Sunday, June 11, 2006

Gaji Wartawan, Problematika Dan Solusinya

Independensi dunia pers di Jawa Timur, khususnya Surabaya, kembali diuji. Secara terbuka DPRD Surabaya mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sebanyak Rp.300 ribu perbulan untuk 30 media, sebagai dana “menggaji” wartawan. Sebuah langkah yang sangat melecehkan etika profesi wartawan!

Kabar memprihatinkan itu terdengar Selasa (23/05) lalu. Dalam pertemuan dengan 15 wartawan dari berbagai media di Surabaya, Ketua DPRD Surabaya Musyafak Rouf mengatakan DPRD Surabaya menganggarkan dana untuk wartawan sebagai kompensasi peliputan. Jumlahnya tidak main-main, Rp.300 ribu/bulan untuk 30 wartawan atau Rp.108 juta/tahun. Dana itu akan diberikan usai forum konsultasi antara DPRD Surabaya dan wartawan yang biasa meliput di sana. Sebagai realisasinya, “gaji” pertama wartawan itu diberikan Selasa lalu. Tidak semua wartawan yang hadir menerimanya (Kompas, Rabu(24/05)).

Ada banyak prespektif yang bisa digunakan untuk menilai langkah gegabah DPRD Surabaya itu. Penilai pertama adalah pelanggaran konstitusional. Dalam hal ini adalah pelanggaran pada UU No.40 tahun 199 tentang Pers. Simak saja pertimbangan Presiden RI tentang UU Pers pada poin C yang mengatakan: Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun.

Kalimat “bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun” adalah kalimat terpenting. Dengan bahasa lain, kata “campur tangan” yang tertulis itu berarti upaya-upaya pihak di luar pers yang berakibat tidak berjalannya asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers. Seperti kita ketahui peran pers salah satunya adalah melakukan pengawasan, kritik dan saran terhadap hal-hal yang menyangkut kepentingan publik (Media: Pilar IV Demokrasi, terbitan SEAPA, DEWAN PERS dan FRIEDRICH EBERT STIFTUNG 2002). Bagaimana bisa pengawasan dan kritik bisa berjalan bila suap diterima setiap bulan?

Prespektif kedua adalah langkah DPRD Surabaya (yang diamini oleh beberapa wartawan Surabaya) itu menginjak-injak Kode Etik Jurnalistik Universal dan Kode Etik Jurnalistik 2006 Dewan Pers yang disepakati oleh 29 organisasi pers dari seluruh Indonesia. Hal itu termaktup pada Pasal 6 yang berbunyi Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran kata “penyalahgunaan profesi dan suap” dari pasal ini adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi, dan menerima segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. Nah, yang terjadi di DPRD Surabaya jelas merupakan upaya pengambilan keuntungan pribadi atas profesi jurnalistik. Dalam prespektif yang lebih luas, jelas DPRD Surabaya mencabik-cabik rasa keadilan masyarakat atas kepercayaannya menjadi wakil rakyat yang harus berpikir untuk rakyatnya. Ini pelanggaran paling berat.

Upaya DPRD Surabaya untuk “menggaji” wartawan-yang juga diamini oleh beberapa wartawan- mengingatkan kembali pada wacana peran pers, terutama pers lokal dalam mengawal demokratisasi. Cita-cita membangun pers agar lebih profesional pasca kejatuhan Rezim Soeharto berjalan terseok-seok. “Penyakit” lama pers yang gejalanya berupa mentalitas menerima suap berbentuk amplop/ucapan terima kasih/uang bensin tetap ada. Dukungan pada kelompok politik tertentu hingga tindakan oportunistis dengan memanfaatkan momentum tertentu (seperti iklan pergantian pejabat sampai pemerasan) masih terasa.

Belum lagi kalau bicara soal kesejahteraan. Kecilnya gaji dan tidak dipenuhinya hak wartawan mendapatkan jaminan sosial, seakan membuat kesejahteraan wartawan sebagai cita-cita yang sulit terealisasi. Sementara setiap hari, wartawan terjepit dengan kewajiban untuk menyetor sejumlah berita. Di sisi lain, tidak meratanya pemahaman masyarakat atas fungsi pers dan aturan main untuk menyelesaikan sengketa dengan media, memunculkan tindakan-tindakan kekerasan pada wartawan (kasus pemukulan wartawan di UPN Veteran Jawa Timur). Masih saja kita lihat ada masyarakat yang meluruk kantor media, mengancam wartawannya hingga dalam titik tertentu terjadi pembunuhan, seperti kasus pembunuhan Herlyanto, wartawan freelance dan Delta Post Probolinggo. Kondisi itu memposisikan wartawan sebagai sosok yang “sendirian” dalam memperjuangkan nasibnya.

Bagi wartawan, ada beberapa langkah internal dan eksternal yang bisa dilakukan untuk menyiasati kondisi itu. Secara internal, wartawan harus mampu memberdayakan diri sendiri. Dalam lingkup kecil, upaya untuk meningkatkan kemampuan jurnalistik dan pengetahuan adalah hal mutlak. Secara tidak langsung, hal ini adalah upaya untuk menaikkan “harga” wartawan. Dalam logika sederhana, seorang wartawan yang pintar akan banyak diincar oleh perusahaan-perusahaan yang lebih baik.

Peningkatan posisi tawar dengan perusahaan juga bisa dilakukan dengan membangun serikat pekerja pers. Langkah ini sering dipandang miring oleh perusahaan pers, dan dinilai sebagai kelompok berpotensi konflik tinggi. Padahal tidak demikian. Serikat pekerja adalah organisasi yang menjembatani kepentingan perusahaan kepada wartawan atau sebaliknya. Melalui serikat pekerja ini, perusahaan mampu membuat peraturan-peraturan secara adil dengan mempertimbangkan kepentingan semua karyawan, termasuk wartawan.

Selain itu, membangun kekuatan komunal antar wartawan, entah itu dalam forum-forum diskusi atau tergabung dalam organisasi profesi juga penting. Ujung dari langkah ini adalah upaya membangun jaringan komunikasi dengan kelompok lain. Bukan tidak mungkin, cara ini akan membuka kesempatan meningkatkan profesionalisme.

Pembangunan eksternal pada prinsipnya adalah membangun persepsi yang sama tentang fungsi, tugas dan kewajiban pers. Seperti kita tahu, pers bertugas menginformasikan, mendidik dan menghibur masyarakat melalui karya jurnalistiknya. Benang merah dari hal ini adalah karya jurnalistik. Hanya berita! Maksudnya, interaksi wartawan dengan nara sumber semata-mata urusan berita, tidak lebih. Wartawan harus menegaskan hal ini terus menerus agar masyarakat di luar pers pun memahaminya. Hingga tidak ada lagi lembaga pemerintah atau narasumber yang menyediakan atau menganggarkan uang amplop untuk wartawan.

Posisi wartawan yang mandiri (baca: independen) adalah mutlak, sekaligus problem terberat, karena pihak lain selalu berupaya untuk membongkar idependensi dengan iming-iming suap dalam berbagai bentuk. Solusinya, menjaga hubungan dengan narasumber sebatas hubungan profesi.

No comments: