Wednesday, July 26, 2006

Cerita Kecil Di Tengah Lumpur

Kalau Boleh Memilih, Kami Memilih Kembali Ke Rumah

Raut muka Muhammad Ubaid Chikditiro,8, lusuh. Matanya seakan enggan dibuka. Pelajar Madarasah Ibtidaiyah (MI) Al Fadullah itu tiduran di atas karpet hijau yang terbentang di salah satu kios pengungsian di Pasar Baru Porong Sidoarjo, Jumat (23/05) pagi ini. Bantal lusuh berwarna hijau digunakan untuk menopang kepalanya yang terasa pusing.

Di sekitar bocah yang akrab ditanggil Tio itu tergantung puluhan baju-baju kotor yang berdampingan dengan kelambu lusuh dari kain sisa baju seragam. "Tio lagi sakit pusing-pusing, sejak dua hari lalu tidak masuk sekolah,' kata ibunda Tio Sujantini,44, pada The Jakarta Post. Sejak itu, Tio selalu tiduran di, sementara teman-temannya bersekolah dan bermain.

Nasib pengungsi memang selalu jauh dari kehidupan normal. Begitu juga yang terjadi di masyarakat tiga desa di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang mengungsi karena kediaman mereka terendam lumpur panas PT. Lapindo Brantas Inc. Saat ini tercatat ada 4443 jiwa dari Desa Siring, Desa Reno Kenongo, Desa Kedung Bendo dan Desa Jatirejo.

Ribuan orang itu berdiam di 282 kios-kios bangunan Pasar Baru, Porong Sidoarjo seluas lima hektar. Satu kios berukuran 4x6 meter didiami oleh lima kepala keluarga, beserta barang-barang yang dibawanya. Untuk memisahkan satu keluarga dan keluarga yang lain dibatasi dengan kelambu kain yang dipasang sendiri oleh pengungsi.

Keluarga Ny. Sujantini mendiami kios no.L-10 yang terletak di sebelah utara kompleks Pasar Baru. Di sana Sujantini tinggal bersama keluarga bibinya, Suningsih dan keluarga Nuraini yang juga anak Sujantini. "Untuk menghemat ruangan, tidak semua baran-batang kami bawa, hanya surat-surat penting dan barang berharga," kata Sujanti pada The Post.

Pasar baru memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Dengan 15 los ruangan pasar berukuran besar, mushola, tiga tempat pendidikan dapur dan dapur umum. Meskipun secara fisik, lokasi pengungsian tertata rapi, namun banyaknya pengungsi dalam satu kawasan menciptakan problem tersendiri. Problem paling awal dialami saat mandi pagi.

Sejumlah 109 kamar mandi, dengan 22 di antaranya adalah permanen. Dengan jumlah itu, pengungsi dipaksa untuk berebut kesempatan mandi. Untuk dapat jatah mandi, setiap pagi Sujantini harus bangun jam 03.00 WIB, dan langsung menuju kamar mandi, sekalian mengambil air wudlu untuk sholat Subuh. Terlambat satu jam saja, bisa dipastikan kamar mandi sudah dipenuhi oleh pengungsi. "Jam 03.00 saja sudah mengantri, apalagi kalau terlambat," kata Sujantini setengah tertawa.

Kamar mandi yang digunakan pun sangat sederhana. Yaitu sebuah tanah parkir yang disekat-sekat dengan menggunakan anyaman bambu (gedhek). Di tiap-tiap sekatan itu terdapat satu bak mandi dan closed. Pada awal-awal digunakan, air yang mengalir di kamar mandi itu jauh dari layak. Baunya seperti air selokan. "Kadang-kadang sampai saat ini masih seperti itu," kata ibu dua anak itu.

Menjelang pagi, petugas dari Kabupaten Sidoarjo membagikan makan pagi berupa nasi bungkus berisi nasi, lauk dan sayur. Petugas juga membagi air mineral gelasan sebanyak satu kotak untuk sembilan keluarga. Kalau dirasa kurang, pengungsi bisa mengambil air bersih di 10 tanki yang disediakan. Jatah makan siang diberikan menjelang siang dalam jumlah yang sama.

Ketika malam tiba, sebagian besar pengungsi memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton 26 televisi yang dipasang di tiap pojokan tempat pengungsian. Siaran langsung World Cup menjadi menu utama tayangan TV televisi. "Memang semua tersedia, tapi kalau boleh memilih, kami memilih untuk kembali ke rumah," katanya.

Ribuan orang yang hidup di pengungsian yang serba terbatas mulai memunculkan penyakit. Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo mencatat, sebagian besar pengungsi menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Jumlahnya mencapai 981 orang. Disusul penyalit pegal-pegal (mialgra) sebanyak 177 orang.

"Mual muntah dan pusing diderita oleh 170 orang," kata Hinu Tri Sulistyowati, korrdinator Rumah Sakit Lapangan di pengungsian. Selain tiga penyakit itu, diare juga mulai menunjukkan kenaikan, hingga 126 orang. Besarnya jumlah penderita penyakit menurut Hinu muncul karena budaya masyarakat menyangkut kepersihan masih belum merata. Seperti budaya mencuci tangan sebelum makan.

Selain itu, Hinu juga menilai fasilitas kamar mandi kurang memadai, dalam kondisi fisiknya maupun jumlahnya. "Kalau ingin penduduk sehat, tetap harus dibangun kamar mandi lebih banyak, karena jumlah pengungsi terus meningkat," kata Hinu pada The Post.***

JUMLAH PENGUNGSI

1. Pasar Baru Porong: 1069 KK, 4443 Jiwa
2. Balai Desa Reno Kenongo: 148 KK, 535 Jiwa

SARANA PENGUNGSIAN

Pasar Baru

1. Kios 282 buah
2. Los Pasar 15 buah
3. Mushola 1 buah
4. Tempat Pendidikan Sementara, 3 buah
5. Dapur Umum + Mobil 2 buah
6. Televisi 26 buah
7. MCK Permanen 22 buah, darurat 109 buah, mobil 1 buah
8. Posko 2 buah
9. Sarana Transportasi truk 3 buah, pick up 4 buah, ambulance 6 buah, tangki 3 buah
10. Bak air minum 10 buah

SARANA KESEHATAN

1. Puskesmas, rawat jalan 265 jiwa, rawat inap 23 jiwa, masuk rumah sakit RSU Sidoarjo 6 jiwa
2. RS. Bhayangkara, rawat jalan, 729, rawat inap 82 masuk RSU Sidoarjo 14 jiwa
3. RSU Sidoarjo, rawat inap 9, opname 3 jiwa

SISWA MENGUNGSI

TK/SD 142 anak
SDN/Madarasah Ibtidaiyah 610 anak
SMP/ Madrasah Tsanawiyah 188
Madrasah Aliyah 52

total 492

----------------------------

"Keindahan" Lumpur Dilihat Dari Kacamata Peneliti


Keindahan danau lumpur panas dan beracun yang tersembur dari sekitar lokasi pengeboran minyak dan gas bumi PT. Lapindo Brantas Inc.

Kecuali warnanya yang abu-abu, secara fisik tidak ada yang berbeda dari batu bata yang dipegang oleh Sariman, salah satu peneliti dari Teknologi Pengolahan Mineral dan Batu Bara (Tekmira). Ukuran, berat dan tebal batu bata itu persis sama dengan batu bata kebanyakan yang ada di masyarakat. "Ini adalah batu bata yang kami buat dari lumpur Porong Lapindo," kata Sariman, Jumat (14/07) ini di Surabaya.

Di samping berbagai upaya untuk menghentikan semburan lumpur panas disertai gas beracun dari areal pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc terus dilakukan, ada upaya lain yang juga dilakukan para peneliti dari berbagai lembaga di Indonesia. Yaitu mencari kegunaan dari lumpur beracun yang sampai saat ini menggenangi ribuan hektar lahan dan memaksa ribuan orang mengungsi itu.

Hasilnya cukup mengejutkan. Dari lumpur panas itu bisa diciptakan bahan-bahan bangunan alternatif seperti batu bata, beton hingga bahan pengganti aspal jalan. Hebatnya, bahan-bangunan yang tercipta dari lumpur itu memiliki tingkat kekuatan yang jauh lebih tinggi dari bahan bangunan yang selama ini sudah ada.

Salah satu peneliti Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industru (LAPI) ITB, Budi Lationo mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan, pihaknya berhasil menciptakan batako dari lumpur Lapindo. "Batako yang kami buat ini lebih murah dan mudah, karena tidak memerlukan kerikil dan pasir, seperti yang selama ini digunakan sebagai bahan dasar batako," kata Budi Lationo pada The Jakarta Post.

Cara membuatnya pun mudah, hanya dengan mencampurkan lumpur yang sudah kurangi kandungan airnya dengan semen dan polimer (bahan sejenis plastik yang bisa dibeli ditoko-toko). Untuk 1 m3 batako, semen yang dibutuhkan sekitar 400 kg dan 5 liter polimer. "Semua bahan-bahan itu dicampurkan dalam mixer dan kemudian diaduk, kalau sudah merata, bisa langsung dicetak," katanya.

Bila tidak ada alat untuk mencetak menjadi batako, adonan lumpur, semen dan polimer itu bisa langsung digunakan untuk membuat tembok rumah, jembatan hingga gedung-gedung tinggi. "Setelah kami teliti kekuatannya, bahan bangunan dari lumpur ini lebih kuat, bahkan tanpa diberi 'tulang"
dari lonjoran besi," jelasnya.

Totok Nurwasito dari ITS menawarkan cara lain untuk mengolah lumpur Lapindo dengan hanya menambahkan semen dan batu kapur. Untuk 1 m3 lumpur dan dicampur dengan 2 sak serta 100 KG kapur, bisa menghasilkan 600 batu bata. "Batu bata itu berukuran sama persis dan bisa dikerjakan oleh man power maupun mesin," kata Totok.

Untuk batu bata yang ditawarkan Totok, bisa dikerjakan tanpa melalui proses pembakaran, seperti pembuatan batu bata selama ini. Energi sinar matahari yang ada sudah cukup bisa membuat batu bata berbahan lumpur itu keras. "Kekuatan yang dimiliki pun bisa diandalkan, bisa dipasang di dalam tembok, maupun menjadi hiasan di luar tembok tanpa dicat," katanya.

Ilmuan dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Syekhfani punya teori sendiri ketika diriya "menyelami" lumpur panas dan beracun Lapindo. Menurut ahli pertanian ini, lumpur yang menyembur di desa Siring dan kini menggenangi ratusan hentar lahan persawahan dan pemukiman penduduk itu sangat berbahaya, terutama untuk tanaman.

Unsur-unsur yang ada di dalam lumpur itu, membuat tanaman, apapun jenisnya, mati. Bahkan lahan yang diendapi lumpur itupun tidak bisa digunakan. "Kecuali dilakukan reklamasi lahan yang memerlukan biaya sangaaatt mahal," kata Syekhfani pada The Post. Unsur-unsur yang ditemukan pun lebih banyak unsur negatif.

Seperti natrium (Na), aluminium (Aldd), besi (Fe), khlor (Cl) dan electrical cunductivity (Ec). "Seperti kita ketahui, besi dan chlor adalah unsur yang meracuni, tapi sekali lagi, kalau mau lahan bekas lumpur tetap bia digunakan, urusan biaya, urusan lain," tegasnya.

Ketua Tim 2 Pengelolaan Air Permukaan dan Lumpur kasus Lumpur Lapindo, Gempur Adnan pun mengakui bahwa lumpur Lapindo tergolong zat B3 (bahan, beracun dan berbahaya). Karenanya, hal itu tidak boleh menghalangi pemanfaatan bahan berbahaya itu, seperti halnya memanfaatan bahan B3 lain, clay ice dan tailing.

"Banyak baahan bangunan yang diciptakan dari bahan B3, seperti clay ice dan tailing, tapi toh aman-aman saja," katanya. Meskipun demikian, Gempur Adnan menekankan perlunya izin dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) bila ingin memproduksi secara massal bahan bangunan alternatif itu. "Izin dari KLH harus ada, karena menyangkut keselamatan masyarakat dan lingkungan," kata Gempur Adnan.

Persoalan Masih Terendam Di Lumpur Lapindo

Suatu siang di hari Senin (29/05), tesemburlah gas berwarna putih disertai percikan lumpur. Tepatnya di Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo. Semakin hari, semburan lumpur panas dan gas hidrosulfida (H2S) dan amoniak (NH3) itu semakin banyak, menggenangi areal di sekitarnya. Ribuan orang mengungsi, ratusan orang sakit dan dua orang meninggal dunia.

Hingga hampir dua bulan ini, luapan lumpur di areal Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc itu sudah menggenangi 191 ribuan hektar lahan. Berbagai upaya untuk menghentikan semburan lumpur disertai gas itu sudah dilakukan. Mulai mendatangkan snubbing unit (alat untuk mendeteksi sumber semburan di dalam tanah) hingga pembangunan rellief well (alat untuk menutup sumber semburan) sudah didatangkan. Namun, nihil.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mencermati peristiwa luapan di Sidoarjo ini bukan sebuah sebuah peristiwa biasa. Melainkan salah satu rangkaian persoalan di dunia pertambangan Indonesia. Persoalan pertama adalah soal status sumur Banjarpanji-1. Sumur eksplorasi di Desa Renokenongo ini adalah perluasan dari rencana pnegelolaan kandungan migas di Blok Brantas di tiga Kabupaten, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan.

Total seluruh sumur yang sudah dieksplorasi maupun yang sudah di eksploitasi sebanyak 49 buah. Dengan rincian 43 sumur di Kabupaten Sidoarjo, empat sumur di Kabupaten Mojokerto dan sisanya, dua sumur di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Dalam sebuah dialog di Surabaya, Dinas ESDM Jatim merilis target pengeboran di 110 titik sumur dari 28 sumur.

"Anehnya, yang selama ini terekspos hanya 21-28 sumur, ada apa ini?" kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Ridho Syaiful Ashadi pada The Jakarta Post awal Minggu ini. Menurut Ridho, pada aktivitas pertamanya di tahun 1990, sumur Banjarpanji-1 adalah salah satu aktivitas pertambangan yang tidak memiliki analisis dampak lingkungan (amdal). "Itu jelas-jelas pelanggaran berat," kata Ridho Syaiful Ashadi.

Apalagi, eksplorasi Lapindo Brantas Inc dilakukan di tengah-tengah daerah pemukiman padat penduduk. Awalnya, blok Brantas di miliki oleh PT. HUFFCO 1990 yang kemudian dijual ke Lapindo Brantas Inc pada tahun 1996. Setahun kemudian, tahun 1997, Lapindo Brantas Inc menandatangi MOU dengan Perusahaan Gas Negara sebagai salah satu supplyer gas di Indonesia.

Di tahun 1999, produksi gas dilakukan untuk pertama kali. Rencananya akan ada dua puluh titik sumur pengeboran yang akan digarap. Sejak 2005 hingga sekadang, Blok Brantas dinikmati oleh Lapindo Brantas Inc sebesar 50 persen (sekaligus menjadi operator proyek), PT. Novus Brantas sebesar 32 persen, PT. Santos Brantas sebesar 18 persen.

Persoalan kedua yang menggantung dalam kasus menyemburnya lumpur panas dan gas ini adalah dilanggarnya tahap-tahap aktivitas pertambangan. Aturan main di Indonesia menyebutkan, perlu adanya surat izin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang usaha pertambangan (PUP) yang dimiliki perusahaan pertambangan.

"Bila keduanya sudah dimiliki, perlu adanya izin eksplorasi yang didapatkan melalui assesment dan kelayakan yang komperehenship perusahaan yang bersangkutan," kata Ridho Syaiful Ashadi. Semuanya belum lengkap tanpa adanya izin lokasi yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Tingkat II. "Sudahkah Lapindo Brantas Inc memiliki semua izin itu?" tanya Syaiful.

Hal ketiga adalah carut marutnya alur proyek yang dinilai sebagai titik awal terjadinya bencana semburan lumpur dan gas ini. Terutama terkait data tentang titik akhir pengeboran (drilling) saat terjadinya blow out lumpur dan uap gas H2S. Walhi mencatat, rencananya titik akhir dari pengeboran di itu adalah 10.000 feed. Namun blow out terjadi pada kedalaman 8000-9000 feed.

"Jawaban dari semuanya bisa dilihat dari pemasangan block cassing, apakah sudah terpasang? Kalau belum atau sengaja tidak dipasang, sepertinya hal itu bukan keputusan operator pengeboran, sangat mungkin dia hanya menjalankan kontrak dan perintah yang tidak mensyaratkan pemasangan block cassing," kata Syaiful.

Data Bencana Industri di Jawa Timur

1. Minyak Tumpah
- Waktu : Tahun 2000
- Lokasi : Blok Pangkah, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik
- Pelaksana Proyek : PT. Premier Oil

2. Semburan H2S
- Waktu : Tahun 2001
- Lokasi : Desa Rahayu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Tuban
- Pelaksana Proyek : PT. Devon Kanada kini dikelola PT.Petrochina

*data WALHI JATIM

Perkosaan Anak SD Pada Teman Sekelasnya

Air mata Tri Ismiatun perlahan-lahan menetes ketika perempuan berusia 35 tahun itu menceritakan kondisi anaknya, Kuntum,11 (bukan nama sebenarnya) yang menjadi korban pelecehan seksual oleh empat teman sekelasnya di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gandusari II Trenggalek, Jawa Timur.

Apalagi ketika perempuan yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga itu mengingat betapa sayang dirinya kepada anak gadis terakhirnya itu. "Kasihan betul anak saya itu, sekecil itu sudah mengalami mimpi buruk yang dihindari setiap perempuan, menjadi korban perkosaan," kata Tri Ismiatun pada The Jakarta Post, Selasa (04/07) ini.

Kisah yang dialami Kuntum memang tragis. Gadis yang sempat menjadi wakil Kabupaten Trenggalek dalam setiap even lomba tari tradisonal itu menjadi korban perkosaan oleh teman sekelasnya, DMS (12), SND (11), PTT (11) dan KKH (11). Ironisnya, kejadian itu berlangsung beberapa kali di ruang kelas, perpustakaan dan kamar mandi.

Kejadian itu berlangsung pada pertengahan Mei lalu. Suatu hari, ketika jadwal pelajaran Matematika kosong karena gurunya tidak hadir, DMS bersama tiga temannya memaksa Kuntum untuk masuk ke kamar mandi putra. Kuntum yang mengira kejadian itu hanya gurauan semata berusaha menolak. Namun, apa daya, empat orang bocah laki-laki itu jauh lebih kuat.

Di dalam kamar mandi, keempat bocah SD itu menelanjangi Kuntum, meraba bahkan memperkosanya. Beberapa pukulan sempat mendarat di wajah Kuntum ketika gadis itu coba berteriak. "Saya awalnya tidak percaya, tapi seperti itulah yang terjadi, usai kejadian itu, Kuntum melaporkan kejadian itu ke salah satu gurunya, namun diabaikan," kata Tri Ismiatun yang kini menemani suaminya, Ismail, 53 yang sedang obname penyakit infeksi dubur.

Beberapa hari kemudian, saat waktu istirahat, keempat bocah laki-laki itu kembali melakukan hal serupa. kali ini terjadi di dalam kelas. Kuntum yang sedang mengerjakan beberapa soal tiba-tiba dipeluk dari belakang dan diperlakukan tidak senonoh. Begitu juga ketika Kuntum ada di perpustakaan. "Kuntum tidak mau menceritakan semua itu kepada saya, karena takut saya marah," kata Tri Ismiatun.

Semua aib itu terbongkar ketika seseorang yang mengaku tahu peristiwa itu melaporkan kejadian itu pada sebuah wartawan koran lokal di Trenggalek. Tri Ismiatun dan Ismail bagaikan tersambar halilintar, dan segera membawa kasus ini ke polisi. "Hasil visum menyebutkan, dinding vagina anak saya lecet-lecet, sebagai tanda kemasukan benda asing...," kata Tri Ismiatun terhenti. Ia tersedu-sedu.

Polisi segera menyidik kasus ini, dan menetapkan DMS (12), SND (11), PTT (11) dan KKH (11) sebagai tersangka. Kejaksaan Negeri Trenggalek yang menangani kasus ini meminta keempat tersangka untuk ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Trenggalek. Keempatnya dijerat dengan dakwaan berlapis, melakukan perbuatan cabul secara bersama-sama dan berlanjut, sesuai pasal 82 KUHP tentang asusila.

Salah satu anggota majelis hakim yang rencananya akan menyidangkan kasus ini pada Senin (10/07) mendatang, Didi Ismiatun mengatakan majelis akan mempertimbangkan apakah keempat tersangka itu pantas dihukum atas perbuatannya atau tidak. "Hukuman maksimal 15 tahun dan denda maksimal 30 juta," kata Didi.

Kasus perkosaan dengan tersangka dan korban anak-anak ini menurut Koordinator Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Plan Surabaya Indonesia, Nonot Soeryono mengatakan bahwa kasus semacam ini haruslah dilihat secara utuh dengan mempertimbangkan sisi kekanakan pelaku dan korban, tanpa mengabaikan rasa keadilan.

Dari pihak korban misalnya, harus diusut tuntas apakah peristiwa ini benar-benar terjadi. "Secara teknis, harus dilihat dulu apakah proses perkosaan itu benar terjadi, tindakan medis dan hukum yang harus menilai hal itu," kata Nonot pada The Jakarta Post. Sementara dari sisi pelaku atau tersangka, harus dijaga agar pelaku tidak diperlakukan seperti kriminal dewasa.

Secara hukum, anak-anak dianggap belum memiliki kemampuan otak untuk menilai baik buruk tindakannya. Karena itu, dia tidak bisa disamakan dengan prilaku yang dilakukan orang dewasa. Keputusan untuk memasukkan keempat tersangka di LP Trenggalek dan bercampur dengan tahanan dewasa, menurut Nonot Soeryono adalah pelanggaran berat.

"Menurut UU Perlindungan Anak dan Piagam PBB yang melindungi anak yang sudah diratifikasi oleh Indonesia, hal itu tidak boleh dilakukan," katanya. Informasi yang diperoleh The Jakarta Post, keempat tersangka anak itu ditempatkan di salah satu sel bagian depan di LP Trenggalek, terpisah dari sel dewasa. Langkah ini diambil majelis hakim karena Trenggalek tidak memiliki LP khusus anak.

Meski terpisah, keempat anak-anak tersangka pemerkosa ini mengalami stress. Ketika dibezuk orang tua mereka, salah satu anak sempat meronta ronta karena ketakutan. Karena itulah, Plan Surabaya Indonesia melalui SCCC yang juga merupakan penasehat hukum keempat bocah itu secara khusus sudah mengirim surat ke Komnas Anak dan Kejari Trenggalek.

Dalam surat itu SCCC meminta pihak terkait segera membebaskan keempat anak itu dari LP Trenggalek, dan dikembalikan kepada orang tua mereka. "Jangan sampai peristiwa Raju di Medan kembali terulang, disaat kita ingin menegakkan hukum, kita justru menyiksa anak-anak dengan melakukan kekerasan kepada mereka," kata Nonot.

Sidang Pertama

Sidang pertama kasus perkosaan yang didakwakan pada empat siswa Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gandusari II Trenggalek, Jawa Timur, digelar di Pengadilan Negeri Trenggalek, Senin (10/07) ini. Keempat siswa SD yang menjadi terdakwa ketakutan dengan banyaknya orang yang datang ke pengadilan. Mereka memilih untuk menutup muka dengan jaket dan topi karena malu.

Sidang tertutup yang berlangsung empat puluh lima menit itu berlangsung tegang. Keempat terdakwa, DMS (12), SND (11), PTT (11) dan KKH (11) yang selama ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Trenggalek dibawa ke PN Trenggalek dengan menggunakan mobil tahanan sekitar pukul 08.30 wib. Begitu sampai ke pengadilan, keempatnya langsung digelandang di ruang tahanan yang terletak di bagian belakang kantor pengadilan itu.

Ruang tahanan yang terbuka dan bisa dilihat oleh pengunjung, membuat keempat bocah itu merasa tidak nyaman. Apalagi Senin ini pengunjung sidang kasus perkosaan keempat bocah itu pada teman sekelasnya, Kuntum,11 (bukan nama sebenarnya-RED) itu tergolong banyak. Mulai petugas berseragam lengkap dan preman, wartawan hingga masyarakat hadir sejak pagi.

Sebagian besar pengunjung langsung menuju ke Ruang Tahanan dan melihat keempat terdakwa yang sejak pertama masuk ke Ruang Tahanan duduk membelakangi jendela pengunjung. "Oh,..ini pemerkosa itu, kok masih kecil ya?" kata sebagian pengunjung usai melihat keempat bocah itu. Sesekali, salah satu dari keempat bocah itu menoleh, dan mengintip dari sela-sela jaket yang menutupi wajahnya.

Sekitar pukul sepuluh, keempatnya dibawa masuk ke Ruang Sidang I. Meski berlangsung tertutup, pengunjung pasih bisa melihat proses persidangan itu dari balik kaca pintu ruang sidang. Keempatnya duduk di kursi terdakwa, didampingi tiga penasehat hukum dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC), Edward Dewaruci, Hari Supriadi dan Budi Cahyono. Hanya keluarga terdakwa yang boleh menyaksikan sidang itu.

Dalam sidang dipimpin oleh Lilik Nuraeni itu mencoba untuk menghapus kesan seram dalam persidangan, syarat persidangan kasus anak-anak. Sama sekali tidak ada yang mengenakan baju toga. Termasuk Jaksa Penuntut Umum Wiryaningtyas yang dalam kesempatan itu membacakan dakwaannya. Keempatnya didakwa melanggar Pasal 82 dan pasal 290 tentang tindakan asusila pada anak di bawah umur.

Seperti diberitakan The Post, kejadian itu berlangsung pada pertengahan Maret (bukan Mei yang diberitakan sebelumnya). Saat itu keempat terdakwa memperkosa Kuntum beberapa di lingkungan sekolah dan di rumah Kuntum. Hasil visum menyebutkan alat kelamin korban terluka akibat kejadian itu. Hingga saat ini, Kuntum diungsikan di rumah salah satu saudaranya.

Usai persidangan, salah satu anggota majelis hakim Didi Ismiatun mengatakan, keempat terdakwa menyatakan mengerti dengan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum. "Keempatnya menyatakan mengerti dengan dakwaan, dalam persidangan ini disertakan barang bukti tiga celana dalam," kata Didi Ismiatun.

Dalam persidangan itu, diserahkan pula surat permohonan penangguhan penahanan oleh orang tua keempat terdakwa. Atas surat itu, Majelis Hakim mengaku akan mempertimbangkan. "Persidangan akan dilanjutkan Kamis (13/07) besok dengan agenda pembacaan ekssepsi atau jawaban atas dakwaan," kata Didi mengakhiri jumpa pers.

Edward Dewaruci, ketua penasehat hukum keempat terdakwa mengatakan sejak awal kasus ini digulirkan ada prosedur yang salah dan tidak berprespektif melindungi anak-anak. Mulai pelanggaran menahan terdakwa yang dicampurkan satu lokasi dengan tahanan dewasa, penempatan terdakwa di ruang tahanan yang bisa dilihat oleh siapa saja, hingga dakwaan yang tidak jelas.

"Menempatkan terdakwa anak pada penjara dewasa adalah pelanggaran, apalagi sekarang terdakwa ditaruh di ruang tahanan yang bisa dilihat siapa saja, mereka masih punya masa depan," kata Edward Dewaruci pada The Jakarta Post. Juga persoalan dakwaan yang tidak rinci dan runtut seperti yang disyaratkan dalam persidangan. "Semuanya akan kami sampaikan dalam eksepsi," kata Edward.

Dalam persidangan selanjutnya, Edward meminta dilakukan secara khusus. Mulai tidak semua orang bisa melihat terdakwa dan pelaksanaan persidangan. Juga bila nanti persidangan masuk ke tahap pemeriksaan saksi, termasuk Kuntum, saksi korban. "Saya meminta pelaku dan korban tidak dipertemukan, melainkan menggunakan kamera video dan diambil dari ruang terpisah," kata Edward.

Diana Lestari, konsultan anak SCCC yang sempat berdialog dengan keempat terdakwa di ruang tahanan mengatakan, keempat bocah itu mengaku sangat ketakutan. Ketakutan itu membuat keempat bocah itu enggan diajak bisa oleh siapa saja. Keempatnya hanya menginginkan kasus ini segera berakhir. "Kami ingin cepat pulang," kata Diana menirukan rengekan keempat bocah itu.

Tolak Penangguhan

Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek yang mengadili kasus perkosaan siswa SDN Gandusari II Trenggalek, Jawa Timur dengan terdakwa empat anak dari sekolah yang sama, mengabaikan permohonan penangguhan penahanan yang diajukan orang tua keempat terdakwa. Akibatnya, hingga saat ini keempat terdakwa berusia 11 tahun itu masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Trenggalek, satu area dengan narapidana dewasa.

Hal itu terungkap dalam persidangan Kamis (13/07) ini di PN Trenggalek. Dalam persidangan yang berlangsung tertutup itu, Majelis Hakim yang dipimpin oleh Lilik Nuraeni menyatakan belum mengambil keputusan soal permohonan penangguhan penahanan orang tua keempat terdakwa itu. "Sampai hari ini (Kamis-RED) Majelis Hakim belum memutuskan untuk mengabulkan atau menyetujui permohonan penangguhan," kata salah satu Anggota Majelis Hakim, Didi Ismiatun usai persidangan tanpa menyebutkan alasan yang pasti.

Sejak kasus perkosaan yang didakwakan kepada empat bocah SDN Gandusari II Trenggalek ini bergulir, keempat terdakwa sudah ditahan di LP Trenggalek. Penahanan atas perintah Kejaksaan Negeri itu berdasar pada pasal 44 UU no.3 tahun 97 tentang Pengadilan Anak. Awalnya, kejaksaan hanya akan menahan mereka mulai 20 Mei hingga 30 Juni lalu. Namun ketika masa penahanan Kejaksaan sudah berakhir, proses menahanan diperpanjang atas permintaan Hakim yang mengadili kasus itu, mulai 30 Juni hingga berakhir Jumat 14 Juli ini. Hampir pasti, Setelah Jumat ini, penahanan akan diperpanjang.

Majelis Hakim berdalih, penahanan perlu dilakukan agar terdakwa tidak mengganggu proses persidangan yang akan berlangsung selama 45 hari. LP Trenggalek dipilih karena selama ini Kabupaten Trenggalek tidak memiliki LP khusus anak. Di LP Trenggalek, sel keempat terdakwa dipisah dari narapidana dewasa yang lain. Hal itu dipandang lebih efisien, dari pada menempatkan keempat terdakwa di Kabupaten Blitar, daerah terdekat yang memiliki LP khusus anak.

Penasehat Hukum keempat terdakwa dari Surabaya Children Crisis Center (SCCC) Nonot Soeryono yang bersama Hari Supriadi mendampingi terdakwa di persidangan Kamis ini menilai, keputusan untuk tetap menahan keempat terdakwa dan pengabaian permohonan penangguhan penahanan itu, jelas melanggar berbagai aturan tentang anak. Seperti UU no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU No.12 tahun 1996 tentang Penempatan Narapidana Wanita dan Anak Didik Pemasyarakatan serta Konvensi PBB soal Hak Anak yang sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia.

"Terdakwa ini masuk dalam kategori children need a special protection, karena itu penanganannya harus berprespektif melindungi anak-anak," kata Nonot. Dengan menempatkan anak-anak satu area dengan narapidana dewasa, masa depan terdakwa anak-anak pun tidak akan jauh dunia kriminalitas.

Apalagi, dalam aturan perundangan sudah diatur mekanisme hukum penangguhan penahanan yang diajukan oleh orang tua. "Tapi hal itu malah belum diputuskan oleh Majelis Hakim," kata Nonot. Karena itu, Nonot dan Tim SCCC akan menempuh jalur lain untuk segera mengeluarkan anak-anak dari LP Trenggalek.

Pengabaian permohonan penanggugan penahanan atas keempat terdakwa yang masih anak-anak itu juga mengecewakan PRY, 47 orang tua salah satu terdakwa, PTT, 11. "Jelas saya sangat kecewa, mengingat bagaimana tindakan yang dirasakan anak saya sejak pertama kali kasus ini bergulir," kata PRY usai menyaksikan persidangan anaknya. PRY menceritakan, sejak awal anak keduanya ini merasakan perlakukan kasar dari kepolisian.

Seperti pemeriksaan yang dilakukan dalam waktu berjam-jam tanpa didampingi pengacara. Informasi yang diterima The Post, dalam penyidikan itu polisi melakukan bentakan dan ancaman kepada keempat anak itu untuk mengakui semua perbuatan yang dituduhnya.

"Hal yang sama juga terjadi di Kejaksaan, anak saya sampai menangis karena takut dipenjara, meskipun akhirnya tetap mau setelah dibujuk penahanan hanya akan berlangsung selama 10 hari," kenang PRY. Kini, setelah permohonan penangguhan penahanan diabaikan, PRY dan orang tua keempat terdakwa lain berupaya memohon bantuan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Propinsi Jawa Timur melalui surat.

Selain itu, PRY juga akan memenuhi semua keinginan sang anak, agar merasa tidak tertekan di LP Trenggalek. "Selama ini saya sudah membawa gitar dan bola sepak, agar anak saya tetap bisa bermain meski ada di dalam penjara," katanya.***