangat edisi 7, 8 Februari 2006. Artinya "Meskipun keadaan ekonomi agak berat, tapi kalau mau kreatif, sedikit-sedikit ada saja sesuatu yang bisa dipetik. Tidak perduli laki-laki maupun perempuan, mari bekerja dengan giat". Kalimat yang dimuat di halaman 3 majalah setebal 58 halaman itu seakan ingin menjelaskan sikap optimistik seorang perempuan pemuat gerabah yang fotonya dimuat sebagai cover depan majalah itu.

"Ada ungkapan dalam bahasa Jawa yang mengatakan dicokot-cokot alot (digigit-gigit keras), seperti itulah orang Jawa memandang pendapatan yang pas-pasan tapi tetap ada meski kondisi perekonomian sedang berat," kata Moechtar, 81, Pimpinan Redaksi Penjebar Semangat pada The Jakarta Post, Minggu (12/02) ini.

Majalah Penyebar Semangat dan Majalah Joyoboyo, adalah dua media massa di Jawa Timur yang hingga saat ini masih mengusung Bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar. Keberadaan dua media berbahasa Jawa ibarat di era serba canggih seperti sekarang ini ibarat artefak sejarah yang sampai saat ini masih bisa dinikmati.

Penjebar Semangat didirikan oleh salah satu tokoh gerakan Sumpah Pemuda, Dr.Soetomo di tahun 1930 di Surabaya. Awalnya majalah itu terbit dalam bentuk koran bernama Soeara Oemoem dengan RT Tjindarboemi sebagai pimpinan redaksinya. Di Surabaya, perkembangan koran yang sarat dengan kritik terhadap Penjajah Belanda ini tergolong baik.

Tiga tahun kemudian, Dr.Soetomo berinisiatif menerbitkan Soeara Oemoem dalam bahasa Jawa dan Madura, dengan Ir. Anwari dan RP Sosrokardono duduk di jajaran redaksi. Setelah dianggap memiliki pasar yang kuat, nama Soeara Oemoem diubah menjadi Penjebar Semangat dengan format majalah.
Pertama kali merubah nama dan format adalah masa berat bagi media yang memiliki moto Sura Dira Djayadiningrat Lebur Dening Pangastuti (Kejahatan Seberapapun Kuatnya Akan Kalah Dengan Kebenaran) ini.

Selama beberapa saat mereka hanya mencetak sebanyak 2000 eksemplar. Namun, tiga tahun kemudian, perkembangan luar biasa terasa. Oplah meningkat bertahan menjadi 6-12 ribu eksemplar/minggu di tahun 1936.

Jumlah yang luar biasa untuk sebuah media berbahasa Jawa di jaman itu. Tak mengherankan bila Penjebar Semangat cukup berpengaruh di masyarakat. Karena itulah, ketika Penjajah Jepang masuk ke Surabaya, Penjebar Semangat menjadi salah satu majalah yang ditutup paksa. Mesin cetak yang dimiliki disita dan Pimpinan Redaksinya, Imam Soepardi (yang menggantikan Dr. Soetomo setelah meninggal dunia pada 1938) mengungsi.

Sebelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1949, ketika Jepang tersingkir digantikan Agresi Belanda II, Imam Soepardi nekad keluar dari pengasingan dan kembali menerbitkan Penjebar Semangat. Meski sempat merangkak dari nol, Penjebar Semangat kembali menemui masa jayanya dengan oplah 88 ribu eksemplar.

"Saya masih merasakan bagaimana majalah ini begitu terkenal," kata Effendi,83, pekerja bagian Tata Usaha Penjebar Semangat yang hingga saat ini masih bekerja di majalah itu pada The Post. Effendi adalah pekerja terlama di perusahaan itu. Tidak hanya di Indonesia, majalah yang konsisten mengusung cerita rakyat Tanah Jawa itu juga memiliki pelanggan hingga ke luar negeri.

Tercatat pelanggan di Suriname, Keladonea Baru, Malaysia, Bangkok, Birma dan Vietnam secara kontinyu tetap berlangganan. Kebanyakan, pembaca Penjebar Semangat di luar negeri itu adalah keluarga penduduk asli Jawa yang dibawa secara paksa oleh penjajah Belanda untuk dipekerjakan sebagai pekerja paksa. "Mereka tidak ingin tercerabut dari akar kebudayaan Jawa, karena itu mereka berlangganan Penjebar Semangat," ungkap Moechtar, Pimpinan Redaksi.

Bagaikan sinar matahari yang meredup di sore hari, kebesaran nama Penjebar Semangat pun pelan-pelan pudar. Moechtar mencatat, salah satu hal yang membuat majalah yang dipimpinnya kurang diminati terkait dengan persoalan ekonomi. Keputusan untuk menaikkan harga bersamaan dengan kenaikkan harga bahan baku seperti kertas dan tinta, membuat pelanggan majalah ini berhenti berlangganan.

Tahun 1990 menjadi awal grafik penurunan oplah majalah ini. Tiras 80-an ribu pelan-pelan menurun hingga puncaknya terjadi pada tahun 1997 dengan 20 ribu. "Selain persoalan harga, kurangnya minat membaca bahasa Jawa pada generasi muda juga menjadi persoalan," ungkap Moechtar. Dalam survei yang dilakukan pihak pemasaran, hampir pasti setiap keluarga pelanggan yang berhenti berlangganan terjadi setelah pembaca majalah itu meninggal dunia. Sementara keturunannya beralih ke media berbahasa Indonesia.

Meski terdengar tragis, namun keoptimisan masih terlihat pada jajaran redaksi Penjebar Semangat. Salah satu penyebabnya, adalah masih adanya modal usaha yang berhasil dikumpulkan di masa majalah itu masih jaya. Seperti aset mesin cetak dan gedung perkantoran di lokasi pusat kota Surabaya yang dimiliki majalah itu. "Sekarang, kami berpikir bagaimana redaksi menjaga eksistensi majalah ini dengan tetap terbit," kata Moechtar.

Semangat itu pula yang membuat Penjebar Semangat terus menyapa pembacanya di awal minggu. Dan "buah" dari keoptimisan itu mulai bisa dipetik. Memasuki tahun 2000, kondisi oplah mejalah ini mulai konstan di titik 20 ribuan dan semuanya adalah pelanggan setia. Dalam pengamatan The Jakarta Post, semua majalah yang dicetak, langsung dikirim via pos ke alamat pelanggan.

Bahkan, pelanggan dari luar negeri yang sempat berhenti berlangganan pun kembali meminta berlangganan. Selain dari pribadi, pelanggan Penjebar Semangat juga berasal dari universitas-universitas di luar negeri yang mempelajari bahasa asli di seluruh dunia, termasuk bahasa Jawa. "Mereka biasanya mengirim uang dollar dulu sebagai deposit, kemudian meminta kami mengirim majalah ke alamat yang dituju, kalau uang dollarnya sudah menipis, pihak pemasaran akan menelepon dan minta deposit lagi," ungkap Moechtar.

Dari sisi penulis bahasa Jawa, Moechtar melihat munculnya penulis-penulis muda yang mengirimkan karyanya ke Penjebar Semangat. "Setiap ada anggota redaksi yang tidak mampu lagi bekerja, entah itu karena sakit atau meninggal dunia di usia tua, pasti ada penggantinya," kata pimpinan redaksi yang memimpin delapan awak redaksi dan puluhan penulis lepas (koresponden) di seluruh Indonesia ini.

Pantas bila Moechtar merasa bangga dengan hal itu. Karena keterlibatan penulis muda itu didasari oleh ketertarikan pada satra Jawa, tanpa ada orientasi materi di dalamnya. Untuk koresponden, Penjebar Semangat memberikan honor sebanyak Rp.50 ribu/tulisan dengan dua foto. Termasuk tulisan berjenis cerita pendek. "Nilai itu memang kecil, jadi munculnya penulis-penulis muda sangat membanggakan," kata salah satu pemrakarsa Konggres Bahasa Jawa di Semarang tahun 1961 ini. Bagi anggota redaksi yang sudah bekerja puluhan tahun pun, hanya digaji sebanyak Rp.1,2 juta/bulan.

Dedikasi redaksi media berbahasa Jawa seperti Penjebar Semangat dan Joyoboyo memang patut diacungi jempol. Selain mempertahankan budaya yang mulai luntur, media berbahasa Jawa juga mengusung nilai-nilai luhur yang dianut orang Jawa selama ratusan tahun. Belum lagi sumbangan media ini bagi Negara Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk.Bahkan, Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno pun secara khusus berkirim surat tulisan tangan dalam bahasa Jawa pada Penjebar Semangat.

"Kabeh madjalah kang mbijantu marang perdjoangan nasional gedhe gunane, Ta' dongakake mogo-mugo Penjebar Semangat lestari mbijantu perdjoangan kita iki (Semua majalah yang membantu perjuangan nasional besar manfaatnya, Saya berdoa semoga Penjebar Semangat terus ada dan membantu perjuangan kita ini)," tulis Ir. Soekarno dalam surat yang kini dibingkai dan dipajang di ruang redaksi Penjebar Semangat.***

Siswa-siswa itu Tidak Lulus Ujian Nasional

Ninik (bukan nama sebenarnya) menenggelamkan wajahnya dipelukan temannya. Airmata yang mengalir dari kedua matanya, sebagai bentuk kesedihan yang mendalam, seakan tidak berhenti. "Sudahlah Nik, jangan menangis, ayo kita pulang," kata temannya. Ninik hanya sesenggukan, tanpa berkata apa-apa.

Kamis (30/06) ini bisa jadi hari paling buruk dalam hidup Ninik. Disaat sebagian besar temannya merayakan kelulusan, gadis siswa sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Surabaya Pusat itu dinyatakan tidak lulus. Nilai standart minimum yang dimilikinya jauh dibawah nilai standart minimum yang disyaratkan, 4.26.

Ironisnya, ketika dia belum mendapatkan informasi kelulusan, beberapa temannya sudah membubuhkan tanda tangan di baju seragamnya. Bahkan, ada juga yang menyemprotkan cat semprot warna-warni sebagai kenang-kenangan. Tapi lacur, ketika pihak sekolah mengumumkan nama-nama siswa yang lulus, nama Nanik tidak ada dalam daftar itu.

Jumlah siswa SMA di Surabaya yang tidak lulus dalam Ujian Nasional mengalami peningkatan. Tahun 2004 lalu hanya 566 siswa, sementara tahun ini meningkat menjadi 2555 siswa. Sementara di Jatim, tercatat ada 31 ribu siswa SMA, dengan perincian 4400 siswa jurusan IPA, 5180 siswa jurusan IPS, 1100 siswa jurusan bahasa dan 21090 siswa jurusan SMK. Serta siswa SMP sebanyak 24300 siswa. Jumlah total sekitar 56 ribu siswa di Jatim tidak lulus ujian.

Kepala Diknas Jatim, Rasiyo menilai, meningkatnya jumlah siswa yang tidak lulus tahun 2005 ini sebagai akibat dari naiknya standart nilai kelulusan dari 4.01 menjadi 4.26. Belum lagi dengan dihapusnya sistem konversi (menurunkan nilai tertinggi dan menaikkan nilai yang rendah). "Semua itu akibat dari naiknya standart nilai kelulusan," kata Rasiyo. Meski begitu, Rasiyo menilai ketidaklulusan itu adalah hal biasa.

Apalagi, kata Rasiyo, jumlah siswa di seluruh Indonesia yang tidak lulus tahun ini tergolong banyak, sampai 16,69 persen dari seluruh siswa SMA/SMK di Indonesia yang ikut ujian tahun 2005. "Jadi hasil ujian di Jatim tidak terlalu jelek untuk ukuran nasional," katanya.

Untuk siswa yang tidak lulus, ungkap Rasiyo, masih diberi kesempatan sekali lagi untuk ikut dalam Ujian Nasional II yang akan digelar Agustus mendatang. "Bagi yang sudah lulus, tidak usah ujian tahap II, tapi yang tidak lulus bisa mengikuti ujian tahap II, kalau bisa mencapai standart 4.26 bisa dianggap lulus," katanya.

Anggota Dewan Pendidikan Surabaya, Anita Lie mengungkapkan, besarnya jumlah siswa yang tidak lulus ujian nasional, harusnya menjadi koreksi sistem pendidikan secara nasional. Bahwa sistem pendidikan selama ini salah. "Ini harus jadi koreksi, bahwa sistem pendidikan yang dilakukan secara nasional, salah," katanya pada The Jakarta Post.

Salah satu kesalahan yang nyata adalah peningkatkan standart nilai 4.01 menjadi 4.26, tanpa mempertimbangkan faktor budaya yang berbeda. "Misalnya siswa di daerah Papua dan Jawa, harusnya tidak diperlakukan sama, bukan kwalitas pendidikannya, melainkan cara mengajarnya," tegas dosen Universitas Kristen Petra ini.

Untuk tahun-tahun berikutnya, Anita menyarankan pemerintah pusat tidak lagi mendikte pelaksanaan pendidikan di semua daerah. Karena setiap daerah punya ciri khas tersendiri. "Yang berhak menyatakan kelulusan itu adalah sekolah yang bersangkutan, pemerintah nasional hanya memberikan platform, sistem dan pelaksanaannya diserahkan sepenuhnya pada sekolah setempat," katanya.***

SEMOGA KALI INI BERHASIL

Debu-debu di kursi tua itu beterbangan ketika tubuh munggil Gusti Ayu di duduk di atasnya. Raut mukanya terbalut kelelahan, berpadu dengan t-shirt dan celana jeans lusuh yang dikenakan. "Capek, harus les setiap hari," katanya pada The Jakarta post yang menemui di rumahnya, Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu (20/08) ini.

Gusti Ayu Netty Christina adalah satu dari 31 ribu siswa SMA di Jawa Timur yang tidak lulus Ujian Nasional tahap I tahun ajaran 2005-2006 yang dilaksanakan bulan Juni lalu. Data yang dilansir Departemen Pendidikan Nasional (Diknas) Jawa Timur menyebutkan terdapat 31 ribu siswa SMA tidak lulus ujian nasional.

Dengan rincian, 4.400 siswa jurusan IPA, 5.180 siswa jurusan IPS, 1.100 siswa jurusan bahasa dan 21.090 siswa jurusan SMK. Sementara untuk siswa SMP sebanyak 24.300 siswa yang gagal memenuhi nilai minimal dan tidak lulus. Jumlah total sekitar 56 ribu siswa di Jatim yang tidak lulus Ujian Nasional dan harus mengikuti ujian ulangan yang akan berlangsung Senin minggu depan.

Bagi Gusti Ayu, ujian ulangan yang akan berlangsung minggu depan ini bagaikan mengulangi "mimpi buruk" yang pernah dialaminya. "Ujian ulangan ini seperti mimpi buruk yang terulang, apalagi ketika ujian sebelumnya saya gagal lulus," kata siswa SMA Dharma Wanita Surabaya ini sambil menghela napas.

Pada Ujian Nasional lalu, nilai NUN Gusti cuma 3,33, jauh dari nilai rata-rata minimum yang disyaratkan agar bisa lulus, 4,26 untuk setiap mata pelajaran. "Nilai matematika saya jeblok, itu yang membuat saya akhirnya tidak lulus," katanya. Sayangnya, Gusty malu menjelaskan nilai matematika yang diperolehnya. "Yang pasti, di bawah rata-rata lah," katanya singkat.

Begitu dinyatakan tidak lulus, dirinya harus berhadapan dengan berbagai persoalan sekaligus. Terutama menutup rasa malu dihadapan teman-teman dan keluarganya. "Kalau pihak keluarga sudah bisa memahami, tapi menghadapi teman-teman itu yang sulit," katanya. Beruntung, dirinya tidak sendirian, ada 77 siswa lain di sekolahnya yang juga tidak lulus ujian.

Apalagi, berdasarkan "aturan main" Depdiknas, bagi siswa yang tidak lulus Ujian Nasional tahap I, masih diberi kesempatan sekali lagi untuk ikut dalam Ujian Nasional II yang akan digelar Agustus mendatang. "Bagi yang sudah lulus, tidak usah ujian tahap II, tapi yang tidak lulus bisa mengikuti ujian tahap II, kalau bisa mencapai standart 4.26 bisa dianggap lulus," kata Rasiyo, Kepala Diknas Jatim.

Kesempatan itu yang tidak disia-siapan Gusti Ayu dan kawan-kawannya. Setiap hari, dirinya dan ke-77 teman-temannya diberi les privat oleh pihak sekolah selama seminggu penuh. "Setiap hari, ketika teman-teman yang lulus ujian sudah mendaftar ke universitas, saya masih harus let privat di SMA saja," katanya.

Dalam les privat itu, dirinya diingatkan kembali dengan materi-materi pelajaran yang diajarkan secara singkat. Setelah itu, diberi kesempatan bertanya kepada gurunya. Bila dirasa cukup, guru akan memberikan contoh soal yang harus dikerjakan di sekolah dan di rumah sebagai pekerjaan rumah (PR). "Capek juga sih, tapi bagimana lagi ini untuk masa depan saya," katanya.

Menjelang Ujian Nasional tahap II yang akan berlangsung minggu depan, Gusti hanya bisa pasrah. "Semua usaha sudah saya lakukan, semoga kali ini berhasil," harap gadis berusia 18 tahun dan bercita-cita sebagai sarjana ekonomi ini.***