Friday, May 26, 2006

Bila Komunikasi Politik Diabaikan,..

Tidak seperti biasanya, kantor Pemerintah Kabupaten Banyuwangi yang sehari-hari hanya dipenuhi oleh pegawai negeri, belakangan dijaga ketat puluhan petugas Polres Banyuwangi. Selasa (09/05) ini misalnya, mulai teras depan pintu gerbang hingga ruang kerja humas pemkab, penuh dengan polisi berpakaian dinas. Sementara puluhan petugas berpakaian preman lainnya berbaur dengan pegawai kantor atau duduk-duduk di tempat parkir mobil. "Kalau begini, berkantor di Pemkab rasanya aman sekali," gurauan seorang staff Pemkab Banyuwangi pada The Jakarta Post.

Penjagaan ketat itu bukan tanpa alasan. Kamis (04/05) lalu, kota paling timur di pulau Jawa ini sempat "mendidih" dengan aksi demonstrasi sekitar 7 ribu orang yang menuntut Bupati Ratna Ani Lestari turun dari jabatannya. Ratna dianggap tidak mampu memimpin kota berpenduduk 1,5 juta jiwa ini. Hal itu tampak dari kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak aspiratif dan kontroversial. Ujung-ujungnya, DPRD Kota Banyuwangi pun mengajukan mosi tidak percaya dan menyarankan Menteri Dalam Negeri RI untuk mencopot bupati dari jabatannya.

Protes masyarakat pada bupati, seperti yang terjadi di Banyuwangi, adalah peristiwa kedua di Provinsi Jawa Timur. Sebelumnya masyarakat Kabupaten Tuban memprotes hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memenangkan calon incumbent Haeny Relawati. Protes yang terjadi Sabtu (29/04) lalu itu berakhir dengan tindakan anarkis dengan membakar pendopo kabupaten, hotel dan bangunan lain milik Bupati Haeny Relawati.

Pengamat komunikasi politik Universitas Airlangga Surabaya, Henry Subiyakto menilai, meski ada perbedaan pemicu antara peristiwa Tuban dan Banyuwangi, namun keduanya memiliki impas yang sama. Yaitu kemarahan masyarakat pada pemimpin daerahnya. Dan dua-duanya disebabkan karena ketidakmampuan pemimpin daerah untuk menyerap aspirasi masyarakatnya. "Ada alur komunikasi politik yang terputus di Tuban dan Banyuwangi, akibatnya muncul resistensi," kata Henry pada The Jakarta Post, Minggu (07/05) ini.

Dalam kasus Banyuwangi, terputusnya komunikasi politik antara pimpinan daerah dengan masyarakatnya tampak dari kebijakan-kebijakan yang diambil Bupati Ratna Ani Lestari. Setidaknya ada 10 kebijakan yang dikeluarkan Bupati Ratna yang dinilai menjadi pemicu kemarahan masyarakat. Kebijakan pertama adalah dihapusnya pungutan dana penyelenggaraan pendidikan pada sekolah negeri, seperti yang termuat dalam Instruksi Bupati no.1/2005. Juga instruksi bupati untuk menghentikan retribusi pelayanan kesehatan dasar yang termuat dalam Instruksi Bupati no.2/2005.

Meskipun instruksi itu meringankan masyarakat, namun di sisi lain ada nuansa ketidakadilan. Dalam penghapusan pungutan pendidikan misalnya, ada kesan bupati mengabaikan kondisi sekolah swasta yang di dalamnya berisi masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah. Sementara itu, usai penetapan penghapusan retribusi kesehatan, banyak puskesmas yang mengalami kesulitan anggaran.

Keputusan lain yang dianggap menjadi penyebab terbesar adalah dimasukkannya daftar harga daging babi dalam Standard Barang dan Harga Satuan Barang Kebutuhan Pemerintah Kabupaten Banywangi tahun 2006, seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Bupati No.188/33/KEP/429.012/2006. SK itu membuat "marah" ulama Islam dan masyarakat Banyuwangi yang 94,76 persen dalam pemeluk Islam taat yang mengharamkan daging babi.

Henry Subiyakto menilai, secara hukum, tidak ada yang salah dalam instruksi maupun surat keputusan bupati itu. Karena membuat instruksi dan SK adalah hak kepala daerah. "Tapi, karena hal itu tidak pernah dikomunikasikan sebelumnya, baik kepada DPRD Banyuwangi maupun pada masyarakat, akhirnya muncul intepretasi yang bermacam-macam," jelasnya.

Hal ketidakmampuan Bupati Ratna dalam mengkomunikasikan kebijakannya memang bukan isapan jempol belaka. Sejak dilantik 20 Oktober 2005 lalu, Istri Bupati Jembrana, Bali Winase ini terkesan enggan berkomunikasi dengan DPRD Banyuwangi. "Padahal penyelenggara pemerintahan itu adalah Pemerintah Kabupaten dan DPRD seperti yang diatur dalam UU no.32 tentang Pemerintahan Daerah," kata Ketua DPRD Banyuwangi Ahmad Wahyudi pada The Post.

Hal itu semakin tampak ketika DPRD Banyuwangi mencoba berkomunikasi dengan mengajak Bupati Ratna berbicara dalam satu rapat paripurna, seperti yang tampak dalam kasus Pemberhentian Retribusi Kesehatan. Rekomendasi pencabutan Instruksi Bupati soal Pemberhentian Retribusi Kesehatan yang dikeluarkan DPRD pun diabaikan. Instruksi Bupati tentang hal itu terus diterapkan.

Karena itulah DPRD Banyuwangi mengirim SK DPRD no.09 tahun 2006 yang isinya usulan pemberhentian Bupati Ratna. SK itu dikirimkan secara langsung ke Menteri Dalam Negeri RI M. Ma'ruf melalui Gubernur Jawa Timur Imam Utomo. "Mendagri harus melihat fakta obyektif di Banyuwangi dan bukan perseteruan, tapi Ratna memang tidak memadai menjadi Bupati Banyuwangi," jelasnya.

Bila Mendagri mengabaikan, bisa jadi pemerintahan yang dikomandani Bupati Ratna akan kehilangan kredebilitas dan popularitas. Wahyudi mengingatkan kasus Bupati Lampung yang ditolak masyarakat, tapi diabaikan oleh Mendagri. Justru sampai saat ini pemerintahan di Lampung berjalan tidak efektif dan tidak memiliki kredibilitas pada masyarakatnya.

Yang paling menggelikan adalah sikap Bupati Ratna yang selalu menghindari wartawan yang akan mewawancarainya. Budi Wiryanto dari Bali Post di Banyuwangi menceritakan bagaimana Ratna menjawab wartawan dengan nyanyian Halo Balo Bandung. "Waktu kita tanya serius, dia malah menjawab dengan lagu Halo-Halo Bandung, dan masih banyak lagi yang mengesankan dia menolak diwanwancarai," jelasnya.

Ika Ningtyas Radio lokal Vis FM Banyuwangi menjelaskan, dalam sebuah konfirmasi tentang harga daging babi misalnya, Bupati Ratna hanya menjawab sangat normatif. Begitu juga ketika The Jakarta Post mengajukan wawancara khusus dengan Bupati Ratna akhir tahun lalu. Pihak Sekretaris Kabupaten mengharuskan The Post mengirim surat permohonan wawancara, sialnya, hingga saat ini tidak direspon mengenai hal itu.

Atas berbagai persoalan komunikasi itu, pengamat politik yang juga Rektor Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Banyuwangi Sugihartoyo menilai perlunya pihak ketiga yang mampu diterima oleh pihak DPRD Banyuwangi, Ulama Islam dan Bupati Ratna untuk ikut turun. "Saya menyarankan Ketua PBNU Hasyim Muzadi dan tokoh nasionalis untuk turun gunung dan mendamaikan persoalan ini," jelasnya.

Bagaimana komentar Bupati Ratna? Dalam sebuah wawancara dengan wartawan Senin (08/05) lalu Bupati Ratna mengatakan bahwa dirinya akan mengikuti mekanisme yang ada. "Sudah Saya katakan di media televisi, semua harus mengikuti mekanisme yang ada, saya juga akan tetap berkomunikasi dengan Gubernur Jawa Timur dan Mendagri, kalau akan mengirimkan tim investigasi ya,..silahkan," katanya. Beginilah bila Komunikasi Politik Diabaikan,..***

No comments: