Sunday, June 11, 2006

Gedung Bersejarah Itu Menangis Sendirian

Bendera Merah Putih Biru milik Pemerintah Belanda itu berkibar di tiup angin, ketika patroli keamanan dan seorang pegawai pribumi melintas di pelataran Gedung Internationale Credit en Hamdelsvereeraging Roterdam di Jl. Willemsolein (kini Jl. Jayengrono) Surabaya itu.

Di depannya, berjajar mobil-mobil kuno milik pejabat Belanda yang tampak mengkilap dengan ornamen-ornamen khas Kerajaan Belanda. Pelataran gedung megah yang dibangun sekitar tahun 1929-an itu tampak bersih. Tak tampak sampah plastik atau larakan (sampah dedaunan dalam bahasa Surabaya-RED) berserakan di sana-sini. Semuanya tertata rapi.

Gambaran itulah yang terekkam dalam salah satu foto Soerabaja Tempo Doeloe yang dipamerkan di Pusat Kebudayaan Prancis CCCL Surabaya awal bulan ini. Namun, kondisi sangat berbeda sekarang. Bangunan yang terletak di depan Jembatan Merah Plaza (JMP) itu kumuh dan berantakan. Di seputaran gedung itu digunakan sebagai terminal bemo dan pedagang kaki lima. Lalu lintas di sekitarnya pun awut-awutan.

"Melihat nasib gedung-gedung tua itu kini, baru terasa betapa Surabaya tidak memiliki identitasnya sebagai Kota Pahlawan," kata Kadaruslan, sesepuh kota Surabaya yang juga seorang budayawan, menomentari foto koleksi Pusat Kebudayaan Prancis itu.

Wajar bila Kadarruslan merasa gerah. Laki-laki berusia 75 tahun yang asli Surabaya ini adalah saksi sejarah pertempuran 10 November 1945. Dirinya mengetahui secara pasti bagaimana nasib gedung-gedung tua bersejarah itu. "Di gedung yang dulu bernama Internatio itu adalah pusat pertempuran antara pejuang Surabaya dengan tentara sekutu, sekarang kumuh dan tidak terawat," katanya pada The Jakarta Post.

Nasib cagar budaya di Surabaya, termasuk gedung-gedung bersejarah bisa mencapai ribuan buah. Namun, yang kini bisa dikenali dan dicatat dalam SK wali kota, hanya 102 buah. Itu pun dalam keadaan yang mengenaskan, meski sebagian kecil terawat dengan baik. Bahkan, ada yang dirobohkan dan diganti dengan bangunan baru untuk rumah toko (ruko) atau
gedung-gedung perkantoran modern.

Dukut Imam Widodo, pemerhati gedung tua di Jawa Timur mencatat ada tujuh gedung bersejarah di Kota Surabaya yang dirobohkan dan diganti gedung baru. Seperti Gedung Post en Telegram Kantor, Gedung Centrale Burgerlijke Ziekeninriching (CBZ), gedung CV Algemmene Volkscredit Bank hingga restauran Tai Chan. "Semuanya roboh, yang tersisa hanya nama dan kenangan," kata Dukut pada The Jakarta Post.

Selama tahun 2006, kata Dukut, Tim Cagar Budaya Pemerintah Surabaya akan mengkaji 52 kawasan dan bangunan cagar budaya di Surabaya. Rencananya, bangunan yang memenuhi kriteria, akan dimasukkan dalam daftar cagar budaya dalam Peraturan Daerah no. 5 tahun 2005 tentang pelestarian Lingkungan Cagar Budaya.

MELINDUNGI CAGAR BUDAYA

Upaya melindungi cagar budaya di Surabaya bukanlah hal baru. Meskipun hasil akhirnya, upaya itu selalu berujung ketidakjelasan. Pada jaman kolonial misalnya, perlindungan cagar budaya secara nasional pernah diatur dalam Monumenten Ordonantie no.19 tahun 1931 yang kemudian diubah menjadi Monumenten Ordonantie no.21 tahun 1934.

Agaknya, peraturan itulah yang diakomodasi dalam Undang-undang no.5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Berturut-turut muncul Peraturan Pemerintah no.10 tahun 1993 dan dikuatkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tentang Penelitian dan Penetapan Cagar Budaya dan/atau Situs.

Semangat yang sama dilakukan Pemerintah Kota Surabaya dengan mengeluarkan SK Walikota tentang 61 Bangunan di Surabaya yang harus dilestarikan. SK itu terbit dahun 1996. Setelah itu, dikuatkan oleh Perda no.5 tahun 2005 tentang Pelestarian Bangunan dan Atau Lingkungan Cagar Budaya. "Awalnya saya positif thingking, tapi kenyataannya, masih saja ada gedung
tua yang digusur untuk didirikan ruko," kata Dukut.

Satu peristiwa penting yang sempat mencuat adalah kasus dibongkarnya gedung Stasiun Semut (dulu bernama Stasiun Spoor Semoet dan RS.Mardi Santoso. Dua bangunan yang sejak jaman kolonial sudah ada itu rencananya akan digunakan sebagai pertokoan. "Yang tersisa kini hanya bangunan depannya saja," kata Dukut.

Mengedepannya kepentingan ekonomi adalah salah satu sebab digusurnya bangunan-bangunan tua. Kondisi di Jalan Tunjungan dan Darmo Surabaya menunjukkan hal itu. Apalagi ada asumsi, gedung tua itu memunculkan kesan kotor dan rusuh. Kalau dirawat pun, biaya lebih mahal dibandingkan merawat gedung modern.

"Kalau alasan-alasan itu muncul, akhirnya terjadi pembenaran atas pemugaran gedung-gedung bersejarah itu," ungkap Kadaruslan, budayawan Surabaya. Kadarruslan mencontohkan dibongkarnya RS.Simpang dan taman bunga dipinggir Sungai Kalimas, diganti dengan Delta Plaza (kini Plaza Surabaya) plus Monumen Kapal Selam (Monkasel). "Orang tidak menyadari, taman bunga di samping RS. Simpang itu adalah salah satu terapi bagi pasien
RS," kenangnya.

TEMPAT WISATA NOSTALGIA

Dalam sebuah kesempatan, seorang pakar bangunan kuno asal New Orleans AS, Patricia H Gay, pernah menyarankan untuk menjadikan bangunan kuno di Surabaya sebagai wisata sejarah sebuah kota. Dengan kata lain, menggabungkan nuansa lama dengan modenrisasi. Menurut Patricia, Surabaya memiliki potensi untuk itu.

Hal yang sama juga dilakukan di New Orleans. Kota eksotik itu kini menjadi salah satu kota wisata favorit di di dunia, hanya karena menyajikan bangunan kuno bersejarah yang ditata secara apik. "Jika anda kehilangan bangunan kuno di kota anda, itu sama dengan anda kehilangan identitas anda," katanya dalam sebuah forum di Institut Negeri Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya.

Hal itu disetujui oleh Kadarruslan. Dalam sebuah kunjungan Putri Beatrix Belanda di Surabaya misalnya, kata Kadarruslan, justru mengunjungi bangunan-bangunan tua yang ada di Surabaya. Termasuk kampung-kampung lama yang tersebar hampir di seluruh kota Surabaya. "Dia ingin tahu, bagaimana sih kota yang sempat membuat pasukan penjajah itu kalah,..haha," katanya.

Karenanya, Kadarruslan dan beberapa sesepuh kota didukung seniman se Surabaya berencana untuk mengirim Petisi Kota Surabaya kepada Walikota Surabaya. Dalam petisi itu mereka mengingatkan Pemerintah Kota Surabaya untuk tidak menghilangkan identitas kota Surabaya dalam pembangunannya. "Jangan sampai Surabaya hanya menjadi kota zombie," tegasnya.

Identitas kota yang dimaksud dalam petisi itu adalah bangunan bersejarah, kampung-kampung kuno hingga tradisi-tradisi lokal yang sekarang sudah mulai hilang. Salah satu kampung bersejarah yang masih ada adalah kampung Peneleh, Surabaya. Di kampung ini berdiri rumah HOS Cokroaminoto, pahlawan nasional yang juga guru dari Presiden Pertama RI, Soekarno.

No comments: