Wednesday, July 26, 2006

Cerita Kecil Di Tengah Lumpur

Kalau Boleh Memilih, Kami Memilih Kembali Ke Rumah

Raut muka Muhammad Ubaid Chikditiro,8, lusuh. Matanya seakan enggan dibuka. Pelajar Madarasah Ibtidaiyah (MI) Al Fadullah itu tiduran di atas karpet hijau yang terbentang di salah satu kios pengungsian di Pasar Baru Porong Sidoarjo, Jumat (23/05) pagi ini. Bantal lusuh berwarna hijau digunakan untuk menopang kepalanya yang terasa pusing.

Di sekitar bocah yang akrab ditanggil Tio itu tergantung puluhan baju-baju kotor yang berdampingan dengan kelambu lusuh dari kain sisa baju seragam. "Tio lagi sakit pusing-pusing, sejak dua hari lalu tidak masuk sekolah,' kata ibunda Tio Sujantini,44, pada The Jakarta Post. Sejak itu, Tio selalu tiduran di, sementara teman-temannya bersekolah dan bermain.

Nasib pengungsi memang selalu jauh dari kehidupan normal. Begitu juga yang terjadi di masyarakat tiga desa di Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang mengungsi karena kediaman mereka terendam lumpur panas PT. Lapindo Brantas Inc. Saat ini tercatat ada 4443 jiwa dari Desa Siring, Desa Reno Kenongo, Desa Kedung Bendo dan Desa Jatirejo.

Ribuan orang itu berdiam di 282 kios-kios bangunan Pasar Baru, Porong Sidoarjo seluas lima hektar. Satu kios berukuran 4x6 meter didiami oleh lima kepala keluarga, beserta barang-barang yang dibawanya. Untuk memisahkan satu keluarga dan keluarga yang lain dibatasi dengan kelambu kain yang dipasang sendiri oleh pengungsi.

Keluarga Ny. Sujantini mendiami kios no.L-10 yang terletak di sebelah utara kompleks Pasar Baru. Di sana Sujantini tinggal bersama keluarga bibinya, Suningsih dan keluarga Nuraini yang juga anak Sujantini. "Untuk menghemat ruangan, tidak semua baran-batang kami bawa, hanya surat-surat penting dan barang berharga," kata Sujanti pada The Post.

Pasar baru memiliki fasilitas yang cukup lengkap. Dengan 15 los ruangan pasar berukuran besar, mushola, tiga tempat pendidikan dapur dan dapur umum. Meskipun secara fisik, lokasi pengungsian tertata rapi, namun banyaknya pengungsi dalam satu kawasan menciptakan problem tersendiri. Problem paling awal dialami saat mandi pagi.

Sejumlah 109 kamar mandi, dengan 22 di antaranya adalah permanen. Dengan jumlah itu, pengungsi dipaksa untuk berebut kesempatan mandi. Untuk dapat jatah mandi, setiap pagi Sujantini harus bangun jam 03.00 WIB, dan langsung menuju kamar mandi, sekalian mengambil air wudlu untuk sholat Subuh. Terlambat satu jam saja, bisa dipastikan kamar mandi sudah dipenuhi oleh pengungsi. "Jam 03.00 saja sudah mengantri, apalagi kalau terlambat," kata Sujantini setengah tertawa.

Kamar mandi yang digunakan pun sangat sederhana. Yaitu sebuah tanah parkir yang disekat-sekat dengan menggunakan anyaman bambu (gedhek). Di tiap-tiap sekatan itu terdapat satu bak mandi dan closed. Pada awal-awal digunakan, air yang mengalir di kamar mandi itu jauh dari layak. Baunya seperti air selokan. "Kadang-kadang sampai saat ini masih seperti itu," kata ibu dua anak itu.

Menjelang pagi, petugas dari Kabupaten Sidoarjo membagikan makan pagi berupa nasi bungkus berisi nasi, lauk dan sayur. Petugas juga membagi air mineral gelasan sebanyak satu kotak untuk sembilan keluarga. Kalau dirasa kurang, pengungsi bisa mengambil air bersih di 10 tanki yang disediakan. Jatah makan siang diberikan menjelang siang dalam jumlah yang sama.

Ketika malam tiba, sebagian besar pengungsi memilih untuk menghabiskan waktu dengan menonton 26 televisi yang dipasang di tiap pojokan tempat pengungsian. Siaran langsung World Cup menjadi menu utama tayangan TV televisi. "Memang semua tersedia, tapi kalau boleh memilih, kami memilih untuk kembali ke rumah," katanya.

Ribuan orang yang hidup di pengungsian yang serba terbatas mulai memunculkan penyakit. Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo mencatat, sebagian besar pengungsi menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Jumlahnya mencapai 981 orang. Disusul penyalit pegal-pegal (mialgra) sebanyak 177 orang.

"Mual muntah dan pusing diderita oleh 170 orang," kata Hinu Tri Sulistyowati, korrdinator Rumah Sakit Lapangan di pengungsian. Selain tiga penyakit itu, diare juga mulai menunjukkan kenaikan, hingga 126 orang. Besarnya jumlah penderita penyakit menurut Hinu muncul karena budaya masyarakat menyangkut kepersihan masih belum merata. Seperti budaya mencuci tangan sebelum makan.

Selain itu, Hinu juga menilai fasilitas kamar mandi kurang memadai, dalam kondisi fisiknya maupun jumlahnya. "Kalau ingin penduduk sehat, tetap harus dibangun kamar mandi lebih banyak, karena jumlah pengungsi terus meningkat," kata Hinu pada The Post.***

JUMLAH PENGUNGSI

1. Pasar Baru Porong: 1069 KK, 4443 Jiwa
2. Balai Desa Reno Kenongo: 148 KK, 535 Jiwa

SARANA PENGUNGSIAN

Pasar Baru

1. Kios 282 buah
2. Los Pasar 15 buah
3. Mushola 1 buah
4. Tempat Pendidikan Sementara, 3 buah
5. Dapur Umum + Mobil 2 buah
6. Televisi 26 buah
7. MCK Permanen 22 buah, darurat 109 buah, mobil 1 buah
8. Posko 2 buah
9. Sarana Transportasi truk 3 buah, pick up 4 buah, ambulance 6 buah, tangki 3 buah
10. Bak air minum 10 buah

SARANA KESEHATAN

1. Puskesmas, rawat jalan 265 jiwa, rawat inap 23 jiwa, masuk rumah sakit RSU Sidoarjo 6 jiwa
2. RS. Bhayangkara, rawat jalan, 729, rawat inap 82 masuk RSU Sidoarjo 14 jiwa
3. RSU Sidoarjo, rawat inap 9, opname 3 jiwa

SISWA MENGUNGSI

TK/SD 142 anak
SDN/Madarasah Ibtidaiyah 610 anak
SMP/ Madrasah Tsanawiyah 188
Madrasah Aliyah 52

total 492

----------------------------

"Keindahan" Lumpur Dilihat Dari Kacamata Peneliti


Keindahan danau lumpur panas dan beracun yang tersembur dari sekitar lokasi pengeboran minyak dan gas bumi PT. Lapindo Brantas Inc.

Kecuali warnanya yang abu-abu, secara fisik tidak ada yang berbeda dari batu bata yang dipegang oleh Sariman, salah satu peneliti dari Teknologi Pengolahan Mineral dan Batu Bara (Tekmira). Ukuran, berat dan tebal batu bata itu persis sama dengan batu bata kebanyakan yang ada di masyarakat. "Ini adalah batu bata yang kami buat dari lumpur Porong Lapindo," kata Sariman, Jumat (14/07) ini di Surabaya.

Di samping berbagai upaya untuk menghentikan semburan lumpur panas disertai gas beracun dari areal pengeboran PT. Lapindo Brantas Inc terus dilakukan, ada upaya lain yang juga dilakukan para peneliti dari berbagai lembaga di Indonesia. Yaitu mencari kegunaan dari lumpur beracun yang sampai saat ini menggenangi ribuan hektar lahan dan memaksa ribuan orang mengungsi itu.

Hasilnya cukup mengejutkan. Dari lumpur panas itu bisa diciptakan bahan-bahan bangunan alternatif seperti batu bata, beton hingga bahan pengganti aspal jalan. Hebatnya, bahan-bangunan yang tercipta dari lumpur itu memiliki tingkat kekuatan yang jauh lebih tinggi dari bahan bangunan yang selama ini sudah ada.

Salah satu peneliti Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industru (LAPI) ITB, Budi Lationo mengatakan, dari hasil penelitian yang dilakukan, pihaknya berhasil menciptakan batako dari lumpur Lapindo. "Batako yang kami buat ini lebih murah dan mudah, karena tidak memerlukan kerikil dan pasir, seperti yang selama ini digunakan sebagai bahan dasar batako," kata Budi Lationo pada The Jakarta Post.

Cara membuatnya pun mudah, hanya dengan mencampurkan lumpur yang sudah kurangi kandungan airnya dengan semen dan polimer (bahan sejenis plastik yang bisa dibeli ditoko-toko). Untuk 1 m3 batako, semen yang dibutuhkan sekitar 400 kg dan 5 liter polimer. "Semua bahan-bahan itu dicampurkan dalam mixer dan kemudian diaduk, kalau sudah merata, bisa langsung dicetak," katanya.

Bila tidak ada alat untuk mencetak menjadi batako, adonan lumpur, semen dan polimer itu bisa langsung digunakan untuk membuat tembok rumah, jembatan hingga gedung-gedung tinggi. "Setelah kami teliti kekuatannya, bahan bangunan dari lumpur ini lebih kuat, bahkan tanpa diberi 'tulang"
dari lonjoran besi," jelasnya.

Totok Nurwasito dari ITS menawarkan cara lain untuk mengolah lumpur Lapindo dengan hanya menambahkan semen dan batu kapur. Untuk 1 m3 lumpur dan dicampur dengan 2 sak serta 100 KG kapur, bisa menghasilkan 600 batu bata. "Batu bata itu berukuran sama persis dan bisa dikerjakan oleh man power maupun mesin," kata Totok.

Untuk batu bata yang ditawarkan Totok, bisa dikerjakan tanpa melalui proses pembakaran, seperti pembuatan batu bata selama ini. Energi sinar matahari yang ada sudah cukup bisa membuat batu bata berbahan lumpur itu keras. "Kekuatan yang dimiliki pun bisa diandalkan, bisa dipasang di dalam tembok, maupun menjadi hiasan di luar tembok tanpa dicat," katanya.

Ilmuan dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang, Syekhfani punya teori sendiri ketika diriya "menyelami" lumpur panas dan beracun Lapindo. Menurut ahli pertanian ini, lumpur yang menyembur di desa Siring dan kini menggenangi ratusan hentar lahan persawahan dan pemukiman penduduk itu sangat berbahaya, terutama untuk tanaman.

Unsur-unsur yang ada di dalam lumpur itu, membuat tanaman, apapun jenisnya, mati. Bahkan lahan yang diendapi lumpur itupun tidak bisa digunakan. "Kecuali dilakukan reklamasi lahan yang memerlukan biaya sangaaatt mahal," kata Syekhfani pada The Post. Unsur-unsur yang ditemukan pun lebih banyak unsur negatif.

Seperti natrium (Na), aluminium (Aldd), besi (Fe), khlor (Cl) dan electrical cunductivity (Ec). "Seperti kita ketahui, besi dan chlor adalah unsur yang meracuni, tapi sekali lagi, kalau mau lahan bekas lumpur tetap bia digunakan, urusan biaya, urusan lain," tegasnya.

Ketua Tim 2 Pengelolaan Air Permukaan dan Lumpur kasus Lumpur Lapindo, Gempur Adnan pun mengakui bahwa lumpur Lapindo tergolong zat B3 (bahan, beracun dan berbahaya). Karenanya, hal itu tidak boleh menghalangi pemanfaatan bahan berbahaya itu, seperti halnya memanfaatan bahan B3 lain, clay ice dan tailing.

"Banyak baahan bangunan yang diciptakan dari bahan B3, seperti clay ice dan tailing, tapi toh aman-aman saja," katanya. Meskipun demikian, Gempur Adnan menekankan perlunya izin dari Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) bila ingin memproduksi secara massal bahan bangunan alternatif itu. "Izin dari KLH harus ada, karena menyangkut keselamatan masyarakat dan lingkungan," kata Gempur Adnan.

Persoalan Masih Terendam Di Lumpur Lapindo

Suatu siang di hari Senin (29/05), tesemburlah gas berwarna putih disertai percikan lumpur. Tepatnya di Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo. Semakin hari, semburan lumpur panas dan gas hidrosulfida (H2S) dan amoniak (NH3) itu semakin banyak, menggenangi areal di sekitarnya. Ribuan orang mengungsi, ratusan orang sakit dan dua orang meninggal dunia.

Hingga hampir dua bulan ini, luapan lumpur di areal Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc itu sudah menggenangi 191 ribuan hektar lahan. Berbagai upaya untuk menghentikan semburan lumpur disertai gas itu sudah dilakukan. Mulai mendatangkan snubbing unit (alat untuk mendeteksi sumber semburan di dalam tanah) hingga pembangunan rellief well (alat untuk menutup sumber semburan) sudah didatangkan. Namun, nihil.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur mencermati peristiwa luapan di Sidoarjo ini bukan sebuah sebuah peristiwa biasa. Melainkan salah satu rangkaian persoalan di dunia pertambangan Indonesia. Persoalan pertama adalah soal status sumur Banjarpanji-1. Sumur eksplorasi di Desa Renokenongo ini adalah perluasan dari rencana pnegelolaan kandungan migas di Blok Brantas di tiga Kabupaten, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan.

Total seluruh sumur yang sudah dieksplorasi maupun yang sudah di eksploitasi sebanyak 49 buah. Dengan rincian 43 sumur di Kabupaten Sidoarjo, empat sumur di Kabupaten Mojokerto dan sisanya, dua sumur di Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Dalam sebuah dialog di Surabaya, Dinas ESDM Jatim merilis target pengeboran di 110 titik sumur dari 28 sumur.

"Anehnya, yang selama ini terekspos hanya 21-28 sumur, ada apa ini?" kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur, Ridho Syaiful Ashadi pada The Jakarta Post awal Minggu ini. Menurut Ridho, pada aktivitas pertamanya di tahun 1990, sumur Banjarpanji-1 adalah salah satu aktivitas pertambangan yang tidak memiliki analisis dampak lingkungan (amdal). "Itu jelas-jelas pelanggaran berat," kata Ridho Syaiful Ashadi.

Apalagi, eksplorasi Lapindo Brantas Inc dilakukan di tengah-tengah daerah pemukiman padat penduduk. Awalnya, blok Brantas di miliki oleh PT. HUFFCO 1990 yang kemudian dijual ke Lapindo Brantas Inc pada tahun 1996. Setahun kemudian, tahun 1997, Lapindo Brantas Inc menandatangi MOU dengan Perusahaan Gas Negara sebagai salah satu supplyer gas di Indonesia.

Di tahun 1999, produksi gas dilakukan untuk pertama kali. Rencananya akan ada dua puluh titik sumur pengeboran yang akan digarap. Sejak 2005 hingga sekadang, Blok Brantas dinikmati oleh Lapindo Brantas Inc sebesar 50 persen (sekaligus menjadi operator proyek), PT. Novus Brantas sebesar 32 persen, PT. Santos Brantas sebesar 18 persen.

Persoalan kedua yang menggantung dalam kasus menyemburnya lumpur panas dan gas ini adalah dilanggarnya tahap-tahap aktivitas pertambangan. Aturan main di Indonesia menyebutkan, perlu adanya surat izin usaha pertambangan (IUP) dan pemegang usaha pertambangan (PUP) yang dimiliki perusahaan pertambangan.

"Bila keduanya sudah dimiliki, perlu adanya izin eksplorasi yang didapatkan melalui assesment dan kelayakan yang komperehenship perusahaan yang bersangkutan," kata Ridho Syaiful Ashadi. Semuanya belum lengkap tanpa adanya izin lokasi yang dikeluarkan oleh Kepala Daerah Tingkat II. "Sudahkah Lapindo Brantas Inc memiliki semua izin itu?" tanya Syaiful.

Hal ketiga adalah carut marutnya alur proyek yang dinilai sebagai titik awal terjadinya bencana semburan lumpur dan gas ini. Terutama terkait data tentang titik akhir pengeboran (drilling) saat terjadinya blow out lumpur dan uap gas H2S. Walhi mencatat, rencananya titik akhir dari pengeboran di itu adalah 10.000 feed. Namun blow out terjadi pada kedalaman 8000-9000 feed.

"Jawaban dari semuanya bisa dilihat dari pemasangan block cassing, apakah sudah terpasang? Kalau belum atau sengaja tidak dipasang, sepertinya hal itu bukan keputusan operator pengeboran, sangat mungkin dia hanya menjalankan kontrak dan perintah yang tidak mensyaratkan pemasangan block cassing," kata Syaiful.

Data Bencana Industri di Jawa Timur

1. Minyak Tumpah
- Waktu : Tahun 2000
- Lokasi : Blok Pangkah, Kecamatan Ujung Pangkah, Kabupaten Gresik
- Pelaksana Proyek : PT. Premier Oil

2. Semburan H2S
- Waktu : Tahun 2001
- Lokasi : Desa Rahayu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Tuban
- Pelaksana Proyek : PT. Devon Kanada kini dikelola PT.Petrochina

*data WALHI JATIM

No comments: